LBM PWNU DI YOGYAKARTA
Tentang Hukum Penggusuran Rumah dan Lahan
untuk Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA)
Yogyakarta, 24 Desember 2017
Prinsip agama Islam adalah melindungi hak-hak kemanusiaan dan hak kepemilikan. Islam melarang keras adanya pelanggaran kemanusiaan yang berkaitan perampasan kepemilikan. Sesuatu yang telah sah menjadi hak seseorang secara sah tidak boleh diganggu. Pemindahan kepemilikan hanya dibenarkan apa bila sesuai dengan syariat seperti hibah, hadiah, jual beli yang dilakukan secara ihlas tidak ada paksaan dan atau karena warisan.
Penggusuran tanah atau lahan milik warga yang dilakukan pihak pemerintah memang kerap memicu persoalan serius. Hal ini dipicu karena faktor ganti rugi yang tidak sesuai, dan juga karena tidak ada kesepahaman dari pihak pemerintah dengan masyarakat. Untuk kasus banda udara New Yogyakarta International Airport (NYIA) masalah yang timbul bukan hanya sekedar ganti rugi, namun merambah kepada permasalahan yang lebih kompleks berkaitan dengan sosial, ekonomi, agama, dan tergerusnya kebudayaan ala pedesaan menjadi budaya metropolitan yang tentunya akan sangat mempengaruhi sosial kultur masyarakat. Inilah diantara beberapa alasan sebagian warga menolak menjual rumah dan lahannya. Namun dalam sisi yang lain, pemerintah telah melakukan beberapa kajian dan alasan bahwa pembangunan Bandar Udara sangat diperlukan, diantaranya:
- Bandar udara Adi Sucipto sekarang sudah tidak memadai untuk hilir mudik pesawat yang semakin lama semakin meningkat kepadatannya.
- Bandar udara Adi Sucipto bukan milik domestic, tapi milik TNI yang digunakan untuk kepentingan umum.
- Untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Yogyakarta dan sekitarnya seperti Magelang dan Solo dalam rangka meningkatkan anggaran pendapatan dan meningkatkan kemajuan ekonomi masyarakat.
Mensikapi permasalahan ini, setelah melakukan diskusi yang panjang yang dihadiri oleh segenap pengurus Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PCNU Kabupaten/Kota se DI. Yogyakarta, para tokoh ulama, dan masyarakat, LBM PWNU DI. Yogyakarta merumuskan sikap kehati-hatian. Dimana satu sisi pemerintah dalam pandangan Islam mempunyai hak secara absolut, dalam sisi lain ada hak-hak harta dan sosial masyarakat harus dilindungi.
Dalam kasus Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) LBM NU DIY mempunyai pandangan bahwa: Pemerintah TIDAK BOLEH melakukan penggusuran paksa terhadap rumah dan lahan masyarakat secara paksa kecuali memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Pembangunan bandar udara New Yogyakarta International Airport (NYIA) benar-benar mengandung kemaslahatan yang bersifat umum (al-mashlahah al-‘ammah). Yang dimaksud Maslahah ‘ammah adalah sesuatu yang mengandung nilai manfaat dilihat dari kepentingan umat manusia dan tiadanya nilai madharat yang terkandung di dalam, baik yang dihasilkan dari kegiatan jalbul manfa’ah (mendapatkan manfaat) maupun kegiatan daf’ul mafsadah (menghindari kerusakan). Maslahah ‘ammah harus selaras dengan tujuan syariat, yaitu terpeliharanya lima hak dan jaminan dasar manusia (al-ushul al-khamsah), yang meliputi: keselamatan keyakinan agama, keselamatan jiwa (dan kehormatan), keselamatan akal, keselamatan keluarga dan keturunan, dan keselamatan hak milik. Hal ini sebagaimana rumusan Keputusan Bahtsul Masa’il Muktamar NU ke-29 di Tasikmalaya, Jawa Barat, 1 Rajab 1415 H / 4 Desember 1994.
- Pembangunan bandara tersebut tidak menimbulkan madlarat yang lebih besar dibanding kemashlahatannya terutama yang berkaitan dengan ekosistem sosial, ekonomi, lingkungan, dan budaya.
- Harus dengan ganti rugi yang setimpal yang sekira bisa dipergunakan untuk membeli lahan dan membuat rumah seperti semula.
- Pembangunan dan penanganan proyek bandara harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jika pembangunan dan penanganan proyek Bandar Udara New Yogyakarta International Airport (NYIA) tidak memenuhi 4 klausul di atas, maka pemerintah TIDAK BOLEH melakukan tindakan apapun yang menganggu kepemilikan masyarakat. Dan bagi masyarakat boleh mempertahankan hak miliknya.
Namun apabila pemerintah TELAH memenuhi syarat di atas, maka pemerintah BOLEH melakukan penggusuran rumah dan lahan masyarakat secara paksa sekalipun apabila ada warga yang menolak. Dan bagi masyarakat wajib mengikuti (taat) kepada pemerintah dengan menjual rumah dan lahan yang dimiliki demi kepentingan umum. Adapun yang berkaitan dengan kepemilikan hak secara paksa, fikih memandang ada pengecualian bahwa kemaslahatan umum yang berupa fungsi bandar udara akan memberi kemanfaatan secara lebih luas kepada masyarakat lebih didahulukan dari pada kemaslahatan sebagian masyarakat. Untuk kasus semacam ini, pemerintah berhak mengambil paksa kepemilikan sebagian masyarakat secara sepihak (al-jabr) demi kemaslahatan yang lebih luas.
REKOMENDASI:
A. Pemerintah
- Agar pemerintah mempertimbangkan betul kemaslahatan bandara udara untuk kepentingan masyarakat luar lebih khusus kemaslahatan masyarakat sekitarnya.
- Setiap adanya perkembangan pembangunan pasti ada dampak yang timbul, maka pemerintah harus mengantisipasi dampak negatif yang muncul akibat adanya bandara udara tersebut, baik yang berkaitan dengan ekonomi masyarakat sekitar, sosial, lingkungan, lebih-lebih masalah agama dan moral. Jangan sampai adanya bandara tersebut merusak tatanan agama, sosial, dan prilaku yang tidak baik.
- Menjalin komunikasi dialog sebaik-baiknya dengan masyarakat dan menghindari kekerasan bentuk apapun.
- Mencarikan solusi masyarakat yang direlokasi, terutama yang berkenaan sumber ekonomi baik pertanian maupun usaha lainnya.
B. Masyarakat
- Hendaknya menjalin dialog dengan pemerintah secara baik dan terbuka.
- Menerima saran dan masukan yang lebih baik dari pemerintah berkaitan dengan relokasi dan solusinya.
REFERENSI :
- Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ.
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu…”.
Menurut Imam Mujahid dalam kitab tafsir Ibnu Katsir bahwa kata sukarela tersebut berlaku pada jual beli dan segala macam pemberian hak kepada orang lain.
2. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …”.
- Hadis Nabi SAW.:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيْ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنِّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ، (رواه البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
- Al-Qur’an surat An-Nisaa’: 59
يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا أَطِيْعُوا اللّٰهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِى الْأَمْرِ مِنْكُمْ…
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu…”.
- Al-Asybah wa An-Nadzair: 83
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة هذه القاعدة نص عليها الامام الشافعي وقال منزلة الامام من الرعية منزلة الولي من اليتيم
“Kebijakan penguasa terhadap rakyat harus berhubungan dengan kemaslahatan. Kaidah ini telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i, dan beliau berkata bahwa kedudukan penguasa dengan rakyat itu sama dengan kedudukan wali anak yatim”.
- Al-shul al-Fiqh li Abi Zahrah; 279
قرر كل مصلحة تكون من جنس المصالح التى يقررها الشارع الإسلامى بأن يكون فيها محافظة على النفس أو الدين أو النسل أو المال
“Telah ditetapkan setiap kemaslahatan dari setiap jenis beberapa kemaslahatan yang ditetapkan syari’at Islam itu harus mengandung unsur menjaga jiwa, agama, keturunan, dan harta”.
- Al-Mustashfa li Al-Ghazali Hal: 174
ومقصود الشرع من الخلق خمسة: وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم، فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة، وكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة، ودفعها مصلحة
“Maksud tujuan syariat dari manusia itu ada lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Setiap sesuatu yang mengandung menjaga lima prinsip syariat ini disebut mashlahah, sedangkan setiap sesuatu yang menghilangkan lima prinsip syariah tersebut diartikan sebuah mafsadah (kerusakan) dan menolak kerusakan bagian dari kemaslahatan”.
