Ngaji Aswaja di Bumi Shalawat
Pesantren yang didirikan KH Agus Ali Masyhuri (Wakil Rais Syuriyah PWNU Jatim) ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, sudah hampir 2000 Santri. Diantara keunggulan adalah pendidikan formalnya dan banyak meraih penghargaan dalam banyak lomba.
Para pendidik yang mengajar disini juga banyak dari kalangan profesional dan sarjana lulusan universitas umum, seperti Unair, Unesa dan lainnya. Karena dari berbagai latar belakang, maka di pesantren ini diadakan pelatihan Aswaja, sebab Gus Ali dan keluarga beliau menjabat struktur kepungurusan di Nahdlatul Ulama Jatim.
Saat sesi tanya jawab ada seorang guru perempuan bertanya: “Ibu saya pernah ikut Tahlilan dan dapat berkat, sama tetangga dibilang bahwa makan berkat itu sama dengan memasukkan api neraka ke dalam perutnya. Benarkah demikian Ustadz”.
Saya sampaikan bahwa kemungkinan tetangga tersebut tahu bahwa dari pihak keluarga yang meninggal ada ahli waris yang masih yatim. Harta warisan dari anak yatim tidak boleh digunakan untuk apapun sampai menunggu anak tersebut dewasa. Larangan keras menggunakan harta anak yatim tidak hanya untuk berkat Tahlilan tapi juga yang lain, berdasarkan firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
(An-Nisā’: 10) – “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
Dalam fikih Syafi’iyah pun hal ini dilarang. Caranya bagaimana? Ya jangan pakai harta anak yatim. Misalnya dengan beras yang diberikan oleh para tetangga, kerabat dll.
Hal ini pernah saya alami, ketika kakak pertama saya wafat ada seorang ustadz ikut Tahlilan tapi tidak mau makan, sepertinya dia tahu kalau ada beberapa yatimnya. Saya bilang kepada Ustadz tersebut: “Silahkan makan Ustadz, ini sedekah saya, umi saya dan mbak saya. Tidak 1 rupiah pun saya ambil dari harta warisan kakak saya untuk para putranya yang masih yatim”. Akhirnya Ustadz tersebut bersedia makan.
Penulis: KH Ma’ruf Khozin, Ketua Aswaja Center PWNU Jawa Timur.