Makin Kehilangan Rahmat Islam, Mengapa Kita Ini?

Syariat Bukan Kepentingan Allah SWT, Tapi Kita

Makin Kehilangan Rahmat Islam, Mengapa Kita Ini?

Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.

Ketika Rasulullah Muhammad Saw menyelinap di malam hari, meninggalkan rumahnya seorang diri, untuk mulai hijrah, dengan tujuan pertama gua Tsur, tanpa disadari oleh para kafir Quraisy yang hendak membunuhnya –dan lalu mereka hanya mendapati Ali bin Abi Thalib yang berselimut di dalam kamar Rasul Saw menggantikan posisinya dan karena itulah beliau disebut sebagai martir pertama dalam sejarah Islam—Abu Bakar ash-Shiddiq yang mengetahui keberangkatan Rasul Saw menyusulnya sendirian dengan diam-diam dan cepat. Anda bayangkan: di antara legam malam yang pekat, sendirian, di bawah ancaman pembunuhan kafir Quraisy yang brutal, di tengah jalan, Rasul Saw mempercepat langkahnya sekilat mungkin karena mendengar suara orang menyusulnya.

Sendal Rasul Saw sampai putus dan jempol kakinya berdarah terantuk batu. Abu Bakar yang mengkhawatirkan keadaan Rasul Saw segera bersuara keras agar didengar oleh Rasul Saw bahwa dialah yang menyusulnya, bukan para musuh. Barulah Rasul Saw memelankan langkahnya, tersusul oleh Abu Bakar, terus berjalan hingga masuk ke dalam gua Tsur. Jangan lupakan, dalam keadaan sendal putus dan jempol kaki berdarah.

Di dalam gua yang kotor dan gelap tersebut, keduanya bersembunyi sembari menunggu perintah Allah Swt untuk hijrah. Abu Bakar berusaha membuat pengamanan dari serangan hewan-hewan melata dan liar yang barangkali menghuni gua. Semua lubang di dalam gua ditutupnya menggunakan kain, batu, dan apa saja yang memungkinkan dipakai. Ia pun menggelar selembar kain untuk dijadikan alas tidur Rasul Saw. Hanya ada satu lubang yang tak kebagian alat untuk disumpal. Akhirnya, Abu Bakar menutupnya menggunakan kakinya. Dan, dari dalam lubang itu ia mulai merasakan adanya gigitan, makin sakit, keras, dan nyeri. Ia terus menahan perihnya gigitan itu seorang diri demi tak mengusik lelap Rasul Saw.

Rasul Saw kemudian terbangun karena merasakan adanya tetesan air ke wajahnya yang teryata adalah air keringat dan air mata Abu Bakar yang menahan sakit gigitan itu.

Demikianlah apa yang telah dialami oleh Rasul Saw tercinta kita semua, dalam perjalanan dakwahnya, yang di antaranya ditempuh dengan keterancaman nyawa. Begitupun ta’dhimnya Abu Bakar kepada Rasul Saw hingga ia rela menahan rasa sakit gigitan itu demi keselamatan dan kenyamanan Rasul Saw.

At-Thabari mengisahkan semua itu dengan suasana yang mengharukan. Anda bisa membacasirah tersebut lebih dalam buku at-Thabari, Muhammad di Mekah dan Madinah, yang diberi anotasi oleh W. Montgomery Watt (seorang Islamis Barat yang terkemuka dalam studi Islam).

Saya hendak membuat perbandingan sederhana terhadap apa yang dialami Rasul Saw di masa itu, yang dipersekusi, dihina, diancam mati bahkan, oleh para kafir Quraisy.

Tatkala Rasul Saw telah berhasil membangun masyarakat Islam yang kokoh, kuat, dan disegani di saantero wilayah Arab di Madinah hanya dalam tempo 10 tahun, lalu umat Islam bersama Rasul Saw melakukan perjalanan Fathu Mekkah, setelah sebelumnya dirahan oleh kafir Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah, dan tanpa syarat para kafir Quraisy Mekkah yang keras dan kasar selama ini takluk kepadanya, apa yang dilakukan Rasul Saw dan pasukannya?

Rasul Saw menjamin keamanan siapa pun yang berada di Masjidil Haram dan di rumah Abu Sufyan bin Harb, sang pemimpin kafir Quraisy kala itu alias musuh utamanya.

Semua orang dilindungi keamanannya, juga hartanya, dan kehormatannya. Tak ada pertumpahan darah. Semua aman.

Pernahkah Anda mendengar sejarah semulia itu dari para pemimpin dunia di masa lalu ketika menaklukkan wilayah musuhnya? Pernahkah Anda mendengar sejarah diperkosanya ribuan perempuan Jerman oleh pasukan merah Uni Soviet ketika mereka menaklukkan pasukan Hitler? Pernahkah pula Anda mendengar bagaimana kejinya pasukan Hitler ketika berhasil memasuki wilayah Soviet sebelumnya yang menyisakan ribuan pembantaian dan pemerkosaan?

Begitulah bedanya Rasulullah Muhammad Saw dengan para penguasa politik lainnya. Kemanusiaan, kehormatan, dan mertabat manusia selalu dijunjung oleh Rasul Saw kepada semua manusia, lintas iman (sebagaimana yang dijaminkannya kepada kaum Nahsrani Najran), bahkan kepada musuh-musuh utamanya. Tak ada persekusi, penganiyaaan, pelecehan, apalagi penghancuran kemanusiaan.

Inilah agama rahmat, dan Rasul Saw adalah figur terbesar yang mencontohkan langsung segala ekspresi kerahmatan Islam tersebut kepada semua manusia, tanpa kecuali.

Rahmat Islam tiada lain adalah kasih sayang, welas asih, dan cinta. Ia melampaui segala sekat yang ada antarmanusia yang mejemuk –dari urusan keyakinan, iman, kedudukan, politik, dan sosial budaya. Jangankan hanya ihwal perbedaan kabilah, suku, paham, mazhab, dan aliran, bahkan dalam hal berbeda iman pun dengan agama yang disyiarkannya, Rasul Saw melambarkan kerahmatannya.

Hari ini, sebagai refleksi historis atas sejarah agung tersebut, mengapa bisa kita yang menganut agamanya, ajarannya, dan mengaku mencintainya Saw, justru kerap mempertontonkan sikap yang bertabrakan dengan keteladanan rahmatnya? Mengapa kita bisa memaki orang, menghinanya, mempersekusinya, bahkan mengkafir-kafirkannya, hanya karena mereka tak sama pemahaman dan pandangan politiknya dengan kita, di saat lisan kita menyeru agungnya takbir Allahu Akbar dan gaung cinta untuk membela Rasul Saw? Mengapa bisa kita jadi seanomali ini, seaneh ini?

Mengapa kita makin kerap melayangkan ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan yang tak selaras dengan keteladanan rahmatnya Saw?

Siapa yang sebenarnya sedang kita ikuti ajarannya, agamannya, dan teladan cintanya? Rasul Saw ataukah semata hawa nafsu berkuasa diri dan kelompok kita yang sealiran politik dan pandangan Islamnya?

Saya kira ini merupakan persoalan keislaman yang sangat serius untuk kita renungkan hari ini. Derasnya goda hoax, fitnah, ujaran kebencian, dan sekaumnya, untuk menjunjung marwah kebenaran diri dan kelompok kita dengan cara merenedahkan pihak liyan, bersambut dengan ambisi egois menabalkan diri sebagai paling benar dan otorittatif, adalah tantangan berislam dan cinta kita kepada Rasul Saw yang amat nyata.

Jika kita terus berjibaku dalam suasana nirakhlak demikian, bukan hanya ihwal kekafahan berislam dan cinta Rasul Saw saja yang mesti kita cemaskan, tetapi pula kohesi sosial kita yang majemuk ini yang sungguh terancam.

Mau sampai kapan kita bermain api begini?

Para pemimpin negara dalam segenap jajaran dan wewenangnya, pun para politisi, serta para pemuka umat, tiada waktu lagi untuk berpangku tangan membiarkan fenomena anomali ini terus berkibar di tanah ini. Semuanya harus segera turun tangan, bersama-sama, bahu-membahu, dengan kotak wilayah masing-masing, demi memulihkan keislaman yang sungguh-sungguh rahmatan lil ‘alamin. Semuanya.

Semoga negeri ini terus ditolong oleh Allah Swt dalam naungan rahmatNya. Amin.

Jogja, 11 Desember 2019

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *