Kajian Tuntas Hermeneutika Negosiatif Khaled Abou El Fadl

Kajian Tuntas Hermeneutika Negosiatif Khaled Abou El Fadl

Kajian Tuntas Hermeneutika Negosiatif Khaled Abou El Fadl.

Oleh: Muharis, M.Hum, dosen STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta.

  1. Latar Belakang

Interpretasi terhadap teks suci keagamaan seringkali menimbulkan ketegangan dan konflik, hal ini sering terjadi karena masing-masing pihak, baik tokoh masyarakat, kelompok, organisasi dan institusi fatwa keagamaan (seperti Permanent Council for Specific Research And Legal Opinion (CRLO), Bahsul Masail, Majlis Tarjih, Dewan Hisbah, Komisi Fatwa MUI), mazhab, dan aliran keagamaan tertentu,[1] mengklaim bahwa tafsirannya sebagai yang absolut mewakili maksud Tuhan, sembari menuduh tafsir lain yang berbeda dengannya sebagai sesat.[2] Tanpa sadar bahwa mereka terjebak pada tindakan “otoritarianisme penafsiran”.

Fenomena klaim kebenaran absolut (Absolute truth claim) banyak merisaukan dan dipandang sangat problematik,[3] terlebih ketika masing-masing dari mereka mengaku sebagai pemegang otoritas yaitu wakil Tuhan.[4] Oleh karena itu, Pemahaman dan penafsiran  terhadap teks seharusnya tidak boleh hanya ditentukan secara sepihak baik oleh individu, kelompok, maupun institusi tertentu. Tidak perlu seseorang atau sekelompok orang merasa menjadi satu satunya “juru  bicara Tuhan” yang terpilih untuk menjelaskan kehendak Tuhan seperti yang tertuang dalam kitab suci al-Quran. jika hal ini terjadi dan dilakukan, pada dasarnya ia telah melakukan otoritarianisme tafsir dan cenderung akan melahirkan penafsiran serta pemahaman yang despotic atau interpretative despotism. (kesewenang-wenangan penafsiran).[5] Sehingga ujung-ujungnya adalah adanya sikap menutup rapat-rapat keinginan Tuhan (the will of the divine), dan memonopoli otoritas author (Tuhan).[6]

Berkembangnya sikap yang memonopoli kebenaran atau lebih sempit lagi memonopoli tafsir yang dicirikan dengan sikap menganggap tafsir kelompoknya sajalah yang benar adalah sikap intoleran, penafsiran yang cenderung harfiah dan mengabaikan maqashid asy-syari’ah, anti rasional dan Barat, mendorong Khaleed Abou El Fadl untuk turun tangan meluruskan berbagai penyimpangan sikap dan pendirian kelompok tersebut.

Terkait dengan hal tersebut, dalam makalah ini penulis mencoba untuk menganalisa berbagai persoalan interpretasi terhadap teks suci keagamaan yang seringkali menimbulkan ketegangan, penulis akan menghadirkan tawaran hermeneutika yang digagas oleh Abou El Fadl, dalam salah satu karyanya Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, and Women, yang mencoba mengurai persoalan mengenai hubungan antara teks, author, dan reader dalam diskursus eksegesis dan penentuan makna teks. Dialog antara ketiga unsur ini dimaksudkan untuk menghindari sikap otoritarianisme[7] juru bicara Tuhan.

  1. Sekilas Biografi Khaled Abou El-Fadl

Kajian Tuntas Hermeneutika Negosiatif. Khaled Medhat Abou El Fadl dilahirkan di Kuwait pada tahun 1963. Kedua orang tuanya yang berdarah Mesir. Pendidikan dasar dan menengahnya, ia tamatkan di negeri kelahirannya, Kuwait. Kemudian pendidikannya dilanjutkan di Mesir. Sebagaimana tradisi bangsa Arab yang memegang teguh tradisi hafalan, Khaled kecil sudah hafal al-Quran sejak usia 12 tahun. Ayahnya yang berprofesi sebagai seorang pengacara, sangat menginginkan Abou El Fadl menjadi seorang yang menguasai  hukum Islam.[8]

Sebagai pemuda yang dibesarkan dalam kondisi sosial politik Mesir yang masih labil, Khaled sebagaimana halnya rakyat Mesir pada umumnya, mengalami kekecewaan atas kegagalan pan-Arabisme dalam perang 1967 yang berpengaruh sesudah masa tersebut bagi rakyat Mesir dan bangsa-bangsa Arab pada umumnya.

Atas kekalahan inilah kemudian bangsa Arab, khususnya Mesir, melakukan suatu “introspeksi sejarah dan kultur” Arab dengan meninjau ulang apa yang dinamakan sebagai turath atau tradisi yang betumpu pada al-aslah (otentisitas) dan berhadapan dengan tantangan al-mu’asarah (modernitas), terutama kegelisahan yang dialami oleh kalangan intelektual.[9] Kekalahan tersebut berdasarkan opini umum menurut Khaled,[10] terutama dipengaruhi oleh gurunya Shaykh Jalâl Kishk, sama halnya dengan kekalahan spritual sekaligus intelektual bangsa Arab muslim. Pada tahun 1973, akhirnya bersama dengan kelompok Ikhwan Muslimin berhasil mengusir tentara Israel dari daerah Sinai.

Menurut pengamatan Khaled, kemenangan yang diraih Ikhwan Muslimin bukanlah suatu kemenangan yang gemilang,  tetapi lambat laun membawa pengorbanan besar-besaran bangsa Arab. Di satu sisi memang mendatangkan rezeki berlimpah bagi negara Arab penghasil minyak, begitu juga kalangan elit Mesir yang korup. Namun demikian, di sisi lain menyebabkan kondisi chaos bagi negara Arab secara umum, baik sosial maupun politik.[11] Kondisi ini juga merambat dalam ruang lingkup keagamaan yang bergeser ke arah tatarruf al-dini (ekstremisme agama), terutama pusat-pusat intelektual Arab. Tidak terkecuali adalah lembaga Al-Azhar, yang telah dikuasai mainstream konservatisme Islam.

Pada tahun 1982, Khaled meninggalkan Mesir menuju Amerika dan melanjutkan studinya di Yale University dengan mendalami ilmu hukum selama empat tahun dan dinyatakan lulus studi bachelor-nya dengan predikat cumlaude. Tahun 1989, ia menamatkan studi Magister Hukum pada University of Pennsylvania.

Atas prestasinya itu, ia diterima mengabdi di Pengadilan Tinggi (Suppreme Court Justice) wilayah Arizona, sebagai pengacara bidang hukum dagang dan hukum imigrasi. Dari sinilah kemudian Khaled mendapatkan kewarganegaraan Amerika, sekaligus dipercaya sebagai staf pengajar di University of Texas di Austin. Kemudian ia melanjutkan studi doktoralnya di University of Princeton. Pada tahun 1999, Khaled mendapat gelar Ph.D dalam bidang hukum Islam. Hingga sat ini Khaled Abou El Fadl adalah Profesor Hukum Islam di Fakultas Hukum University of California, Los Angeles UCLA, Amerika Serika[12]t.

Di tengah-tengah kesibukannya sebagai profesor, Khaled sering diundang dan mengisi seminar, simposium, lokakarya dan talk show di televisi dan radio seperti CNN, NBC, PBS, NPR, dan VOA. Belakangan ia banyak memberikan komentar tentang isu otoritas, terorisme, toleransi dan hukum Islam. Ia juga pernah menjabat direktur Human Right Watch dan anggota Komisi Kebebasan Beragama, Amerika Serikat.[13]

  1. Membaca Kegelisahan Akademik Khaled Abou El-Fadl

Kajian Tuntas Hermeneutika Negosiatif. Secara normatif, teks-teks keagamaan memberikan ruang cukup lebar bagi berbagai variasi pemahaman (multi tafsir/ikhtilaf). Beragam proses pemahaman dan penafsiran bertujuan untuk menguak “kehendak” Tuhan. Karena teks adalah medium otoritatif yang mendokumentasikan “kehendak” Tuhan, setiap penafsir berusaha menggapai hingga mencapai kebenaran otoritatif itu. Dalam posisi segala kemungkinan suatu bentuk penafsiran, maka akan bisa memunculkan beragam penafsiran lain. Sang penafsir bisa saja terkadang terjebak dalam kubangan otoritarianisme atau absolutisme, manakala ia melampaui kewenangan dengan mengidentikkan teks ke dalam sifat dirinya. Dengan pengertian yang lain, sang penafsir tersebut memposisikan diri sebagai “juru bicara” teks atau Tuhan.[14]

Konsekuensi tak terhindarkan ialah sang penafsir tersebut menutup kemungkinan makna lain, karena memposisikan dirinya telah merepresentasikan makna yang dikehendaki oleh Tuhan. Dalam konteks ini Khaled menyebut sikap otoritarian sebagai sikap “merampas kehendak Tuhan”. Sinyalemen penutupan pintu ijtihad menurut Khaled merupakan contoh dinamika sempurna dalam wujud nyata sikap otoritarianisme dalam pemikiran hukum  Islam.

Dalam istilah yang lain Khaled menyebutkan bahwa otoritarianisme adalah tindakan “mengunci” kehendak Tuhan, atau kehendak teks, dalam sebuah penetapan tertentu yang statis, dan menyajikan pendapat itu sebagai sesuatu yang pasti, absolut, dan menentukan.[15]

Menurut analisis Khaled, fenomena otoritarianisme dalam pemikiran Islam, khususnya dalam penelitiannya tentang diskursus hukum Islam, merupakan akibat dari kesalahan dalam menempuh prosedur metodologis yang terkait dengan relasi antara ketiga unsur pengarang, teks, dan pembaca. Seorang pembaca yang mengunci teks dalam sebuah makna tertentu, maka ia telah merusak integritas pengarang dan teks itu sendiri.

Sama halnya dengan ungkapan orang yang mengatakan dengan arogannya, “Saya tahu apa yang dikehendaki oleh pengarang, dan saya tahu apa yang dinginkan oleh teks. Pengetahuan saya bersifat menentukan dan meyakinkan”. Ungkapan ini sekaligus merupakan penetapan, tetapi hakikatnya mengakhiri peran pengarang dan “membatasi” dinamika dalam konteks penggalian pemahaman dari sebuah teks.[16]

Dalam tataran ini, poros objektif teks (otoritatif) dan poros subjektif (pembaca) saling bermain. Memang harus diakui, segala proses penafsiran atau pemahaman tidak bisa dilepaskan dari unsur subjektifisme, apapun bentuknya proses pemahaman yang dilakukan. Baik yang berasal dari individu maupun secara kolektif yang melibatkan sebuah institusi dengan klaim sebagai pemegang hak penafsir kehendak Tuhan. Akan tetapi menurut Khaled, penafsiran yang terlalu subjektif, bisa jatuh ke dalam jeratan otoritarianisme.[17]

