Masuk Pertama Sekolah, Jangan Lupa Doa Kiai!

Sekitar akhir tahun 1980-an, saya mendapatkan cerita dari orang tua saya. Saat itu, dalam perjalanan dari Pati menuju Pesantren Al-Hikmah Tanggir Singgahan Tuban.

Kakak saya bernama Amin Mustofa belajar di pesantren itu. Orang tua saya mengisahkan bahwa ketika mau berangkat belajar di pesantren itu, kakak saya diajak sowan kepada KH Abdullah Salam Kajen Pati. Tujuannya meminta doa, agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan berkah. Sampai di kediaman Mbah Dullah, panggilan akrabnya, orang tua saya menyampaikan maksud tersebut. Mbah Dullah dengan khusyu’ mendoakan.

Mbah Dullah wafat tahun 2001. Pada jamannya, Mbah Dullah menjadi rujukan masyarakat dalam hidup. Apapun hajat yang akan dilaksanakan, sebisa mungkin masyarakat sowan meminta doa dan nasehat Mbah Dullah. Hati makin mantap kalau sudah sowan Mbah Dullah. Orang tua termasuk begitu. Hatinya mantap dan yakin setelah mendapatkan doa Mbah Dullah. Bagi orang tua saya, doa dari kiai bukan sekedar melafalkan bacaan doa, melainkan sebuah ruh hidup untuk mengisi dan menjalani kehidupan sehari-hari.

Saya sangat kagum dengan lelaku hidup ini, karena mempunyai pegangan yang tak mudah digoyahkan oleh kepungan kepentingan yang serba sementara. Orang tua saya mungkin tidak paham doa apa saja yang dibaca Mbah Dullah. Tetapi cukup yakin dan mantap saja dengan doa tersebut. Orang tua saya sebatas santri desa, tidak cukup mampu untuk mengerti seutuhnya doa-doa. Modalnya yakin dan mantep dengan keberkahan doa para kiai.

Momentum idul fitri tahun ini (2017-red), saya mengajak anak saya sowan kepada para kiai. Bukan sekedar untuk syawalan, melainkan minta doa untuk anak saya yang pertama akan masuk sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Ummah Kota Gede Yogyakarta. Sekolah ini di bawah naungan Pesantren Nurul Ummah Kota Gede Yogya, yang pendirinya adalah KH Marzuki Romli Giriloyo, yang kemudian diteruskan putranya, KH Asyhari Marzuki. Keduanya sudah wafat. Sekarang pengasuhnya adalah KH Ahmad Zabidi Marzuki.

Walaupun tidak bisa sowan kepada banyak kiai, tetapi hati semakin mantap dengan mengajak anak saya bisa minta doa kepada kiai. Saya tidak punya banyak teori mendidik anak, tetapi tradisi orang tua menjadi salah satu pegangan saya dalam menyekolahkan anak saya. Dengan sowan dan meminta doa kiai, saya mantap dan yakin memulai menyekolahkan anak. Hanya Allah yang tahu masa depan anak, tetapi doa menjadi ikhtiar sebagai orang tua untuk meraih keberkahan dari-Nya.

Setiap orang tua tentu mempunyai cara sendiri-sendiri dalam mendidik anaknya. Semua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Harapannya pasti bisa berguna bagi agama, bangsa dan negara. Kecanggihan teknologi memang luar biasa. Ini melengkapi perangkat pendidikan bagi anak. Luar biasa perangkat teknologi yang sudah disediakan. Smartphone juga menjadi fasilitas serba bisa dalam menunjang pendidikan anak. Tapi semua kecanggihan teknologi itu tidak ada yang bisa menggantikan kekuatan doa. Doa tetaplah doa. Tidak tergantikan, apalagi doa para kiai yang merupakan pewaris Nabi.

 

Bekali Anak dengan Akhlaq

Berikut ini saya kutipkan ilmu dari pendiri NU, KH M Hasyim Asy’ari, tentang akhlaq bagi anak kita yang sedang memulai tahun ajaran baru. Ini ada dalam kitab beliau, yakni Adabul ‘Alim wal Muta’allim. Dalam kitab tersebut banyak sekali kiat sukses, ini hanya sebagian saja. Silahkan untuk lebih lengkapnya ditelusuri dari kitabnya langsung.

Berikut ini adalah beberapa akhlaq bagi para pencari ilmu. Semoga kita, para orang tua, diberikan kekuatan oleh Allah SWT dalam mengarahkan dan mendidik anak kita untuk menancapkan 10 akhlaq dari KH Hasyim Asy’ari.

Pertama, mengkondisikan agar hati tetap jernih dan bersih.

Kedua, membangun niat yang luhur, yakni mencari ilmu pengetahuan semata-mata demi meraih ridha Allah SWT serta mengamalkannya setelah ilmu itu diperoleh, mengembangkan syari’at islam, mencerahkann mata hati (batin), dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.

Ketiga, menyegerakan diri dari tidak menunda waktu dalam mencari ilmu pengetahuan. Mengingat bahwa waktu (kesempatan) yang telah berlalu mustahil akan terulang kembali. Seorang pelajar hendaknya juga mengesampingkan aktivitas lain yang dapat mengurangi kesempurnaan dan kesungguhanya dalam mempelajari ilmu pengetahuan.

Keempat, rela, sabar dan menerima keterbatasan (keprihatinan) dalam masa-masa pencarian ilmu, baik menyangkut makanan, pakaian, dan lain sebagainya.

Kelima, membagi dan memanfaatkan waktu serta tidak menyia-nyiakannya, karena setiap sisa waktu ( yang terbuang sia-sia) akan menjadi tidak bernilai lagi.

Keenam, tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan dan minuman. Karena, mengkonsumsi makanan dan minuman terlalu banyak dapat menghalangi seseorang dari melakukan ibadah kepada Allah SWT. Di samping itu, perlu diketahui bahwa sedikit mengkonsumsi makanan akan menjadikan tubuh seseorang sehat dan terhindar dari berbagai macam penyakit. Suatu syair menyatakan sebagai berikut:

فان الداء اكثرما تراه       يكون من الطعام او الشراب

“Sungguh, kebanyakan penyakit yang biasa kita temui adalah disebabkan oleh faktor makanan dan minuman.”

Ketujuh, bersikap wara’ (waspada ) dan hati-hati dalam setiap tindakan.

Kedelapan, tidak mengkonsumsi jenis-jenis makanan yang bisa mengakibatkan akal (kecerdasan) seseorang menjadi tumpul (bodoh) seta melemahkan kekuatan organ-organ tubuh ( panca indera). Jenis-jenis makanan tersebut di antaranya adalah: apel, kacang-kacangan, air cuka dan lain sebagainya.

Kesembilan, tidak terlalu lama tidur yakni selama itu tidak membawa dampak negatif bagi kesehatan jasmani maupun rohaninya. Idealnya, dalam sehari semalam seorang pelajar tidur tidak lebih dari delapan jam.

Kesepuluh, menjauhkan diri dari pergaulan yang tidak baik. Lebih-lebih dengan lawan jenis. Efek negatif dari pergaulan semacam itu adalah, banyaknya waktu yang terbuang sia-sia serta hilangnya rasa keagamaan seseorang yang diakibatkan seringnya bergaul dengan orang-orang yang bukan ahli agama. (Muhammadun)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *