Penerapa zonasi PPDB itu mirip sekali dengan pembangunan infratruktur publik yang sudah terlambat 12 tahun dari Singapura, Malaysia dan Tailand. Keterlambatan itu akibat dari aparat pemerintah yang selama ini tidak mau ambil pusing untuk berfikir dan bekerja keras memperbaiki keadaan.
Pembangunan jalan TOL, Pelabuhan, Taman Kota, Kereta Kota, Bangunan Sekolah dll selama ini dibiarkan berjalan lambat atau bahkan berhenti sama sekali tidak ada pembangunan. Aparat pemerintah bekerja hanya sebatas memenuhi rutinitas dan kewajiban dengan standar minimal agar tidak melanggar aturan. Mereka datang ke kantor, absen, melakukan tugas administratif, dan kemudian pulang.
Akibatnya, ketika akan melakukan pembenahan dan pembangunan infrstruktur, harga yang harus dibayar menjadi sangat mahal. Pembebasan lahan sangat sulit dilakukan karena harga tanah sudah melambung tinggi, ongkos pekerja dan harga bahan bangunan juga semakin berlipat-lipat.
Lantas, dengan demikian, apakah pemerintah harus diam, tidak melakukan perubahan dan inovasi? Jawabanya jelas tidak. Kebijakan yang diambil Presiden Jokowi sudah tepat yaitu membangun infrastruktur dengan berbagai terobosannya. Hasilnya, pelan tapi pasti, masyarakat kini mulai merasakan manfaatnya.
Nah, dalam dunia pendidikan, juga terjadi hal yang demikian, pengambil kebijakan pendidikan dari tingkat kementrian, kanwil, hingga kepala sekolah dan guru, selama ini, berjalan stagnan. Seperti tidak ada kebijakan yang inovatif dan kreatif untuk melakukan terobosan guna memajukan dan meratakan kualitas pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Semenjak Indonesia merdeka 74 tahun silam, upaya melakukan peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan memang telah dilakukan oleh pemerintah, tapi semuanya berjalan sangat lambat. Salah satu masalahnya adalah rendahnya semangat melakukan inovasi dengan menerapkan sistem zonasi dalam penerimaan siswa.
Pemerintah Indonesia dalam beberapa hal, khususnya dalam dunia pendidikan, masih terjebak oleh budaya kebijakan pemerintah kolonial yang menerapkan sistem segregasi pendidikan. Pembangunan fisik dan kualitas pendidikan dibiarkan tidak merata. Di era kolonial, ada sekolah untuk kalangan elit Belanda, Keturunan Kerajaan, Rakyat Jelata dll. Nah, dalam bentuk berbeda, kini, ada sekolah “favorit” dan “non-favorit” yang disebabkan oleh kebijakan “Student Grouping by Ability” atau Kebijakan Anak Pintar Dikumpulkan Dengan Anak Pintar Di Satu Sekolah. dan Anak Bodoh Dikumpulkan Dengan Anak Bodoh di Satu Sekolah.
Sekarang, setelah Indonesia merdeka 74 tahun silam, pemerintah berani melakukan terobosan dengan menerapkan sistem zonasi. Ini adalah kebijakan yang perlu didukung dan diapresiasi meskipun sangat terlambat untuk diterapkan.
Kenapa terlambat? Karena begitu Indonesia merdeka, sistem zonasi ini seharusnya sudah diterapkan agar terjamin pemerataan kualitas pendidikan untuk semua kalangan di semua wilayah Indonesia. Perlu diketahui, di negara-negara maju seperti di Amerika, Australia, Jepang dan Eropa Barat, sistem zonasi ini sudah diterapkan 100an tahun silam.
Memang, sebuah kebijakan yang strategis dan inovatif harus diambil, apapun resikonya. Sebuah kebijakan tidak mungkin membuat tersenyum dan bahagia semua orang. Pasti ada yang menentang kebijakan karena berbagai macam alasan; politik atau kepentingannya terganggu.
Sama seperti kebijakan Presiden Jokowi lainnya seperti membangun infrastruktur jalan TOL, Kereta Cepat, MRT dll, penerapan kebijakan zonasi ini juga tidak akan mampu membahagiakan semua orang, tapi yang terpenting adalah kebijakan tersebut akan memberi maslahat yang lebih besar bagi banyak orang.
Penulis: Dr KH Ainul Yaqin, Ketua Lakpesdam PWNU DIY