RUU Pesantren yang sudah menjadi pembicaraan dalam 2 tahun terakhir ini akhirnya disahkan sebagai UU Pesantren dalam sidang Paripurna DPR RI di Gedung Senayan DPR/MPR RI, Selasa (24/10).
Menurut Ketua PBNU Robikin Emhas, UU Pesantren yang sudah disahkan ini adalah kado istimewa bagi bangsa dan negara dalam menyambut Hari Santri, 22 Oktober 2019 nanti.
“Alhamdulillah, RUU Pesantren disahkan menjadi UU. Terima kasih Presiden Jokowi, DPR RI dan segenap pihak yang tidak mungkin disebut satu persatu. Secara khusus, terima juga kepada DPP PKB dan Fraksi PKB. Juga PPP dan parpol lainnya,” tegas Robikin.
Bagi Robikin, pengesahan UU Pesantren penting karena pesantren merupakan pilar penanaman nilai agama dan nasionalisme yang sudah teruji perannya.
“Selain itu, UU Pesantren yang disahkan jelang peringatan Hari Santei 22 Oktober 2019 juga boleh dibilang merupakan kado tersendiri, bagi bangsa dan negara. Semoga UU Peantren menambah berkah bagi Indonesia,” pungkas Robikin.
Sementara itu, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menegaskan bahwa pihaknya memahami keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta empat RUU untuk ditunda pengesahannya. DPR melalui forum Badan Musyawarah (Bamus) kemarin dan forum lobi hari ini sepakat menunda pengesahan RUU KUHP dan RUU Lembaga Permasyarakatan.
“Karena ditunda, DPR RI bersama pemerintah akan mengkaji kembali pasal per pasal yang terdapat dalam RUU KUHP, khususnya yang menjadi sorotan publik. Sambil juga kita akan gencarkan kembali sosialisasi tentang RUU KUHP, sehingga masyarakat bisa mendapatkan penjelasan yang utuh, tak salah tafsir, apalagi salah paham menuduh DPR RI dan pemerintah ingin mengebiri hak-hak rakyat,” ujar Bamsoet dalam keterangan tertulisnya, Selasa (24/9/2019).
Dua RUU lainnya, yakni RUU Pertanahan dan RUU Minerba, masih dalam pembahasan di tingkat I dan belum masuk dalam tahap pengambilan keputusan.
“Pada dasarnya penyusunan RUU KUHP sudah melibatkan berbagai profesor hukum dari berbagai universitas, praktisi hukum, maupun lembaga swadaya dan organisasi kemasyarakatan, sehingga keberadaan pasal per pasalnya yang dirumuskan bisa menjawab berbagai permasalahan yang ada di masyarakat Indonesia,” pungkas Bamsoet.
Terkait RUU KUHP ini, Robikin menegaskan bahwa RUU KUHP Buku Satu dan Buku Dua berjumlah lebih dari 750 pasal. 14 pasal dianggap perlu penyempurnaan. Konsep RUU KUHP dibuat sejak tahun 1968. Tidak pernah selesai dbahas dalam 1 periode DPR.
“Mengapa tidak memilih menyempurnakan melalui mekanisme lain? Periode berikutnya terhadap pasal-pasal yang dinilai belum clear jauh lebih bijaksana. Mengapa? Karena carry over berdasarkan UU 12/2011 tidak memutlakkan keharusan DPR periode berikutnya untuk membahasnya. Prosesnya dari nol lagi. Jika harus dibandingkan keseluruhannya, RKUHP jauh lebih baik dari KUHP warisan kolonial yang berlaku saat ini. Itu tidak bisa dipungkiri,” tegas Robikin.
Adapun terkait RUU Pertanahan, PBNU meminta agar dibahas lebih mendalam oleh DPR RI periode mendatang.
“Perlu partisipasi publik lebih luas dan butuh waktu menyempurnakannya. RUU Pertanahan dan RUUKUHP. Sedikitnya ada 3 problem akut di bidang pertanahan. Yakni, ketimpangan kepemilikan tanah, konflik agraria yang meluas dan alih fungsi lahan. Kemiskinan struktural diantaranya lahir dari problem pertanahan ini. RUU Pertanahan diniali belum memberi resolusi hal itu,” pungkas Robikin. (yan/red)