Kenangaanku Ngaji Bersama KH Yusuf Muhammad Jember

Kenangaanku Ngaji Bersama KH Yusuf Muhammad Jember

Kenangaanku Ngaji Bersama KH Yusuf Muhammad Jember.

Tetiba, perasaanku bersedih. Ada apa gerangan. Kuingat-ingat lagi. Ya Allah, haulnya Kyai.

Sejak meninggalkan Jember selepas sekolah Aliyah, aku jarang sekali menjenguk pesantrenku. Pesantren Darussolah, Tegal Besar, Kaliwates, Jember. Ya, jarak Jogja dan Jember dulu ditempuh 8 sampai 10 jam atau 12 jam. Tergantung jalanan.

Ketika mondok dulu, aku terhitung bukan santri “terkenal”. Biasanya santri terkenal itu memenuhi satu dari dua kriteria. Ia pintar sekali atau ia nakal sekali, ndableg sekali. Aku bukan dua-duanya. Tapi mengarah ke ndableg dari pada pintar.

Kala itu, kitab Jurumiyyah, kitab nahwu paling dasar saja aku tak lulus. Apalagi Imriti. Apalagi Alfiyah. Tasrifan juga sama, tak hapal-hapal. Hafidzan qur’an juga sama: tak masuk ke kepala. Tobat tenan.

Jadilah aku berkecil hati. Alamat aku jadi santri gagal.

Sampai aku mendengar sendiri dawuh Kyaiku, KH. Yusuf Muhammad, kepada semua santri, pada ahad pagi, tatkala mengajar ngaji di masjid yang kitabnya pun aku lupa. Pada pokoknya begini, “nek iso dadi santri iki sing manfaat kelawan ilmune. Nek ora matuk ilmu agamane, yo nganggo ilmu umume. Ojo nganti dadi santri sing ora manfaat.”

“Klo bisa jadi santri itu yang bermanfaat dengan ilmunya. Kalau tidak dengan ilmu agamanya, ya dengan ilmu umumnya. Jangan sampai jadi santri yang tak bermanfaat.”

Setelah selesai ngaji kitab, aku naik ke kamar. Menaruh kitab dan bersiap rok’an, kerja bakti pesantren. Sebelum beranjak, di barat kamar B4, kamar santri paling ujung, kupikirkan dalam-dalam dawuh kyai itu.

Sambil menyalakan sebatang kretek, kupikirkan dengan serius: Sungguh moderat sekali kyaiku ini. Beliau tak mengecilkan hati santri-santrinya, khususnya santri yang mengarah ke ndableg seperti aku ini. Bermanfaat itu tak melulu pakai ilmu agama. Ilmu umum juga bisa.

Maklum saja, kala itu, aku bersekolah umum di Aliyah di luar pesantren. Jadi waktu mengajiku dibagi dengan waktu sekolahku. Pagi sekolah. Siang masak. Sore dan malam ngaji kitab. Karena waktu itu aku agak bebal ngaji kitab, maka kuputuskan menekuni saja ilmu umumku sembari tetap ngaji kitab di pesantren.

Ketika aku mondok dulu, kebetulan kyai baru saja terpilih menjadi anggota perwakilan rakyat dari unsur PKB. Jadi waktu ngaji kyai untuk para santrinya dibagi dengan waktu dermanya untuk rakyat.

Beberapa info sampai di pondok klo kyai adalah laksana Singa yang mengaum menyuarakan hak-hak rakyat. Batinku dalam hati: hebat sekali kyaiku ini. Ilmu agamanya masyhur. Ilmu umumnya juga tinggi. Keberpihakannya pada rakyat dhoif tak terhingga. Kok bisa.

Kupikirkan lagi. Dan lagi. Aku harus mengikuti jejak kyai. Tidak dalam ilmu agama beliau, tetapi ilmu umum beliau. Aku bercita-cita mengikuti jejak beliau.

Namun apa dikata, sekolahku juga tak sip-sip amat. Ketika kelas 2 Aliyah aku beberapa kali bolos. Kelas 3 agak mendingan.

Ngaji kitab juga sering telat. Rotan sering mampir di kakiku setiap pagi karena sering absen ngaji kitab. Kerjaanku nonton bola saja di pasar Tanjung. Atau main PS bola dengan gus-gus pondok: gus Odi atau sesekali dengan Gus Naji dan Gus Farih. Atau dengan teman-teman santri lainnya.

Alamat aku tak jago juga di ilmu umum. Apalagi ilmu agama. Tapi aku tetep yakin dengan dawuh kyai. Santri harus bermanfaat.

Sampai lulus Aliyah kebetulan orang tuaku memerintahkan aku sekolah di Jogja.

Dan baru aku tahu setelah di Jogja, jika aku bersekolah sama dengan sekolah Kyaiku: Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga dan Fakultas Hukum UGM. Ya, aku sekolah di dua tempat dalan waktu hampir bersamaan.

Dawuh kyaiku kala masih di pesantren dulu bergejolak lagi. Aku bertekad mendalami ilmu umumku: Ilmu Hukum, supaya aku bisa bermanfaat.

Dawuh Kyaiku, KH. Yusuf Muhammad atau sering disapa Gus Yus oleh khalayak, sangat terpatri di sanubariku. Sampai sekarang. Aku menyadari, kyaiku itu selalu tak lupa mendoakan para santrinya. Baik yang pintar, ndableg, setengah pintar, atau yang menjurus ke ndableg seperti aku ini.

Ya Allah Ya Rabbi, semoga Engkau selalu memberikan kyaiku tempat yang indah di sisi-Mu. Dan aku, akan selalu gandolan pada sarung kyaiku.

Allahummagfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Alfatihah.

Demikian Kenangaanku Ngaji Bersama KH Yusuf Muhammad Jember, semoga manfaat.

Ahad, 14 Juni 2020.

Penulis: Hifdzil Alim, santri KH Yusuf Muhammad Jember.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 Komentar

  1. Alhamdulillah….,dulu pernah mondok di darus sholah jember. Dan masih bisa sowan serta ngaji ke beliau ( gus yus ).