Jakarta, 22 Juli 1998. Selepas dluhur PBNU menggelar Rapat Gabungan Harian Syuriyyah dan Tanfidziyah untuk mendengarkan dan membahas laporan Tim Lima dan Tim Assistensi (biasa disebut Tim Sembilan karena beranggotakan Sembilan orang), yang ditugaskan PBNU untuk menjembatani keinginan warga NU memiliki partai politik sendiri.
Tim Lima yang terdiri dari Ketua KH. Ma’ruf Amin (sekarang Rais Aam PBNU), dengan anggota Dr. KH. Said Agil Siraj, MA (sekarang Ketua Umum PBNU), HM Rozy Munir, SE, MSc (alm), H. Ahmad Bagja (saat itu Sekjen PBNU) dan Ir. H. Mustofa Zuhad (menggantikan KHM. Dawam Anwar yang belakangan masuk Lajnah Sebelas Rembang) dibentuk dalam Rapat PBNU yang dipimpin oleh Wakil Rais Aam PBNU, KHMA. Sahal Machfud pada tanggal 23 Mei 1998. Rapat ini merespons gejolak sosial politik paska lengsernya Preisen Suharto tanggal 20 Mei 1998, di antaranya keinginan warga masyarakat dan tentu tak ketinggalan warga NU, untuk mendirikan partai politik.
Menyusul rapat 23 Mei 1998 itu, pada tanggal 3 Juni 1998 PBNU menggelar Rapat Gabungan Harian Syuriyyah dan Tanfidziyah mengesahkan Tim Lima serta membentuk Tim Sembilan yang diketuai Arifin Junaidi (Wakil Sekjen PBNU), dengan anggota HM. Fachri Toha Ma’tuf (Katib Syuriyyah), H. Muhyidin Arubusman (Wakil Sekjen PBNU), HM. Nashihin Hasan (aktifis LSM), Drs. H. Abdul Aziz ( Departemen Agama), Drs. H. Lukman Hakim Saifuddin (politis, sekarang Menteri Agama), H. Andi Muawiyah Ramly (Ketua Lembaga di lingkungan NU), Drs. Amin Said Husni (pengurus badan otonom NU) dan Drs. HA. Muhaimin Iskandar (aktifis NU). Tim tersebut dibekali tugas PBNU untuk memfasilitasi aspirasi warga NU yang menginginkan agar NU memiliki partai politik sebagai wadah penyaluran aspirasi politik yang selama orde baru tersumbat.
Akhirnya setelah bekerja keras dalam waktu yang singkat Tim berhasil menyusun rancangan; 1) pokok-pokok pikiran NU mengenai reformasi politik, 2) mabda’ siyasi, 3) hubungan partai politik dengan NU, 4) AD/ART, 5) lambang partai, 6) naskah deklarasi dan 7) rancangan susunan pengurus partai. Rapat PBNU 22 Juli 1998 menerima dan mengesahkan seluruh rancangan itu, termasuk menentukan nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari alternatif nama yang diusulkan. Hanya saja Rapat memberikan catatan; agar rencana penunjukan H. Matori Abdul Djalil (MAD) sebagai Ketua Umum DPP PKB ditinjau kembali. Sebagai alternatifnya diusulkan beberapa nama antara lain KHA. Mustofa Bisri (Rais, biasa disapa dengan Gus Mus dan baru saja melepas jabatan Rais Aam). Untuk itu Rapat menunjuk KHM. Ilyas Ruchiyat (Rais Aam), KHA. Muchit Muzadi (Rais) dan Gus Mus untuk mengkomunikasikannya dengan H. Abdurrahman Wahid (Ketua Umum, biasa disapa GD). Saya ditugasi untuk mengantar kiai-kiai tersebut.
Namun hingga menjelang maghrib hanya Kiai Ilyas yang siap ke rumah GD di Ciganjur, sedangkan dua kiai yang lain keluar kantor PBNU karena suatu keperluan. Akhinya saya mengantar Kiai Ilyas sendirian ketemu GD di rumahnya Ciganjur. Setelah berbasa-basi dan menyampaikan keputusan rapat PBNU, Kiai Ilyas menyampaikan bahwa untuk Ketua Umum PKB supaya ditunjuk yang lain saja supaya tidak menimbulkan polemik, lengkap dengan alternatifnya. GD menolak permintaan itu dan bersikukuh Ketua Umum PKB adalah MAD. Karena mendapat mandat dari rapat, Kiai Ilyas pun bersikukuh, untuk Ketua Umum PKB harus dicari figur lain. Setelah berdebat cukup alot GD mempungkasi dengan pernyataan, “Kalau PBNU tidak setuju MAD, dan karena ketidaksetujuan itu PBNU tidak setuju berdirinya PKB, saya akan deklarasikan sendiri PKB, berdasarkan seluruh hasil kerja Tim. Berarti berdirinya PKB tanggungjawab saya sendiri bukan PBNU!” Kiai Ilyas pun pamit tanpa titik temu. Deklarasi partai yang kelahirannya dibidani NU terancam batal.
Tak lama kemudian Kiai Muchit tiba dan menyampaikan hal yang sama dengan Kiai Ilyas. Sikap GD pun tetap. Setelah berdebat cukup lama akhirnya Kiai Muchit menyampaikan, “Ya saya bisa mengerti jalan pikiran GD dan untuk kebaikan bersama saya setuju kita deklarasikan partai ini sebagaimana rencana semula, Ketua Umum MAD. Namun ini untuk sementara saja. Nanti setelah keadaan memungkinkan MAD diganti, sesuai dengan hasil rapat PBNU tadi. Nanti saya yang sampaikan kepada Kiai Ilyas hal ini!” GD menyambut gembira jalan tengah yang disampaikan Kiai Muchit tersebut.
Sekeluar dari kamar GD Kiai Muchit ngendiko ke saya dalam bahasa jawatimuran yang kira-kira begini, “Sejak kecil GD kalau sudah punya mau sulit dicegah atau dibelokkan. Saya tahu persis karena saya yang momong GD saat saya nyantri di Tebuireng. Kalau sampai GD mendeklarasikan sendiri partai ini bisa menjadi preseden yang buruk, tidak hanya bagi jam’iyah dan jamaah NU, tapi bisa jadi juga bagi bangsa dan negara kita. Karena itu, untuk kepentingan yang lebih besar tak ada salahnya kita mengalah.” Seperti kita tahu, keesokan harinya 23 Juli 1988 PKB dideklarasikan di Ciganjur dihadiri oleh seluruh pimpinan PBNU, badan otonom, lembaga/lajnah serta pengurus NU dari seluruh Indonesia dengan antusias. Dan seperti kita tahu, Kiai Muchit juga menjadi salah satu dari lima deklarator PKB.
Begitulah Kiai Muchit mengekspresikan cara berpikir, bersikap dan bertindak para kiai menggunakan kaidah dar’ul mafasid muqaddamun ‘alaljalbil mashalih, menghindarkan mafsadat/kerusakan itu diprioritaskan daripada mengambil manfaat suatu hal. Rasanya itu pula yang Kiai Muchit lakukan saat diminta alm. KH. Ahmad Shiddiq merumuskan konsep Kembali Ke Khittah yang kemudian menjadi fenomenal setelah Munas NU 1983 dan Muktamar NU 1984 di Situbondo. Konsep Kembali Ke Khittah yang disusunnya itulah antara lain yang mengantarkan KH. Ahmad Shiddiq terpilih menjadi Rais Aam PBNU.
Saya tak bisa membayangkan andai saja dalam soal MAD saat itu Kiai Muchit tak bersikap seperti itu apa yang terjadi. Mungkin tak pernah ada PKB yang kelahirannya difasilitasi NU, yang ada PKB yang dideklarasikan warga NU yang mungkin juga akan bernasib sama seperti partai-partai lain yang didirikan warga NU. PKB menjadi besar dan berpengaruh seperti sekarang ini karena awal kelahirannya ditentukan oleh sikap Kiai Muchit yang mengambil posisi “ngalah luhur wekasane”.
Penulis: KH Zainal Arifin Junaidi, Ketua PP Ma’arif NU.