Ketika Kemunafikan Makin Populer, Bagaimana Sikap Kita?
Oleh: Gus Supriyadi Berfikir, Guru MA Ali Maksum Krapyak, Penulis buku-buku keislaman kontemporer.
Di era Rasulullah Saw, ada seorang munafik yang sangat populer. Namanya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Dia mengaku muslim namun pengakuan tersebut hanya untuk mencari selamat dan keuntungan pribadi belaka. Dia juga salah seorang yang menyebarkan berita dusta yang sangat meresahkan tentang perselingkuhan Aisyah (putri Abu Bakr sekaligus istri Rasulullah Saw) yang kemudian hal itu disebut hadits al-ifki.
Bukan hanya tentang hadits al-ifki, melainkan hal-hal besar lainnya. Jika kita membaca sejarah, tentu kita akan menjumpai kisah orang-orang Yahudi di Madinah (Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa). Rasulullah Saw di Madinah (hijrah) bersepakat damai dengan orang-orang Yahudi tersebut dalam nota perjanjian (Piagam Madinah). Hanya saja, Abdullah bin Ubay bin Salul melakukan hal-hal yang merusak nota perjanjian tersebut. Dia memprovokasi orang-orang Yahudi agar membelot dan melanggar nota perjanjian damai tersebut. Walhasil, orang-orang Yahudi pun benar-benar melanggar perjanjian damai tersebut. Abdullah bin Ubay bin Salul itulah salah seorang yang melatarbelakangi pelanggaran terhadap perjanjian damai tersebut.
Dia sangat berbahaya, tetapi Rasulullah Saw sendiri tidak menentukan sikap kepadanya karena secara lahir, dia tidak menampakkan permusuhan dengan Rasulullah Saw dan umat Islam tetapi secara batin, dia menyimpan kemunafikannya sehingga banyak membuat onar dan keresahan di dalam umat Islam. Umar bin Khatthab mengusulkan agar dia dibunuh saja. Bahkan, putra Abdullah bin Ubay bin Salul sendiri meminta kepada Rasulullah Saw untuk membunuh ayah kandungnya sendiri itu. Hanya saja, Rasulullah Saw tidak menghendaki pembunuhan tersebut.
Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul tewas, Rasulullah Saw hendak menyalatinya. Akan tetapi, Umar bin Khatthab mengusulkan kepada Rasulullah Saw agar tidak menyalatinya. Lantas, Jibril datang kepada Rasulullah Saw membawa pesan dari Allah agar tidak menyalati orang munafik.
Ya, orang munafik memang tidak pantas disalati. Akan tetapi, pantaskah umat Islam yang hanya karena berbeda paham tentang politik itu disebut sebagai munafik?
Orang-orang munafik yang tidak boleh disalati jika sudah meninggal itu bukan ditentukan oleh politik, melainkan agama (Islam). Jadi, hendaknya perlu dibedakan, mana ranah politik dan mana ranah agama.
Wallahu a’lam
Demikian Ketika Kemunafikan Makin Populer, Bagaimana Sikap Kita?. Semoga bermanfaat.