Khaled mencontohkan fenomena mutakhir dari praktek otoritarianisme tersebut yang terjadi pada gerakan puritanisme Islam Wahabi. Gerakan yang bermarkas di Saudi Arabia ini mendapat dukungan pemerintah sebagai kekuatan politik, yang tendensinya untuk menutup gerak dinamika teks, sehingga hanya tersisa kebenaran tunggal. Geneologi fundamentalisme dari gerakan teologi dan mazhab-mazhab fikih yang bersikap anti toleransi dan pluralisme bisa dilacak dari tendensi ini. Mereka, baik secara individu maupun kelompok telah merasa memonopoli kebenaran, sementara pendapat orang lain tidak mungkin diakomodasi. Mereka berposisi sebagai pemegang kebenaran dan karenanya berhak untuk melakukan value judgment atas kelompok lain sebagai “tidak Islam”, sesat, kafir dan seterusnya.[18]

Begitu juga yang terlihat, menurut Khaled, dalam bidang hukum Islam dengan produk hukum fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga fatwa resmi di Saudi Arabia  dengan nama singkatan CRLO (Council for Scientific Research and Legal Opinions). Lembaga yang bersifat ekslusif ini telah mengaku serta mengasumsikan kelompok mereka sebagai wakil dan “juru bicara” Tuhan. Menurut Khaled, fatwa-fatwa yang dikeluarkan telah banyak yang merendahkankan kedudukan perempuan atau bias jender yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam al-Quran tentang kesetaraan manusia tanpa memandang jenis kelamin.

Ada dua alasan Khaled yang mendasarinya mengambil produk fatwa-fatwa Wahabi sebagai bahan analisis hermeneutiknya. Pertama, produk intelektual para ahli hukum dari mazhab tersebut melambangkan bentuk otoritarianisme interpretatif; dan kedua, mazhab (baca fumdamentalisme) ini telah menjadi mazhab yang dominan di dunia Islam dewasa ini.[19]

Menurut Khaled, seruan mereka kembali kepada Islam murni, (Al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah) asli, dan tidak berubah, jelas sekali tidak masuk akal. Pendekatan mereka bersifat ahistoris, terbukti naif dan simplistis. Menurutnya tidak mungkin kembali kepada al-Quran dan sunah dalam kevakuman. Seharusnya dalam kritik Khaled, kembali kepada keduanya berarti kembali kepada sumber-sumber klasik yang mengomentari konteks dan makna ayat tersebut (asbab al-nuzul dan asbab al-wurud). Sekaligus menjelaskan kumpulan dokumentasi teks al-Quran, dan kembali kepada sumber-sumber klasik yang menghimpun sunah, menguji kesahihannya, serta menjelaskan konteks dan menafsirkan hadis-hadis nabi dan para sahabatnya secara kontekstual.

Kecenderungan para ulama Wahabi yang anti tradisi intelektual dan mengambil kesimpulan hukum melalui jalan pintas dengan dalih kembali kepada al-Quran dan sunah secara tekstual. Sehingga metode mereka sangat selektif, tidak sistematis dan oportunis. Yang lebih parah lagi adalah klaim kebenaran mereka dengan anggapan bahwa hukum inilah yang pasti dan absolut, sebagai kesimpulan hukum yang “dikehendaki” oleh Tuhan.[20]

Di sinilah sesungguhnya teridentifikasi bahwa tafsiran mereka bersifat otoritarianisme. Kegelisahan ini yang mendorong Khaled untuk melakukan tawaran metodologi hermeneutika negosiatif-otoritatif sebagai kritik dan “lawan” dari metodologi hermeneutika otoritarianisme, khususnya yang dipakai para ulama Wahabi dan kalangan fundamentalisme Islam pada umumnya.

  1. Hermeneutika Negosiatif: Antara Teks, Author, dan Reader

Kajian Tuntas Hermeneutika Negosiatif. Hermeneutika Khaled adalah “hermeneutika negosiatif”.[21] Disebut seperti itu karena proses pencarian makna mengharuskan terjadinya interaksi antara pengarang, teks, dan pembaca, di mana menurut Khaled  ketiga elemen  itu harus ada keseimbangan dan harus melakukan proses negosiasi. Hal penting yang dicatat oleh Khaled dari proses  negosiasi itu ialah salah satu pihak tidak boleh mendominasi dalam proses penetapan makna.[22] Dengan kata lain, hilangnya proses negosiasi ini akan menyebabkan sikap otoritarianisme atau penafsiran yang dispotik (despotic interpretation) dalam diskursus hokum Islam.

Secara             spesifik, dalam konteks hukum Islam peran pembagian yang sama dari masing-masing unsur antara teks, author dan reader, dalam hal ini adalah para ahli hukum (wakil Tuhan) dalam proses pencarian makna atau hukum Tuhan. Sehingga masing-masing melakukan negosisasi untuk tidak saling mendiskreditkan terlebih menghindari diri dari adanya ketegangan dari masing masing unsur tersebut.

Metode dan langkah-langkah praktis “hermeneutika negosiatif” yang digagas Khaled dan diterapkan dalam hukum Islam dapat dilihat sebagai berikut: Pertama, pemahaman tentang teks: teks memiliki kaidah bahasa sendiri, teks tidak memuat kehendak pengarang, teks bersifat otonom dan terbuka.  Kedua, pengujian autentisitas teks: teks al-Quran dan Sunnah sebagai sumber hukum, teks al-Quran dan Sunnah bersifat terbuka, teks al-Quran tidak diragukan lagi autentisitasnya, teks sunnah harus diuji autentisitasnya. Ketiga, penetapan makna teks: teks sebagai titik pusat yang bersifat terbuka, melacak maksud awal pengarang teks, memahami komunitas makna di sekitar teks, memahami pesan moral dari universalitas teks, menganalisis asumsi asumsi dalam komunitas interpretasi (asumsi berbasis nilai, metodologi, akal, dan iman), menganalisis keseluruhan bukti terkait teks (jujur, sungguh sungguh, menyeluruh, rasional, pengendalian diri), menemukan makna baru dan aplikasi teks pada masa kini, memisahkan subjektivitas penafsiran dari teks.[23]

  1. Langkah Operasional Hermeneutika Negosiatif: Upaya Menemukan Makna di Balik Teks

Kajian Tuntas Hermeneutika Negosiatif. Salah satu inti dari Hermeneutika yang dikembangkan Khaled dengan menjadikan struktur triadic secara proporsional sebagai basis untuk menganalisis persoalan penetapan makna ialah dimaksudkan untuk menghindari adanya otoritarianisme atau despotic interpretation. Atas dasar itu, untuk menjaga sikap otoriter atau otoritarian dalam konteks hukum Islam, maka Khaled berusaha membangun kerangka konseptual dengan gagasan tentang otoritas dan otoritarian.[24] Pembahasan tentang otoritas akan berkaitan dengan persoalan kompetensi atau autentisitas teks,[25] dan penetapan makna.[26] Sedangkan             otoritarian cukup erat kaitannya dengan persoalan perwakilan,[27] tertuju pada seorang penafsir (reader) yang mengaku dirinya sebagai wakil Tuhan.

  1. Kompetensi (autentisitas)

Kajian Tuntas Hermeneutika Negosiatif. Persoalan utama mengenai kompetensi ialah sarana apa untuk mengetahui kehendak Tuhan? Jawaban atas pertanyaan ini seperti dikemukakan Khaled ialah sarana yang paling meyakinkan adalah al-Quran dan Sunnah. Menurutnya, dua sumber Islam inilah menduduki posisi tertinggi berisi tentang seperangkat perintah yang berfungsi sebagai sarana mengetahui apa yang dikehendaki Tuhan. Berikut kutipan dari Khaled:

“The Qur’an and Sunnah are texts in the sense that they are comprised of symbol (letters and words) that invoke meaning in a reader. These texts have an author and use linguistic symbols to signify meaning. One could consider the Qur’an and Sunnah to be, in part, a set of instructions intended to address an an audience. Their authoritativeness in derived from the fact that they either come from God or that they tell us something about what God is instructing us to do”.[28]

Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana kita mengetahui bahwa perintah tersebut benar-benar datang dari Tuhan dan NabiNYa? jawaban Khaled adalah dengan melakukan uji kualifikasi atas teks tersebut.[29] Apa yang dimaksud uji kualifikasi atas teks, berikut kutipan dari pernyataan Khaled:

“By qualifications I mean the authority of the text to speak for or about God. For instance, if a text is traced back to God (Tuhan sebagai pengarang) or the prophet then it is eminently qualified to speak for or about the Divine. If the text goes back to a Companion speak for the Prophet, in turn, God. If the text goes back to a pious, intelegent, or knowledgeable person, we must pose the same question. we are simply asking: What competence does a particular source have to speak for or about God? This question relates to the authenticity of the medium that transmitted the authoritative instructions of the Divine”.[30]

Arti bebasnya: kualifikasi yang saya maksud ialah ialah otoritas teks untuk mewakili atas nama atau tentang Tuhan. Mislanya, jika terbukti bersumber dari Tuhan (Tuhan sebagai pengarangnya) atau dari Nabi, maka sebuah teks sangat memenuhi syarat untuk mewakili atas nama Tuhan. Jika sebuah teks terbukti berasal dari seorang sahabat Nabi, maka kita harus mempertanyakan sejauh mana teks itu dapat mewakili atas nama nabi, dan akhirnya atas nama Tuhan. Jika sebuah teks ternyata berasal dari seorang yang saleh, cerdas, atau berilmu, maka kita juga harus mempertanyakan hal serupa. Kita hanya memepertanyakan kompetensi macam apakah yang dimiliki sumber tersebut untuk mewakili atas nama Tuhan? pertanyaan ini terkait dengan autentisitas media yang menyampaikan perintah-perintah otoritatif Tuhan Tersebut.

Bertolak daripada uraian di atas, Khaled  menambahkan bahwa dalam menganalisis masalah kompetensi, ia membuat asumsi berbasis iman yang menunjukkan bahwa al-Quran adalah firman Allah yang abadi dan terpelihara kemurniannya. Oleh karena itu, kompetensi al-Qur’an tidak bisa digugat. Khaled tidak banyak mempersoalkan masalah autentisitas al-Quran, sebab yang terpenting dan relevan baginya sekarang ialah bagaimana menetukan maknanya.[31] Berbeda dengan al-Quran yang sudah jelas terjamin keasliannya sehingga kompetensi al-Quran tidak perlu dipersoalkan lagi. Sementara pengujian kompetensi hanya berlaku pada sunnah. Kompetensi sunnah perlu dipertanyakan agar benar-benar otoritatif dalam mewakili Nabi.[32] Hal ini dipicu dengan adanya pemalsuan hadits dan merebaknya beragam sumber riwayat yang mana dalam prakteknya terdapat klasifikasi hadis yang diterima dan tertolak sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut. Analisis ini dilakukan guna melihat sejauh mana otoritas sunnah benar-benar mewakili perkataan Nabi.

  1. Penetapan makna

Kajian Tuntas Hermeneutika Negosiatif. Persoalan yang tak kalah pentingnya setelah melakukan pengujian terhadap dua sumber Islam tersebut ialah penetapan makna. Penetapan makna berarti sebuah tindakan untuk menentukan makna sebuah teks. Pertanyaannya adalah siapakah yang memiliki otoritas untuk menentukan makna sebuah teks? Khaled menjawabnya selama perintah perintah Tuhan itu bersandar pada sebuah teks maka perintah perintah tersebut juga bersandar pada sebuah media bahasa.

Bahasa inilah yang seringkali menimbulkan perdebatan dalam sepanjang sejarah manusia, karena ia adalah hasil budaya manusia yang relatif dan tentatif, sehingga tidak salah bila Khaled mengatakan bahwa bahasa menjadi sebuah wahana yang bisa menyesatkan, huruf, kata, frasa dan kalimat bergantung pada sebuah sistem simbol, yang kemudian  melahirkan ide, gambaran, dan emosi khusus dalam diri seorang pembaca yang bisa berubah sepanjang waktu.[33]

Dengan begitu bahasa memiliki sebuah realitas objektif karena maknanya tidak dapat ditentukan secara terpisah baik oleh pengarang (author) maupun pembaca (reader). Oleh karena itu, ketika seseorang atau sekelompok orang (CRLO, MUI, Bahsul Masail, Institusi lainnya) menggunakan perantara bahasa sebagai media komunikasi dalam menuangkan ide, secara otomatis mereka harus memahami keterbatasan-keterbatasan yang melekat di dalamnya. Keterbatasan manusia akan bahasa dengan pengalaman yang melatarbelakanginya sehingga menghasilkan pemahaman atau kesan yang berbeda ketika dihadapkan dengan objeks yang sama. Diilustrasikan oleh Khaled pada satu objek gambar yang cenderung interpretatif di mana orang memaknainya. Khaled mengtakan sebagai berikut:

“…some people might think that my image is referring to the story of Adam and Eve, others might think I am referring to two people in love, others will think I am expressing boredom or that I am expressing loneliness, and crying for companionship.[34]

Kutipan di atas menunjukkan bahwa betapa pemahaman menjadi sangat plural. Pluralitas pemahaman tidak lain dan tidak bukan karena keterbatasan, baik pengalaman, pendidikan, bahasa yang melekat pada diri masing masing orang. Oleh karena kompleknya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat penentu makna, maka pemahaman terhadap sebuah teks tidak dapat ditentukan oleh kelompok mana pun, baik oleh pengarang maupun oleh pembaca secara sepihak. Memang seorang pembaca sangat berhak menafsirkan makna apapun sesuai apa yang dikehendaki pembaca, akan tetapi legitimasi atas penetapan  makna dari seorang pembaca tergantung pada sejauh mana pembaca itu menghormati integritas maksud pengarang dan teks itu sendiri.[35]

Atas dasar itu, Tuhan telah menggunakan dua sarana; teks dan manusia, teks diharapkan dapat membentuk sikap dan perilaku pribadi manusia, sedangkan manusia berperan penting untuk menyingkap sekaligus membentuk makna sebuah teks. Akan tetapi, peranan manusia dalam membentuk makna teks akan memunculkan persoalan baru yang sangat begitu komplek, yaitu tentang kemampuan manusia dalam proses penetapan makna, apakah sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan dan Nabi? Jawaban Khaled  adalah  penetapan makna merupakan kesepakatan bersama melalui proses negosiasi antara pengarang,[36] teks,[37] dan  pembaca,[38] yang mana salah satu dari ketiga pihak tidak boleh mendominasi dalam penetapan makna.[39] Tidak boleh mendomonasi, menekan, dan  menutup rapat-rapat penetapan makna satu sama lain agar pencarian makna bisa terbuka terus. Dengan demikian, sikap otoriatrianisme dalam proses penetapan makna setidak-tidaknya akan terhindari.

  1. Perwakilan

Kajian Tuntas Hermeneutika Negosiatif. Persoalan ketiga dalam mengkaji konstruks otoritas dalam dikursus hukum Islam terkait dengan perwakilan. Namun, persoalan yang muncul kemudian siapakah yang berhak untuk memastikan dan menyelesaikan persoalan kompetensi dan penetapan makna, sekaligus bagaimana format kelembagaan untuk menentukan otentisitas, makna, dan pelaksaannya, apakah persoalan tersebut diserhkan kepada kreatifitas individu para pengikut agama atau haruskan dibentuk sebuah institusi khusus? Khaled menyebut persoalan ini sebagai persoalan perwakilan.[40] Dalam hal ini Khaled menyatakan sebagai berikut:

“……akan tetapi, saat ini penting dicatat bahwa ketiga persoalan itu (kompetensi, penetapan, dan perwakilan) memainkan peranan penting dalam membentuk pemegang otoritas dalam diskursus keislaman. Meskipun kita berasumsi bahwa apapun yang berasal dari Tuhan dan Nabi-NYa itu bersifat otorotatif, masih tersisa sejumlah ketidakjelasan yang harus dibicarakan lebih dahulu sebelum kita memastikan bahwa gagasan tentang keberwenangan Tuhan telah dipahami dengan jelas. Gagasan tentang keberwenangan Tuhan itu terkandung dalam pengertian Islam itu sendiri, yang bermakna ketundukan mutlak kepada Tuhan menerima Tuhan sebagai satu satunya penguasa tanpa sekutu.[41]

 

Terlepas dari asumsi bahwa Tuhan yang mempunyai otoritas dalam menentukan hukum, manusia juga diberi mandat atau peran sebagai penentu hukum untuk mewakili suara Tuhan dan Nabi (Khalifah fi al-ard). Tuhan telah memilih dan memberikan wewenang kepada manusia dalam membuat penetapan makna sebagai wakil Tuhan.[42]

Dalam konteks perwakilan, Khaled membedakan manusia dalam dua kelompok, yang disebutnya dengan wakil umum dan wakil khusus. Wakil umum adalah orang orang Islam yang beriman dan saleh yang menundukkan keinginannya dan menyerahkan sebagian keputusannya kepada kelompok orang atau wakil dari gologan tertentu (para ahli hukum).[43] Adapun wakil khusus adalah kelompok ahli hukum yang memiliki kompetensi khusus dalam memahami dan menganalisis perintah Tuannya.[44] Ketundukan wakil umum kepada wakil khusus yaitu karena mereka wakil umum memandang wakil khusus memiliki otoritas. kelompok khusus ini menjadi otoritatif karena dipandang memiliki kompetensi dan pemahaman khusus terhadap perintah Tuhan. Kelompok khusus ini dipandang otoritatif bukan karena mereka memangku otoritas jabatan formal, tapi karena persepsi masyarakat menyangkut otoritas mereka berkaitan dengan seperangkat perintah (petunjuk) yang mengarah pada jalan Tuhan.[45]

Kedua istilah ini dipakai oleh Khaled untuk menganalisis dan membedakan antara yang otoritatif dan yang otoriter dalam diskursus hukum Islam (sumber otoritas).[46] Namun, penting dicatat bahwa baik wakil khusus maupun wakil umum pelimpahan otoritas Tuhan kepada keduanya akan membuka ruang otoritarianisme, jika keduanya menyalahgunakan otoritas atau mandat Tuhan dengan melakukan tindakan di luar batas kewenangan hukum yang dimilikinya terlebih menuhankan dirinya, dengan menutup teks secara rapat-rapat (menutup pintu ijtihad).[47]

  1. F. Syarat Wakil Tuhan dalam Menghindari Otoritarianisme Penafsiran Teks

Kajian Tuntas Hermeneutika Negosiatif. Khaled menggunakan istilah wakil umum (common agent) dan wakil khusus (special agent) untuk menganalisis dan membedakan mana yang otoritatif dan yang otoriter dalam diskursus hukum Islam khususnya dalam proses penetapan makna dari hukum Islam. Proses penetapan makna akan menjadi problematis apabila komunitas interpretasi, baik wakil khusus maupun wakil umum yang memposisikan dirinya sebagai wakil Tuhan tidak memenuhi lima syarat yang diajukan oleh Khaled sebagai berikut:

  1. Kejujuran, (honesty), yaitu sikap tidak berpura pura dalam memahami apa yang sebenarnya tidak ia ketahui dan bersikap terus terang tentang sejauh mana ilmu dan kemampuannya dalam memahami kehendak Tuhan
  2. Kesungguhan (diligence), yaitu upaya yang keras dan hati-hati karena bersentuhan dengan hak orang lain. Harus dihindari sikap yang dapat merugikan hak orang lain. Harus dihindari sikap yang dapat merugikan hak orang lain. Semakin besar pelanggaran terhadap orang lain, semakin besar pula pertanggungjawaban di sisi Tuhan.
  3. Keseluruhan (comprehensiveness), yaitu upaya untuk menyelidiki kehendak Tuhan secara menyeluruh dan mempertimbangkan semua nashsh yang relevan.
  4. Rasionalitas (reasonabless), yaitu upaya penafsiran dan analisis terhadap nash secara rasional.
  5. Pengendalian diri (selfrestraint), yaitu tingkat kerendahatian dan pengendalian diri yang layak dalam menjelaskan kehendak Tuhan.[48]
  1. G. Penutup

Kajian Tuntas Hermeneutika Negosiatif. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa teori hermeneutika Khaled Medhat Abou El Fadl terkait peran otonomi teks, pengarang dan pembaca dalam mengungkap makna di balik teks memiliki sumbangan yang sangat besar dalam memberikan keseimbangan dalam proses interpretasi. Tujuannya agar seseorang atau sekelompok orang yang bernaung di belakang institusi seperti CRLO (Council for Scientific Research and Legal Opinions) tidak mudah terjebak pada sikap otoritarianisme, yang berujung pada despotic interpretation dengan cara mengunci teks atau fatwa dalam ideologinya. Akibatnya, integritas teks menjadi rusak, tidak dinamis, dan tidak mampu menjalankan fungsinya dalam merespon tantangan dan problematika sosial yang dihadapi oleh masyarakat muslim di era global.

Oleh karena itu, signifikansi dari hermeneutika hukum Islam dengan pola negosiasi yang digagas oleh Khaled dirasa penting untuk membendung sikap otoriter dari para pemangku otoritas yang berbicara atas nama Tuhan. Dengan karyanya Khaled ingin mengembalikan ilmu yurisprudensi Islam sebagai sebuah epistemology dan sekaligus metode penelitian (a method of inguiri), bukan sebagai diskursus keilmuan Islam yang beraroma politis dan otoriter. Dia ingin menghidupkan kembali dan mengembangkan lebih lanjut diskursus klasik  tentang peran ‘aql (intellect), fithrah (intuition), atau husn dan qubh (moral dan immoral) yang dicetuskan oleh ulama-ulama klasik dan dikembangkan lebih lanjut lewat pendekatan-pendeatan baru yang datang di kemudian hari.[49]

 DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, Mendengarkan “Kebenaran” Hermeneutika, dalam kata pengantar buku Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005

——-, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan”, Pengantar pada buku Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Cet.I, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004

Asmin, Yudian W., “Hassan Hanafi Mujaddid Abad Ke-15”, dalam Kata Pengantar buku Hassan Hanafi, Turas dan Tajdid: Sikap Kita terhadap Turas Klasik. Terj. Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Titian Ilahi Press dan Pesantren Pascasarjana Bismillah Press. 2001

Assyaukanie, Luthfi, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”. Paramadina, Vol. I, No. I, Juli-Desember, 1998

Fadl, Khaleed Abou El, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women. Oxford: Oneworld Publications, 2001

——, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Sewenangwenang dalam Wacana Islam. Terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003

——-, Islam dan Tantangan Demokrasi, Jakarta: Ufuk Press, 2004

Faiz, Fahruddin, Hermeneutika al-Qur’an Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005

Junaidi, Abdul Basit, dan Abid Rohmanu, dkk. Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009

Kimball, Charles, Kala Agama Jadi Bencana, Terj. Nurhadi, Bandung: Mizan, 2003

Misrawi, Zuhairi, “Wawancara dengan Khaled M. Abou El Fadl”. Perspektif Progresif, Edisi Perdana Juli-Agustus, 2005

——-, ”Khaled Abou El Fadl Melawan atas Nama Tuhan”. Perspektif Progresif, Edisi Perdana Juli-Agustus, 2005

Muslihin, Annas,  “Signifikansi Hermeneutika dalam Kajian Hukum Islam Kontemporer: Studi Atas Pemikiran Khaled Abou El Fadl”, Disertai UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.

Guntur, Romli, “Membongkar Otoritarianisme Hukum Islam: Memahami Syari’at Sebagai Fikih Progresif”.  Perspektif Progresif, Edisi Perdana Juli-Agustus. 2005

——-,“Kekerasan Atas Nama Fatwa” dalam https://koran.tempo.co/read/ 51454/kekerasan-atas-nama-fatwa?read=true diakses pada tanggal, 05 Maret 2019.

Sirry,  Mun’im A., “Islam, Teks Terbuka dan Pluralisme: Interpretasi atas Interpretasi Khaled Abou El Fadl”. Perspektif Progresif, Edisi Perdana Juli-Agustus. 2005

Supriatmoko, Konstruksi Otoritarianisme Khaled Abou El Fadl, dalam Hermeneutika al-Qur’an & Hadits, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010

[1] Amin Abdullah, Mendengarkan “Kebenaran” Hermeneutika, dalam kata pengantar buku Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm.xix.

[2] Fenomena polisi kebenaran dalam kehidupan beragama belakangan ini tidak lepas dari sikap sekelompok orang yang merasa paling tahu dan paling bisa menerjemahkan ajaran-ajaran Tuhan, sehingga setiap penafsiran maupun pemahaman yang tidak sesuai dengan dia dan kelompoknya merasa perlu untuk diluruskan dan jika perlu disingkirkan dengan berbagai jalan bahkan kekerasan. Akibatnya, kelompok lain yang berbeda siap untuk disesatkan, dipandang sebagai pelaku bid’ah, dituduh murtad, atau bahkan divonis kafir sampai halal darahnya. Lihat pembahasan tentang nasib orang-orang yang divonis murtad karya Guntur Romli,“Kekerasan Atas Nama Fatwa” dalam https://koran.tempo.co/read/51454/kekerasan-atas-nama-fatwa?read=true diakses pada tanggal, 05 Maret 2019. Lihat juga dalam Abdul Basit Junaidi dan Abid Rohmanu, dkk. Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.154. Uraian rinci mengenai akar penyesatan dan memposisikan keragaman bisa dilihat dalam karya Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 143.

[3] Dalam Charles Kimball “Kala Agama Jadi Bencana”, menjelaskan bahwa ada lima tanda yang bisa membuat agama busuk atau korup. Pertama, klaim kebenaran mutlak hanya pada agamanya. Kedua, taqlid secara membabi buta kepada pemimpin agamanya. Ketiga, mengidealisasikan zaman ideal masa lalu dan ingin mewujudkan pada zaman sekarang. Keempat, pencapaian tujuan dengan membenarkan segala cara. Kelima, menyerukan perang suci. Lihat, Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, Terj. Nurhadi (Bandung: Mizan, 2003).

[4] Amin Abdullah, Mendengarkan…, hlm.xix-xx.

[5] Amin Abdullah,“Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan”, Pengantar pada buku Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Cet.I, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), hlm.xii.

