Makna Tsabbit Qalbi ‘ala Dinik bagi Kehidupan Umat Islam

young muslim woman praying for Allah, muslim God
young muslim woman praying for Allah, muslim God

Makna Tsabbit Qalbi ‘ala Dinik bagi Kehidupan Umat Islam.

Tsabbit qalbi ‘ala dinik, merupakan kalimat yang selalu kita baca saat tasyahud akhir di akhir shalat fardu. Kalimat yang terbilang sedikit tersebut memilki makna dan esensi yang luar biasa bagi kelangsungan ketaatan seorang muslim terhadap Allah SWT. Maka dari itu banyak ulama’ yang menghimbau untuk senantiasa memanjatkan doa tersebut kepada Allah SWT, karena tingkat keimanan dan kepatuhan seorang hamba bukan merupakan jaminan pasti bahwa ia akan kembali kehadirat-Nya dalam keadaan khusnul khotimah.

Banyak kisah religi yang merujuk pada esensi kalimat tsabbits qalbi ‘ala dinik, salah satunya adalah kisah Abdullah bin Saad bin Abi Syarh (juru tulis Nabi) yang dikutip oleh Fahruddin ar-Razi dalam tafsirnya Mafatikhul Ghaib pada QS al-Mukminun ayat 12-14. Diriwayatkan dari Kalbi dari Ibnu Abbas bahwa Ibnu Abi Syarh menerima mandat dari Nabi (dalam periode Madinah) untuk menulis QS. al-Mukminun ayat 12-14, ketika sampai pada ayat ke 14 dalam redaksi yang terjemahannya “kemudian kami jadikan dia makhluk yang baru”, ia (Ibnu Abi Syarh) diriwayatkan berseru (yang terjemahannya) “Maha suci Allah, Pencipta yang paling baik”.

Nabi kemudian merespon ucapan Ibnu Abi Syarh dengan berkata: “tulislah apa yang telah kau serukan, karena itulah yang diwahyukan”. Ibnu Abi Syarh berbisik di dalam hatinya meragukan kejujuran Nabi “jika Muhammad berkata benar, maka aku juga bisa disebut sebagai penerima wahyu, akan tetapi jika dia berbohong, maka tiada kebaikan di dalam agamanya”. Setelah kejadian itu, Ibnu Abi Syarkh kembali ke Mekkah dengan kekafirannya. Riwayat lain mengatakan ia kembali memeluk Islam ketika fatkhu Mekkah.

Selaju dengan kisah tersebut, Farid Esack mengutip dari The Short Encyclopedia of Islam karya Gibb, H.A.R dan Kramers, mengungkapkan bahwa saudara angkat Utsman bin Affan ini (Ibnu Abi Syarh) kerap kali menyombongkan diri di hadapan kaum Quraisy dan berkata bahwa ia sering membujuk Nabi untuk mengganti kata-kata wahyu yang tujuan dari tindakannya itu untuk mengatakan bahwa Nabi telah memalsukan al-Qur’an. SEI (The Short Encyclopedia of Islam) menggambarkan Ibnu Abi Syarh sebagai yang otentik dan membuat asumsi bahwa kata-katanya, kenyataannya memang telah diadopsi oleh al-Qur’an.

Kisah lain yang menguar dari ayat yang sama diriwayatkan oleh Said bin Jabir bin Ibnu Abbas, bahwa Umar bin Khattab menjawab dengan redaksi yang sama seperti yang diucapkan dengan Ibnu Abi Syarh. Bedanya, Umar tidak merasa sombong, hanya merasa tersanjung dan bahagia karena seruannya sama dengan wahyu. Perbedaan respon tersebut menggiring Ar-Razi untuk merujuk ayat lain sebagai simpulan dari kisah di atas dalam QS. al-Baqarah ayat 26 yang terjemahannya “banyak orang yang dibiarkan-Nya sesat dan dengan itu banyak pula orang yang diberi-Nya petunjuk”.

Tsabbits qalbi ‘ala dinik, yang kurang lebih artinya “tetapkanlah hatiku kepada agama-Mu”, merupakan doa yang mampu menjaga keimanan manusia hingga akhir hayatnya. Sebagai manusia biasa yang tidak memiliki kedudukan apapun, sejarah muslim dalam peradaban Islam patut dijadikan teladan dan pengingat bahwa pemegang otoritas utama dalam hidup seseorang hanyalah Allah SWT. Allah memiliki wewenang untuk menjadikan hidup hamba-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah SWT tempat meminta terbaik dan satu-satunya tempat kembali. Semoga kita senantiasa ditetapkan dalam iman, Islam, ihsan, dan kembali kepada-Nya dalam kondisi khusnul khotimah. Amiin.

Oleh: Maulidiatus Sholikha, Mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran (STAISPA) Yogyakarta.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *