Kemaslahatan Sebagai Kunci Islam

Tak Mungkin Digusur

Oleh Edi AH Iyubenu, Wakil Ketua LTN PWNU DIY.

Berislam tentulah harus bermula dari beriman. Jika sudah beriman yang formalnya diawali dengan syahadat, ia sudah mukmin dan muslim. Mau bagaimanapun situasi ibadahnya, misal. Juga rohaninya.

Ketika Rasul Saw ‘memarahi’ Usamah bin Zaid yang  meneruskan membunuh seorang prajurit musuh yang dalam keadaan terdesak mengucapkan syahadat dan kalimat tauhid, itu kiranya telah cukup buat kita memahami bahwa terlarang betul untuk mengatakan buruk, nista, sesat, apalagi kafir dan menghancurkan siapa pun yang telah bersyahadat dan berucap kalimat tauhid, bagaimanapun keadaannya.

Maka sungguh mengherankan bila belakangan ini kita menyaksikan maraknya sebaran ajaran-ajaran Islam, disampaikan oleh orang-orang Islam lengkap dengan atribut-atribut keislamannya, plus fasih menukil ayat, hadis, dan khazanah kitab salaf, mengabaikan begitu saja prinsip pokok tersebut.

Jangankan kepada orang yang telah bersyahadat, umpama pun ibadahnya masih bolong-bolong begitu rupa atau tak sesuai kaifiyat yang masyhur diamalkan, bahkan Rasul Saw tak pernah melakukan menghinakan, apalagi menghancurkan, orang-orang yang tegak memusuhinya selama mereka tidak mengancam keberadaan umat Islam. Rasul Sw tidak pernah memerangi siapa pun yang tidak memulai peperangan dengannya.

Umair bin Wahab diterimanya dengan baik di Madinah meski berniat hendak membunuhnya. Para pemuka Bani Najran yang menganut agama Nashrani diterimanya dengan baik di masjidnya dan diberinya jaminan keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan keyakinannya. Orang Yahudi buta yang menghina-hinanya disuapinya makanan dengan welas asih. Seorang Yahudi yang berkali-kali melecehkannya dijenguknya pertama kali ketika sedang terbaring sakit. Bani Thaif yang melemparinya batu bersama Zaid bin Haritsah dilindunginya dari marahnya Jibril As yang hendak menimpakan gunung kepada mereka. Rasul Saw mengatakan, “Janganlah, Jibril, mungkin saja kelak dari sulbi (keturunan) mereka ada yang beriman kepadaku….”

Bayangkanlah.

Lantas, apa dalihnya kini kita bisa-bisanya menuding sesat dan bahkan kafir kepada orang-orang yang kita anggap tak sesuai pemahaman, mazhab, dan alirannya dengan diri kita dalam berislam, yang notabene khanzahnya amat berjibun sejak dahulu kala, bahkan telah terjadi sejak era para sahabat Rasul Saw, dan diwariskan oleh para pemikir dan ulama yang luar biasa iman, takwa, dan ilmunya?

Janganlah begitu.

Allah Swt di dalam al-Qur’an telah terang betul menyatakan bahwa perbedaan dan otomatis keragaman antarkita adalah kehendakNya, ketetapanNya. Kemanunggalan iman dan amal saleh manusia bukanlah hal yang diinginkanNya. Jika Dia Swt memang menghendakiNya, tentulah itu sangat mudah diterjadikanNya.

Lantas, mengapa justru kita lah yang begitu ambisius untuk menjadikan semua manusia satu iman, bahkan menyatukan mereka dalam satu paham, mazhab, dan aliran Islam?

Mengapa kita malah hendak bertindak melampaui ketetapan Allah Swt sendiri, padahal di detik yang sama kita mengatakan mengimani dan menyembahNya, beribadah kepadaNya, dan meneladani RasulNya Saw, serta menisbatkan semua tindakan tersebut kepadaNya dan RasulNya Saw?

Bukankah sikap demikian sungguh tak masuk akal? Bahkan bukankah itu dapat dibayangkan sebagai sikap yang melampaui batas, yang tiada pantas-pantasnya sama sekali untuk dilakukan oleh hambaNya yang cuma manusia?

Mari kita cermati.

Kebanyakan sikap kita yang terjatuh pada kawah melampaui batas sejenis itu mengatasnamakan dakwah atau amar ma’ruf nahi munkar. Bahwa kedua amanat itu benar-benar ada dalam al-Qur’an, juga diungkapkan Rasul Saw, kita semua memahaminya. Tetapi, yang seyogianya pula senantiasa menjadi kehati-hatian kita ialah bahwa ekspresi dan eksekusi dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar tersebut tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang melampaui batas.

Apa batasannya?

Ali Imran 105 menerangkannya: jangan memicu perselisihan dan permusuhan; siapa yang memicu hal tersebut, ia malah akan ditimpa azabNya yang pedih.

Dalam surat Hud 108-109, Allah Swt pula menerakan bahwa kecenderungan manusia untuk berselisih, bermusuhan, termasuk atas nama hal Haq tadi, mengisyaratkan bahwa pelakunya bukanlah bagian dari golongan yang dirahmatiNya.

Batasan tegas dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar tersebut dengan logika yang terang memperlihatkan kepada kita bahwa isyarat bagi keselarasan gerakan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar tersebut adalah nilai-nilai kemaslahatan semata. Bukan selain-lainnya, apa pun itu.

Mau dinarasikan dengan argumen apa saja, disandarkan pada nukilan ayat dan hadis apa saja, plus rujukan fatwa apa saja, jika dampaknya mendampratkan ketegangan, pertikaian, perselisihan, dan permusuhan antarkita, antarmanusia, itu bukanlah watak hakiki Islam.

Islam adalah sebenar-benar rahmatan lil ‘alamin. Inilah kuncinya. Rasul Saw diutus untuk tujuan tersebut. Inilah kuncinya. Rahmat tiada lain adalah semata cinta, welas asih, kasih sayang, etika, akhlak, dan pemuliaan asas-asas kemanusiaan. Inilah kuncinya.

Jika kita mengatakan ini dan itu demi syiar Islam, dakwah Islam, bahkan bela Islam, tetapi dampaknya bukanlah kemaslahatan, dapat dipastikan bahwa ini dan itu tersebut sama sekali bukanlah kehakikian cahaya Islam. Mungkin gelora hawa nafsu. Mungkin ambisi politik praktis. Dan sebangsanya.

Semoga bermanfaat.

Jogja, 17 Oktober 2019

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *