Manajerial Profesional Kunci Kemajuan Pendidikan (I)
SLEMAN, BANGKITMEDIA.COM
Pendidikan menjadi kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Sadar dengan hal itu, NU sudah sejak lama turut berkecimpung dalam menyelenggarakan pendidikan, baik formal maupun non-formal. Terkait upaya penyelenggaraan pendidikan formal, NU telah memiliki Ma’arif sebagai payung yang mengayominya. Di sisi lain, makin tumbuhnya perguruan tinggi NU, seperti UNU Jogja yang baru berdiri, semakin mengokohkan gerak juang NU dalam mencerdaskan anak bangsa. Lalu, seperti apa dinamika pendidikan NU hingga saat ini?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut redaksi turunkan wawancara tim Bangkit dengan Dr. Ahmad Arifi, M.Ag., Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta :
Dalam pandangan Bapak, bagaimana dinamika pendidikan di NU hingga hari ini?
Dalam analisa pendek saya, orang NU itu harus meningkatkan kemampuan dalam mengelola pendidikan. Ini karena sejak lahirnya NU, pendidikan bukan salah satu yang utama. Di NU itu kan rujukannya pesantren dan aspek keagamaan, khususnya fikih. Untuk lembaga pendidikan seperti Ma’arif memang ada, tapi pengelolaannya belum optimal. Padahal SDM-nya luar biasa, tidak kalah dengan Muhammadiyah. Jadi disinilah problem yang pertama, yakni aspek manajerial. Sampai-sampai ada ungkapan dari peneliti, NU itu tidak bisa berbaris, tidak begitu terurus, tapi aneknya kok masih hidup. Begitu juga lembaga pendidikannya, NU mampu mendirikan lembaga pendidikan, tapi baru sampai sebatas mendirikan. Untuk merawatnya masih belum maksimal.
Problem kedua adalah faktor kesungguhan. Orang NU itu kalau mendirikan sekolah atau perguruan tinggi kurang sungguh-sungguh, tidak serius, asal jalan. Yang penting berdiri, seperti yang sudah saya sampaikan tadi. Setelah berdiri, tim marketnya tidak berjalan. Hanya bisa pasrah, nanti kalau ada yang mendaftar ya diterima kalau tidak ya sudah. Itu artinya tidak serius. Kalau serius semestinya tata kelolanya dibuat, sistemnya juga jelas, personilnya juga tidak hanya dipilih orang-orang top, orang-orang terkenal tetapi tidak mau ngurusi. Bahkan kadang pengorganisasiannya itu wujuduhu ka’adamihi, ada strukturnya tetapi tidak ada kegiatannya.
Problem yang ketiga, khususnya untuk perguruan tinggi, adalah kekurangan sumberdaya. Lebih spesifik lagi, SDM di bidang keilmuan umum. Kalau SDM di bidang ilmu keagamaan seperti tafsir, hadits, fikih, kita jagonya. Tapi mencari ahli kesehatan, ahli teknik, dan lainnya sangat sulit, karena memang tidak punya orang. Mau bagaimana lagi, mereka lulusan pesantren, atau kalau yang umum lulusan madrasah. Madrasah Aliyah itupun jurusan IPS, nanti kalau melanjutkan ke perguruan tinggi seperti IAIN, STAIN, UIN. Sangat sedikit yang kemudian menekuni ilmu umum, ilmu eksak. Maka, ketika NU ingin mendirikan perguruan tinggi dengan konsentrasi umum susah mencari orangnya.
Saya ingin memberikan contoh kasus, di Solo ada perguruan tinggi NU yang statusnya berganti-ganti. Dari Sekolah Tinggi akhirnya bisa menjadi Universitas, kemudian diturunkan lagi statusnya. Lalu di Yogyakarta, ide untuk mendirikan perguruan tinggi NU sudah ada semenjak tahun 2000. Waktu itu saya menjadi pengurus PWNU DIY dan ikut merumuskan rencana strategis (Renstra). Setelah meleweati proses yang cukup pangjang, alhamdulillah dengan segala keterbatasannya, pada tahun 2017 ini UNU DIY telah berdiri dan diresmikan oleh Menristekdikti dan Ketua PBNU. Itu yang namanya komitmen, semangat.
Menurut Bapak, apa tantangan yang akan dihadapi UNU Jogja yang baru berdiri tersebut?
Tantangan pertama adalah kompetitor. Harus kita lihat apa keunggulan perguruan tinggi NU dibandingkan perguruan tinggi lain yang sudah ada. Untuk perguruan tinggi umum ada UGM, UNY, UII, itu yang besar-besar. Muhammadiyah sudah memiliki UMY, UAD, Universitas Aisyiah. Belum lagi kalau kita lihat di Yogyakarta juga sudah ada ratusan perguruan tinggi lain, tetapi yang eksis ada sekitar70-an. Artinya, ini tantangan bagi kita untuk bersaing dengan perguruan tinggi yang sudah ada. Setelah itu, bagaimana kita nanti membuat branding “perguruan tinggi berbasis pesantren” karena yang kita miliki sekarang ya memang itu. Bagaimana nanti kita bisa menarik minat santri-santri dari berbagai pesantren di DIY agar berkuliah di UNU.
Tantangan kedua, lagi-lagi sama, yakni masalah SDM. Masalah SDM disini tentu saja menyangkut orang-orang yang kompeten di bidang keilmuan umum. Akan tetapi hal ini harus dilihat sebagai peluang. Terutama bagi kader-kader muda NU untuk mengembangkan diri dan mengisi posisi luang yang belum terpenuhi.
Terakhir, yang ketiga, tantangan NU yang paling besar adalah masalah pendanaan. Untuk operasional perguruan tinggi itu kan juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pengumpulan dana yang paling mudah itu dari mahasiswa. Sedangkan sasaran mahasiswa kita yakni warga NU, dari segi ekonomi masih berada dalam golongan kelas menengah ke bawah. Kalau biaya pendidikannya tinggi, kemungkinan banyak yang tidak mampu. Jika biaya pendidikannya rendah, tantangannya bagaimana nanti menyiasati agar operasional perguruan tinggi tetap berjalan.
Itu hal-hal yang menurutnya saya menjadi tantangan terbesar perguruan tinggi NU saat ini. Meskipun demikian, beberapa hal tersebut sekaligus peluang bagi kita. NU memiliki jaringan yang cukup baik, termasuk jaringan secara personal. Itulah modal utama kita. Jika top leader-nya memiliki leadership manajerial yang bagus dan bisa menggerakkan SDM yang ada, peluang terbuka lebar. (Anas/Wahid)
Demikian Manajerial Profesional Kunci Kemajuan Pendidikan (I). Semoga bermanfaat.