NU selama ini dikenal sebagai ormas Islam yang paling vokal menyuarakan Pancasila sebagai dasar negara. Betapapun demikian, catatan sejarah NU menunjukkan, perlu perjuangan yang gigih untuk melegalkan Pancasila sebagai ‘satu-satunya’ ideologi negara. Adalah Kiai Achmad Shiddiq, Rais Aam PBNU yang menjadi simpul diterimanya asas tunggal di kalangan NU.
Kiai Ahcmad Shiddiq adalah ulama pembaruan yang berasal dari Jember. Beliau merupakan pribadi yang sangat dihormati, punya kemauan besar, serta ketegasan dan keteguhan. Keterbukaan dalam berpikir dan berdialog menjadikannya tokoh yang sangat moderat. Beliau pernah menjadi sekretaris pribadi Kiai Wahid Hasyim ketika menjadi ketua NU dan menteri agama (sesudah Kiai Masykur). Selain itu, beliau juga mempunyai pengalaman politik yang lama sebagai anggota DPR. Keluasan pengetahuan agama dan pengalaman politik menjadikan Kiai Ahcmad Shiddiq disegani oleh orang lain.
Fase paling menentukan terhadap penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal terjadi di tahun 1983. Legalisasi dari ulama NU di awali oleh Kiai As’ad Samsul Arifin, ulama karismatik NU yang berasal dari Situbondo. Beliau mempunyai pengaruh yang sangat besar di Madura dan Jawa Timur bagian timur. Saat itu, Kiai As’ad memberikan pernyataan ‘wajib’ mengamalkan Pancasila bagi semua umat. Pernyataan itu muncul setelah Kiai As’ad membaca beberapa buku dan mendapat jaminan dari Gubernur Jawa Timur (Sunandar) bahwa Pancasila selaras dengan tauhid. Kemudian pernyataan itu meluas ke seluruh Indonesia dan menjadi gerbang utama diterimanya asas tunggal. Pembahasan lebih mendalam mengenai Asas Tunggal ini kemudian digodok dalam munas para ulama di Situbondo, Desember 1983.
Dalam munas yang dituanrumahi oleh Kiai As’ad inilah peran Kiai Achmad Shiddiq sangat sentral. Terjadi gejolak untuk ‘menolak’ Pancasila sebagai asas tunggal. Hal itu bermula ketika para ulama telah bertemu di Situbondo. Sebuah pamflet dalam bahasa Arab disebarkan ke kalangan kiai. Pamflet itu berisi pernyataan keras menolak asas tunggal. Ternyata isi pamflet itu sedikit banyak mempengaruhi pemikiran para kiai. Setelah itu, sebanyak 34 dari 36 kiai yang mendiskusikan masalah tersebut menyatakan berbagai keberatan terhadap penerimaan asas tunggal.
Di situasi yang sedemikian gawat, Kiai Achmad Shiddiq tampil sebagai pemain utama. Sebagai ulama dengan kepakaran fikih yang mumpuni, beliau ditunjuk oleh ulama-ulama besar untuk mengemukakan argumen-argumen menurut fikih. Lalu beliau menarasikan argumen ke dalam teks pidato. Uniknya, teks pidato tersebut beliau ketik sendiri. Sebuah tugas yang biasanya dikerjakan oleh sekretaris pribadinya, Kiai Muchith Muzadi. Dalam pidatonya yang sangat meyakinkan, Kiai Achmad mengemukakan bahwa Pancasila dan Islam adalah dua kesatuan yang saling menunjang. Keduanya terpisah namun tidak bertentangan. Pancasila adalah ideologi, sebuah hasil ‘ijtihad’ manusia, sedangkan Islam adalah agama, sesuatu yang diwahyukan Tuhan. Argumen pokok yang beliau sampaikan adalah:
“Dasar negara (Pancasila) dan agama Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang yang lain.”
Kiai Achmad Shiddiq dengan tegas menepis semua anggapan yang mengatakan Pancasila menjadi alat sekulerisme yang anti Islam. Beliau menjelaskan dengan lugas bahwa penerimaan terhadap Pancasila merupakan pelaksanaan secara nyata syariat bagi umat Islam. Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ merupakan ajaran tauhid, yang menjadi akidah umat Islam. Selain itu, NU sendiri di awal sejarah kemerdekaan, ikut andil dalam penyusunan Undang-Undang Dasar pada tahun 1945.
Akhirnya, setelah penjelasan panjang lebar dari sudut pandang fikih dan kenegaraan, sebagian besar ulama menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Keteguhan Kiai Achmad Shiddiq dalam mempertahankan wacana asas tunggal tidaklah didasari pemikiran yang ‘serampangan’. Proses yang beliau lalui untuk memperoleh pengakuan definitif terhadap Pancasila, sangat kompleks. Selain melalui telaah kitab-kitab agama, Al-Quran, dan Hadis, beliau juga berdiskusi dengan ulama besar. Sebelum munas dilaksanakan, beliau bertukar pendapat dengan empat ulama berpengaruh. Kiai As’ad, satu-satunya generasi pendiri NU yang masih hidup. Kiai Machrus Ali, yang memberkati perang jihad melawan PKI di Kediri. Kiai Ali Ma’sum, yang saat itu menjabat sebagai Rais Aam PBNU dan pendiri pondok pesantre Krapyak, Yogyakarta. Juga Kiai Masykur, mantan Menteri Agama masa Soekarno dan tokoh penggerak perjuangan santri pada November 1948 yang berasal dari Jakarta.
Setelah berdiskusi selama seperempat hari, akhirnya empat ulama tersebut menyetujui argumentasi yang disampaikan Kiai Achmad Shiddiq: Pancasila diterima sebagai asas tunggal. Namun, penerimaan asas tunggal tersebut mendapat catatan tambahan yang berbunyi “Pancasila adalah suatu ideologi, dan ideologi bukanlah agama. Pancasila tidak boleh dijadikan agama. Islam adalah agama dan bukannya ideologi, agama diciptakan oleh Allah, sedangkan ideologi oleh manusia. Jadi, jangan sampai agama dipancasilakan.”
Peran sentral Kiai Achmad Shiddiq tidak berhenti di titik penerimaan asas tunggal. Sebagai ulama umat Islam, beliau dituntut tetap mempertahankan identitas Islam. Pada Muktamar NU tahun 1984 misalnya: Pancasila ‘harus’ dimasukkan ke dalam teks Anggaran Dasar organisasi NU. Hal tersebut menjadi tantangan sendiri bagi Kiai Achmad, yakni memenuhi harapan pemerintah, sekaligus para ulama yang tidak mungkin melepaskan identitas keagamaan.
Di muktamar tersebut Kiai Achmad Shiddiq memberikan rumusan yang mengakomodir Islam dan Pancasila (yang akhirnya disetujui oleh forum). Islam tetap diletakkan di tempat utama sebagai akidah (pasal 3). Sementara Pancasila dicantumkan sebagai ideologi dalam berbangsa dan bernegara (pasal 4). Pancasila dijadikan salah satu perwujudan dari upaya menjalankan syariat agama bagi umat Islam Indonesia. Ideologi dan agama mendapatkan tempatnya masing-masing, tanpa saling bertentangan. Formulasi tersebut mendapat pujian dari beberapa kelompok yang awalnya menentang asas tunggal. Salah satunya Korps Muballigh Indonesia (KMI) yang diwakili oleh Syafruddin Prawiranegara. (Iwan Hantoro/Rn)
Di kemudian hari, Kiai Achmad Shiddiq tetap menjadi ulama terdepan dalam mempertahankan Pancasila sebagai dasar dari Indonesia, negara kesatuan yang berbentuk republik.
Referensi: buku NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna di Tengah Prahara (Andree Feillard) dan beberapa sumber tambahan.
*Tulisan ini adalah karya Mahasiswa KPI UIN Sunan Kalijaga yang sedang melakukan kegiatan Magang Profesi di Majalah Bangkit dan Bangkitmedia.com