- Syifa’ul Ghalil li Al-Ghazali, Hal: 86-87
وتنقسم المصالح باعتبار عمومِ نفعِها وخصوصِه إلى قسمين: عامّةٌ، وخاصّةٌ. فأمَّا المصلحةُ العامَّةُ (أو الكليّة): فهي كلُّ ما فيه جلبُ نفْعٍ أو دفعُ فسادٍ يعود على جميع الأمّة، أو على جماعة كبيرة، أو قُطْر أو نحو ذلك منها. وأمّا المصلحة الخاصَّةُ (أو الجزئية): فهي كلُّ ما فيه جلْبُ منفعةٍ أو درْءُ مَفسدةٍ تَعُودُ على فردٍ معيَّن أو أفراد قليلين.
“Kemaslahatan dengan melihat keumuman dan kekhususannya terbagi menjadi dua; umum dan khusus. Yang disebut maslahah umum yaitu setiap sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan atau menolak kerusakan yang dapat dirasakan oleh seluruh manusia (umat) atau golongan yang lebih banyak. Sedangkan kemaslahatan khusus yaitu setiap sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan atau menolak kerusakan yang dapat dirasakan individu atau kelompok lebih kecil”.
- Al-Qawa’id al-Kubra li al-‘Izzi Abdussalam: 2/158
وقد ذكر العِزُّ بن عبدِ السلام في قواعده أنّ اعتناء الشرع بالمصالح العامّة أوفرُ وأكملُ من اعتنائه بالمصالح الخاصّة.
“Syekh Abdussalam dalam kitab qaidahnya telah menuturkan bahwa sesungguhnya perhatian syariat terhadap kemaslahatan yang bersifat umum itu lebih penting dan sempurna dibanding kemaslahatan bersifat khusus”.
- Al-Muwafaqaat Li Asy-Syathibi: 2/350
وعلى ذلك جاء في القواعد الفقهية أنّ «المصالح العامة مقدَّمةٌ على المصالح الخاصّة.
“Dengan demikian maka telah ada dalam kaidah fikih bahwa sesungguhnya kemaslahatan umum itu didahulukan atas kemaslahatan khusus (indiividu)”.
- Tuhfa Al-Muhtaj
نعم الذي يظهر أن ما أمر به مما ليس فيه مصلحة عامة لا يجب امتثاله إلا ظاهرا فقط بخلاف ما فيه ذلك يجب باطنا أيضا
“Sesuatu yang jelas, sesungguhnya sesuatu yang diperintah itu tidak ada kemaslahatan secara umum, maka tidak wajib taat pemerintah kecuali secara dhahir, namun jika ada unsur maslahah umum, maka wajib taat lahir batin”.
- Al Asybah wan Nadhair, hlm. 83
إذا كا ن فعل الا مام مبنيّا على المصلحة فيما يتعلّق بالا مور العامّة لم ينفّذ امره شرعا إلاّ إذا وافقه فإن خالفه لم ينفّذ. ولهذا قال الامام ابو يوسف في كتاب الخراج من باب إحيا ء الموات: وليس للإمام أن يخرج شيئا من يد أحد إلاّ بحقّ ثابت معروف.
“Jika tindakan imam itu didasarkan kepada kepentingan umum, maka secara syar’I perintahnya tidak boleh dilaksanakan kecuali memang benar-benar sesuai dengan kepentingan umum tersebut. Dan jika bertentangan, maka tidak boleh dilaksanakan. Oleh karenanya, Imam Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharraj min babi ihyail mawat menyatakan, imam tidak boleh mengeluarkan apapun dari tangan siapapun kecuali dengan hak yang (berkekuatan hukum) tetap dan ma’ruf”.
- Hasiyah Al Dasuqiy ‘alasy Syarhil Kabir juz III, hlm. 6:
اي وامّا لو أجبر على البيع جبرا حلالا كان البيع لازما كجره على بيع الدّار لتوسّع المسجد اوالطّريق او المقبرة. (حاثية الدّسوق على الشّر ح الكبير: 3/6)
“Seandainya seseorang dipaksa untuk menjual (demi tujuan) yang baik dan halal, maka penjualannya sah, seperti dipaksa untuk menjual rumah untuk memperluas masjid, jalan umum atau kuburan”.
