Kitab Kuning Tradisi Intelektual Warga NU yang Khas.
Tanpa mengurangi rasa hormat ke ormas yang lain, harus saya akui bahwa warga NU punya tradisi intelektual yang hebat dan khas, yang menjadikannya berbeda dengan warga di ormas lain bahkan membuatnya unggul. Tradisi seperti apakah?
Kita bisa perhatikan dan hal itu sangat jelas kentara ketika datangnya bulan ramadhan. Ribuan pesantren di seluruh Indonesia ramai-ramai menggelar ngaji kitab kilatan. Berbagai macam kitab dikaji, dengan berbagai macam fan (disiplin) ilmu. Tidak mau kalah, warga-warga NU di kampung-kampung pun menggelar ngaji kitab di musholla dan masjid yang biasanya diampu oleh kyai kampung. Di tengah pandemi covid-19, ribuan pesantren menggelar ngaji kitab online.
Ada banyak sekali kitab yang sangat populer yang menjadi favorit di bulan ramadhan. Paling disukai santri biasanya kitab “Qurotul ‘Uyun”, sebuah kitab yang berisi pendidikan seks dan panduan menikah sesuai dengan syariat Islam. Paling seru kalau ngaji Qurotul Uyun bersama-sama antara santri putra dan putri. Kitab lain yang cukup populer dikaji adalah “Talimul Muta’allim”, kitab yang berisi pedoman dan panduan bagi santri dalam mencari ilmu.
Kitab adalah sesuatu yang tak terpisahkan dari warga NU. Kitab-kitab mu’tabar adalah panduan dan pedoman warga NU dalam beribadah dan beragama. Warga NU tidak langsung berpedoman kepada Al-Qur’an dan hadits karena paham bahwa yang bisa langsung memahami dari Al-Qur’an dan hadits hanyalah para ulama-ulama besar.
Tradisi kitab yang sangat kuat di warga NU membuat sturktur keilmuan warga NU jelas. Dalam mengkaji kitab, harus berjenjang, dari yang paling mudah, sampai yang level berat. Semakin berat kitab yang dikaji oleh warga NU, artinya sudah punya struktur keilmuan yang cukup baik. Warga NU yang baru ngaji kitab safinah, tidak akan berani berdebat dengan orang yang sudah ngaji kitab fathul warib atau fathul mu’in.
Warga NU yang sangat kuat tradisi kitabnya adalah mereka yang masih tinggal di pesantren-pesantren yang berafiliasi dengan NU. Tidak semua pesantren di Indonesia berafiliasi dengan NU karena mulai banyak ormas lain yang mendirikan pesantren.
Warga NU yang tinggal di kampung meskipun tradisi kitabnya tidak sekuat santri, namun bukan berarti meninggalkan tradisi kitab. Pengajian-pengajian rutin di kampung-kampung warga NU rata-rata berbasis kitab. Kitab-kitab yang cukup sering dikaji oleh warga NU di kampung di antaranya Safinah, Sulam Taufik, serta Durotun Nasihin.
Pengajian-pengajian di NU yang tidak berbasis kitab biasanya hanya di pengajian-pengajian besar seperti dalam rangka maulid Nabi, Isro’ Mi’roj, Haflah Akhirussannah di pesantren, dan sebagainya. Namun saya berani bertaruh, dalam menyampaikan pengajian, sang kyai lebih sering menukil dari kitab-kitab mu’tabar dibanding berdalil dari Al-Qur’an dan hadits. Jarang sekali kyai NU berdalil langsung dari Al-Qur’an dan hadis kecuali sudah benar-benar ‘alim ‘allamah dan seorang mufassir.
Tradisi sanad juga sangat kuat di NU. Mereka enggan untuk membaca kitab sendiri (kecuali yang sudah memiliki kemampuan untuk memahami sebuah kitab). Mereka harus ngaji kitab kepada seorang guru, ustadz, atau kyai, yang sanad keilmuannya bersambung hingga rasulullah SAW. Mereka tidak mau ngaji kitab kepada seseorang yang sanad keilmuannya tidak jelas. Sanad begitu penting bagi warga NU sebagai upaya untuk menjamin bahwa ilmu yang didapat sudah sesuai dan tidak menyelisihi ajaran Rasulullah SAW.
Adakah ormas lain yang memiliki tradisi intelektual yang khas seperti NU? Yang warganya mendapat ilmu berbasis kitab mu’tabar yang kebenarannya bisa dipertanggung jawabkan? yang ilmunya bukan hanya hasil improvisasi dan kreativitas dari para tokoh di ormas tersebut? Yang sanad keilmuan gurunya jelas dan bersambung sampai rasulullah? Yang tidak langsung mengkaji dari terjemah Al-Qur’an dan hadis?
Penulis: Saefudin Achmad, Pascasarjana IAIN Purwokerto.