Matode Pembejaran ilmu di Pondok Pesantren ala KH. Wahab Mahfudzi.
Barangkali sulit menemukan profil kiai yang sabar terhadap pendidikan santri seperti Pak Yai (begitu kami biasa memanggil beliau). Beliau profil pribadi yang tidak mudah menyerah terhadap setiap permasalahan pendidikan para santri.
Sebagaimana diketahui, sistem pendidikan pesantren secara umum tidak mengenal seleksi santri. Bahkan pada masa-masa dahulu santri masuk atau keluar pun seringkali tidak dibatasi pada kalender akademik tertentu, sekalipun Pondok Pesantren tetap memakai kalender tahun akademik Syawal-Sya’ban ala Salafiyah atau bulan Juli ala sekolah atau madrasah formal.
Karena tidak mengenal seleksi, maka ucap kali ditemukan disparitas kemampuan diantara para santri dalam satu angkatan. Sebagian pesantren mengelompokkan atas kemampuan akademik, ada kelompok usia, atau kelompok kelas pada sekolah formal.
Ada yang unik dilakukan oleh Pak Yai dalam mendidik santrinya. Metode Pak Yai saya kategorisasikan atau 3, yaitu ta’lim, tirakat, dan khidzmah. 3 metode ini bukan saling menegasi, tetapi justru bisa saling mengisi dan saling menguatkan.
Konsep metode ini seringkali saya sampaikan kepada berbagai pihak di berbagai forum untuk menggambarkan keunggulan sistem pesantren. Memang menurut saya “Pondok Pesantren bukan sekedar menemukan orang pintar atau unggulan (dengan menyeleksi manusia), tetapi justru memberikan harapan hasil pendidikan kepada siapa saja.
Berikut saya sajikan 3 metode yang saya tangkap dari matode pembejaran ilmu di Pondok Pesantren ala KH. Wahab Mahfudzi yang menyelesaikan dinamika kemampuan santri. (Konsep ini saya uraikanatas apa yang saya rasakan dan melihat dari cara Pak Yai menyelesaikan problematika pada sebagian teman-teman di angkatan saya).
1. Ta’lim
Kiai Wahab Mahfudzi memberikan metode ta’lim kepada semua santri yang memiliki kemampuan rata-rata atau lebih tinggi. Pembelajaran Ta’lim dilakukan dengan model klasikal berjenjang, setoran mandiri, maupun model bandongan dalam halaqoh besar.
Pendidikan klasikal berjenjang ini dilakukan di Madin dan Pembelajaran Al Qur’an (Qiraaty dan Tajwid). Madin At Thoyibiyyah dilaksanakan jam 14.00-17.00 setelah santri pulang sekolah/madrasah formal, sementara pembelajaran Al Qur’an atau Tajwid dilaksanakan jam 17.00-17.30 WIB.
Sebagai pendidikan klasikal berjenjang tentu saja semua santri diasumsikan memiliki kemampuan berimbang dengan konsentrasi pada jumlah angkatan peserta.
Dalam ta’lim ini para ustadz mengembangkan berbagai metode yang beragam sesuai materi, santri, dan kondisi pembelajaran. Kurikulum disusun untuk bersama-sama. Keberhasilan juga diarahkan untuk jumlah angkatan peserta didik.
Namun demikian, sebagaimana layaknya sistem klasikal selalu ada kelompok yang tertinggal karena kemampuan akademik terbatas atau hal lain. Para peserta didik yang tertinggal hasil belajarnya atau tinggal kelas di banyak sistem sekolah seringkali tidak mendapat harapan. Mereka dibiarkan tinggal kelas, bahkan kadang dikeluarkan dengan alasan dianggap tidak mampu.
Berbeda dengan Kiai Wahab Mahfudzi, beliau membuat terobosan kurikulum yang unik. Jika santri bisa ikut kelas besar diikutkan kelas besar. Jika tidak mampu kelas besar diikutkan dengan kelas kecil, bahkan jika tetap tidak mampu diikutkan privat satu santri satu ustadz.
Jika sampai privat kuga tidak bisa, maka santri diajarkan ilmu melalui metode lainnya, yaitu tirakat atau khidzmah tergantung terawangan atau intusi pribadi beliau. Bisa jadi berurutan atau melompat.
Pernah suatu kali ada teman santri (saya tidak sebut namanya) diikutkan mengaji Al Quran (Qiraaty) dalam kelas jilid dengan ustadzah Mut kala ini. Teman ini karena tidak mampu secara kognitif, berulang kali ikut jilid selalu tertinggal, mengaji tidak bisa mengikuti. Karena dirasa membebani kelas oleh Pak Yai teman tersebut di tarik dari kelas besar, dicarikan guru dalam halaqoh kecil hanya untuk 4 orang.
Namun tetap saja, santri tersebut tidak mampu, maka oleh Pak Yai dicarikan guru privat (tanpa charge biaya lebih) 1:1. Bahkan sekalipun 1 ustadz, 1 santri teman tersebut tetap tidak mampu, maka oleh Kiai teman ini disuruh menjalani tugas menyapu lingkungan pondok dan mengisi kolam untuk santri sebagai bagian khidzmah.
Entahlah, mungkin karena keihklasan, ridho, dan doa Pak Yai santri tersebut justru sekarang setelah pulang dari pondok pesantren sukses menjadi wirausahawan/pedagang di kampung. Sekalipun tetap tidak bisa mengaji Al Qur’an dengan fasih tetapi sekarang memiliki anak-anak yang hafal Al-Qur’an. Subhanallah.***