- Al-Madkhal Al-Fiqhi Al-‘Amm, Damaskus-Alif Ba Al-Adib, 1968 H, juz I, halaman 248
وَالصُّوْرَةُ الثَّانِيَةُ هِيَ الاسْتِمْلاَكُ لِأَجْلِ مَصَالِحِ الْعَامَّةِ فَقَدْ أَجَازَ الشَّرْعُ اْلإِسْلاَمِيُّ اسْتِمْلاَكَ اْلأَرْضِ الْمُجَاوِرَةِ لِلْمَسْجِدِ جَبْرًا عَلَى أَصْحَابِهَا إِذَا امْتَنَعُوْا عَنْ بَيْعِهَا وَضَاقَ الْمَسْجِدُ بِأَهْلِهِ وَاحْتَاجَ إِلَيْهَا كَمَا أَجَازُوْا مِثْلَ ذَلِكَ لِأَجْلِ تَوْسِيْعِ الطَّرِيْقِ إِذَا دَعَتْ حَاجَةُ النَّاسِ إِلَى تَوْسِيْعِهِ وَذَلِكَ بِالْقِيْمَةِ الَّتِيْ يُسَاوِيْهَا الْعِقَارُ الْمُسْتَمْلَكُ حَتَّى لَقَدْ نَصَّ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يُؤْخَذَ لِتَوْسِيْعِ الطَّرِيْقِ جَانِبٌ مِنَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ الْحَاجَةِ
“Contoh kedua adalah pengambilan hak milik demi kepentingan umum. Agama Islam memperbolehkan pengambilan hak milik tanah yang berdampingan dengan masjid secara paksa jika si pemilik enggan menjualnya. Sementara masjid sudah sempit bagi para jamaahnya dan mereka membutuhkannya. Seperti halnya para ulama memperbolehkan kasus semacam itu untuk perluasan jalan umum ketika masyarakat sangat membutuhkannya, dengan memberikan (ganti rugi) harga yang sepadan dengan harga tanah yang diambil hak miliknya. Bahkan para fuqaha juga telah menjelaskan, boleh mengambil satu sisi dari masjid untuk keperluan perluasan jalan umum ketika dibutuhkan,”
- Al-Ahkamus Sulthaniyyah, Mesir-Musthafa Al-Halabi, cet ke-2, 1966, halaman 162).
فَلَمَّا اسْتُخْلِفَ عُمَرُ وَكَثُرَ النَّاسُ وَسَّعَ الْمَسْجِدَ وَاشْتَرَى دَوْرًا هَدَمَهَا وَزَادَهَا فِيْهِ وَهَدَمَ عَلَى قَوْمٍ مِنْ جِيْرَانِ الْمَسْجِدِ أَبَوْا أَنْ يَبِيْعُوْا وَوَضَعَ لَهُمْ اْلأَثْمَانَ حَتَّى أَخَذُوْهَا بَعْدَ ذَلِكَ وَاتَّخَذَ لِلْمَسْجِدِ جِدَارًا قَصِيْرًا دُوْنَ الْقَامَةِ وَكَانَتْ الْمَصَابِيْحُ تُوْضَعُ عَلَيْهِ وَكَانَ عُمَرُ أَوَّلَ مَنْ يَتَّخِذُ جِدَارًا لِلْمَسْجِدِ.
“Ketika diangkat sebagai Khalifah dan jumlah penduduk semakin banyak, Umar ra memperluas masjid dengan membeli rumah dan dirobohkannya. Lalu ia menambah perluasannya dengan merobohkan (bangunan) penduduk sekitar masjid yang enggan menjualnya. Ia lalu memberi harga tertentu sehingga mereka mau menerimanya. Ia membangun dinding yang pendek kurang dari tinggi manusia, dan memasang lampu-lampu di atasnya. Ia adalah orang yang pertama kali membuat dinding untuk masjid,”
- Fatawi Ulama al-Haramain Min Fatawi Al-Syaikh Husein Al-Maghribi: 259
اذا ضاق المسجد بأهله واحتاج الى توسعه وبجانبه عقار وقف أو ملك فإنه يجوز بيع الحبس لتوسعة المسجد وإن أبى صاحب الحبس أو الملك من بيع ذالك فالمشهور الجبر على البيع ويشتري بثمن الحبس جنسا كالأول ومثل توسعة المسجد توسعة طريق المسلمين و مقبرتهم
“Ketika masjid tidak muat jama’ahnya dan membutuhkan pelebaran, sedangkan di sekitarnya banyak perkebunan yang diwakafkan atau milik orang, maka sesungguhnya diperbolehkan membeli pekarangan untuk pelebaran meski pemiliknya tidak setuju. Menurut pendapat masyhur boleh memaksa penjualan dan membelikan uang ganti rugi pekarangan dengan jenis seperti yang semula. Menyamai pelebaran masjid adalah pelebaran jalan dan makam”.
Lembaga Bahtsul Masail NU
Daerah Istimewa Yogyakarta
Fajar Abdul Bashir, SHI., MSI H. Anis Mashduqi, Lc. MSi
Ketua Sekretaris