Kisah Puasa Para Wali Allah yang Menggetarkan Hati.
Ada sebuah kisah di jaman Nabi Sulaiman dimana beliau meminta kepada Allah agar nafsu orang-orang dicabut. Kemudian beliau ke pasar dan tidak mendapati masyarakat. Mereka semua berada di rumahnya dan di masjid untuk beribadah. Di sinilah rahasia nafsu sebagai kekuatan putaran dunia ini.
Nafsu sendiri terkadang menjadi kendaraannya setan. Setan itu fungsinya membuka peluang. Kita mesti sering muhasabah nafsu kita ini dikendalikan setan atau akal.
Nafsu sendiri menurut istilah adalah sesuatu yang mengajak kepada keburukan. Tapi nafsu pula yang membedakan manusia dengan malaikat dan iblis. Manusia bisa lebih tinggi derajatnya dari malaikat atau lebih rendah daripada iblis, tergantung bagimana dia mengendalikan nafsunya.
Para wali lahir dari penindasan mereka terhadap nafsu. Sementara orang hanya berpuasa menahan larangan tapi para wali yang sudah menekan nafsunya punya semangat puasa untuk membangun jiwa, bukan hanya menahan diri.
Dikisahkan dari Sahl bin Abdullah at-Tustari bahwa ia makan dalam setiap lima belas hari sekali. Jika bulan Ramadhan tiba, ia hanya makan sekali dalam satu bulan.
Dikisahkan dari Sahl bin Abdullah at-Tustari bahwa ia makan dalam setiap lima belas hari sekali. Jika bulan Ramadhan tiba, ia hanya makan sekali dalam satu bulan. Kenyataan langka ini ditanyakan seorang sufi kepada seorang syaikh sufi, maka ia menjawab,
“Setiap malam ia hanya berbuka dengan air bersih saja.”
“Mengapa ada wali khowariqul adat terkadang tidak puasa?”.
Kami sepakat bahwasanya ini tetap harus menggunakan husnodhon. Siapa yang tahu detail wali? Hanya Allah.
Pernah di Yaman, negeri para wali ada seorang wali yang dilihat penduduk desa tidak puasa. Setelah itu beliaupun diawasi dua orang yang ingin menyaksikan puasanya.
Kedua orang itu ikut puasa bahkan sampai 30 hari, tapi begitu keluar dari kediaman wali itu ternyata puasa di desanya baru sehari berjalan. Ini keajaiban auliya.
Ada dimensi wali yang hanya untuk mereka sendiri. Kita tak boleh meniru yang khawariq. Lebih utama kita mengikuti wali yang a’lim dan mengikuti syari’ah.
As-Sarraj pernah mendengar dari Ahmad bin Muhammad bin Sunaid, walikota Dinawar yang kotanya terletak di provinsi Al-Jabal, dekat Qirmisin. Wali kota ini menceritakan tentang pengalaman Ruwaim, seorang sufi pada zamannya.
“Aku pernah berkeliling kota Baghdad di siang hari yang sangat panas, sehingga aku kehausan. Kemudian aku mendatangi pintu rumah seseorang untuk minta air minum. Ternyata seorang pembantu perempuan membukakan pintu dan keluar dengan membawa kendi baru yang berisi air dingin. Tatkala aku mau mengambil air dari tangannya, ia berkata kepadaku,
“Celaku kau! Seorang sufi minum di siang hari!”
Kemudian ia membanting kendi itu ke tanah hingga pecah dan berpaling meninggalkanku. Aku merasa malu dengan perempuan itu dan aku bernadzar untuk selalu berpuasa dan tidak pernah membatalkannya untuk seumur hidup.
Luar biasa memang kisah puasa para Wali Allah yang menggetarkan hati. Ada kisah lagi yang lebih dahsyat.
Abu Abdillah Ahmad bin Jabban, seorang sufi lainnya, berpuasa selama lebih dari lima puluh tahun. Ia tidak pernah membatalkan puasanya, baik ketika sedang bepergian maupun saat tidak berpuasa.
Suatu hari teman-temannya memaksanya untuk tidak berpuasa. Akhirnya ia membatalkan puasanya. Setelah itu, ia sakit beberapa hari akibat ia membatalkan puasanya, dan hampir saja ia tidak bisa melakukan yang fardhu.
Dikisahkan, Al-Junaid Al-Baghdadi telah terbiasa berpuasa secara terus-menerus. Jika teman-temannya datang, ia akan menemani mereka makan. Ia berkata,
“Keutamaan saling membantu antarsaudara tidaklah kurang berarti daripada keutamaan puasa bagi orang yang biasa berpuasa, jika puasa itu sunah.”
Dikisahkan dari Abu Ubaid al-Bashri bahwa ketika bulan Ramadhan, ia masuk rumah dan segera mengunci pintunya lalu berpesan kepada istrinya,
“Setiap malam tolong lemparkan sepotong roti lewat lubang dinding (ventilasi).”
Ia tidak akan keuar dari kamar, sehingga bulan Ramadhan berakhir. Tatkala tiba Hari Raya dan istrinya masuk ke kamarnya, betapa terkejutnya istri yang rela ditinggal beribadah suaminya selama sebulan itu, ia menemukan tiga puluh potong roti tertumpuk di sudut kamar.
Seorang waliyullah besar wanita dari Mesir, Sayyidah Nafisah binti Hasan (145 – 208 H) pada masa hidupnya selalu menghidupkan sepanjang malamnya dengan menegakkan shalat dan ibadah-dibadah lainnya. Sedangkan pada siang harinya selalu menjalankan puasa sunnah. Beliau menjalankan “Shaum ad-Dahri” atau Puasa Sepanjang Tahun (kecuali lima hari yang diharamkan puasa, yaitu: Hari Raya Idul Fitri tanggal 1 Syawal, Hari Raya Idhul Adha tanggal 10 Dzul-Hijjah, dan tiga hari tasyrik tanggal 11, 12, 13 Dzul-Hijjah) sampai menjelang ajalnya, yakni selama 30 tahun.
Syekh Abdurrahman Assegaff berkata: “Bilamana ayahku sedang membaca satu ayat Al- Quran, maka lidah beliau seolah-olah menjadi bara. Dan tak lama kemudian akan terlihat bibir beliau terbakar, karena dahsyatnya rasa Khauf beliau kepada Allah swt. Bagaimana puasanya? Sungguh di luar bayangan kita.
Puasa wali tanah Jawa juga tak kurang menarik dicermati. Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun di suatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya.
Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk mendoakan para keturunan beliau serta para santri santrinya. Dalam hal adab selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Almaghfurlah KH. Daldiri Lempunyangan Yogya, yang kini diteruskan KH Misbahul Munir (ada yang memanggil Gus Misbah, tapi lebih suka dipanggil Kang Misbah) beserta ratusan barisan santri beliau yang umumnya penghapal Qur’an, punya kebiasaan mengamalkan Puasa Dawud ini. Ada yang menjalankan selama 3 tahun, 5 tahun, 7 tahun, bahkan ada yang seumur hidup
Kita perlu belajar dari hidup para auliya. Ada wali yang ketika makan merasa enak maka beliau langsung buru-buru berhenti karena takut itu adalah nafsu. Ada pula wali yang ketika menanak nasi beliau mencampurinya dengan bratawali agar pahit dan nasinya tidak enak. Semua demi melawan kesenangan dan hawa nafsu.
Puasa kanjeng nabi sendiri dan para aulia itu termasuk puasa “ngrame”. Berpuasa di tengah kerumunan orang yang tidak berpuasa dan orang-orang tidak tahu kalau kanjeng nabi atau para aulia itu sedang berpuasa. Jadi ketika kanjeng nabi berpuasa, orang lain makan dan minum di depan kanjeng nabi. Tetapi kanjeng nabi biasa saja. Tidak marah, tidak emosi atau menyuruh merazia dan menghukumnya. Kanjeng nabi malah tersenyum.
Allah berfirman: “Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya”. (HR Bukhari-Muslim).
Demikian kisah puasa para Wali Allah yang menggetarkan hati, semoga bermanfaat.
Penulis: Agung, penulis kolom dan alumnus Universitas Merdeka Malang.