[6] Amin Abdullah, Mendengarkan…, hlm.xx

[7] Otoritarianisme yaitu penganugerahan otoritas pada yang tidak otoritatif atau juga bisa disebut sebagai sikap kesewenang-wenangan dalam diskursus pemikiran hukum Islam, seperti fatwa-fatwa CRLO yang oleh Abou El-Fadl dianggap terjebak pada sikap otoritarianisme yang bias gender (tidak menjunjung tinggi martabat perempuan). Lihat. Khaled Abou El Fadhl, Atas Nama Tuhan, Dari Fiqh Otoriter ke Fikih Otoritatif, Alih Bahasa: R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi, 2004), hlm. 385-425; Pembahasan secara khusus mengenai Otoritarianisme dibahas oleh Asnawi Ihsan, tidak jauh berbeda secara esensial apa yang dimaksud dengan otoritarianisme adalah faham yang mengabsahkan tindakan menggunakan kekuasaan Tuhan yang dilakukan seseorang, kelompok atau institusi untuk menyatakan bahwa pandangan keagamaannya (tafsir atas teks suci) paling benar dan itulah yang sebenarnya dikehendaki Tuhan. Sementara interpretasi yang dikemukakan pihak lain dianggap salah dan bukan kehendak Tuhan atau bahkan pada titik tertentu dituding sesat dan menyesatkan. lihat. Asnawi Ihsan, “Otoritarianisme: Catatan Kelam Peradaban Islam”, lihat, http://asnawiihsan.blogspot.com/2007/03/otoritarianisme-catatan-hitam-peradaban, diakses pada 5 Maret 2019. Uraian secara rinci mengenai konstruksi otoritarianisme bisa dilihat dalam Khaleed M. Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women. (Oxford: Oneworld Publications, 2001), hlm, 141.

[8] Zuhairi Misrawi, “Wawancara dengan Khaled M. Abou El Fadl”. Perspektif Progresif, Edisi Perdana Juli-Agustus, 2005, hlm. 15

[9] Yudian W. Asmin, “Hassan Hanafi Mujaddid Abad Ke-15”, dalam Kata Pengantar buku Hassan Hanafi, Turas dan Tajdid: Sikap Kita terhadap Turas Klasik. Terj. Yudian W. Asmin, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press dan Pesantren Pascasarjana Bismillah Press. 2001), hlm. xii, lihat juga, Luthfi Assyaukanie, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”. Paramadina, Vol. I, No. I, Juli-Desember, 1998, hlm. 61

[10] Khaled Abou El Fadl, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Sewenangwenang dalam Wacana Islam. Terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 18

[11] Khaled Abou El Fadl, Melawan Tentara Tuhan…, hlm. 20

[12] Kajian Tuntas Hermeneutika Negosiatif. Beberapa karya karyanya ialah Islam and the Chelllengge of Democracy (Princeton University Press, 2004), The Place of Tolerance in Islam (Cambridge University, 2001), Rebellion dan Violence in Islamic Law (Cambridge University, 2001), Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, dan Woman (Oneworld Publication, 2001), And God knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse (2001), Conference of The Books: The Search for the Beauty in Islam (2001). dikutip dari Abdul Basit Junaidi dan Abid Rohmanu, dkk. Islam Dalam Berbagai…, hlm.158-159

[13] Misrawi Zuhairi, “Wawancara dengan Khaled…, hlm. 17

[14] Mun’im A. Sirry, “Islam, Teks Terbuka dan Pluralisme: Interpretasi atas Interpretasi Khaled Abou El Fadl”. Perspektif Progresif, Edisi Perdana Juli-Agustus, 2005, hlm. 28

[15] Zuhairi Misrawi, “Khaled Abou El Fadl Melawan atas Nama Tuhan”. Perspektif Progresif, Edisi Perdana Juli-Agustus, 2005, hlm. 14

[16] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 205

[17] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 207

[18] Mun’im A. Sirry, “Islam, Teks TerbukA…, hlm. 30

[19] Romli, M. Guntur, “Membongkar Otoritarianisme Hukum Islam: Memahami Syari’at Sebagai Fikih Progresif”.  Perspektif Progresif, Edisi Perdana Juli-Agustus. 2005, 46

[20] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 253

[21] Hermeneutika Khaled dapat pula disebut “hermeneutika otoritatif” sebagai lawan dari “hermeneutika dispotik”. Lihat. Annas Muslihin, “Signifikansi Hermeneutika dalam Kajian Hukum Islam Kontemporer: Studi Atas Pemikiran Khaled Abou El Fadl”, Disertai UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013. hlm.191; Teori hermeneutika yang digunakan oleh Khaled Abou El Fadl berbeda dengan pendekatan hermeneutika yang digunakan di lingkungan atau dalam tradisi Biblical Studies yang menganggap pengarang teks telah meningggal (the death of author). Khaled menjelaskan bahwa pengarang al-Quran adalah abadi, hidup terus menerus mengurusi mahkluk-NYa, pengarang al-Quran tentu saja tidak rela jika karya magnum opusNYa diselewengkan dan dijadikan legitimasi “atas nama Tuhan”. Lihat. Supriatmoko, Konstruksi Otoritarianisme Khaled Abou El Fadl, dalam Hermeneutika al-Qur’an & Hadits (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010). hlm. 280

[22] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 90

[23]            Annas          Muslihin, “Signifikansi Hermeneutika..., hlm.189-190

[24] Pembahasan otoritas dalam hukum Islam sangat penting karena tanpa otoritas akan tampak subjektif, relative, dan bahkan individual. Oleh karena itu, pembahasan otoritas bertujuan untuk mencari hal-hal yang baku dalam beragama. lihat. Khaleed M. Abou El Fadl, Islam dan Tantangan Demokrasi, (Jakarta: Ufuk Press, 2004). hlm.42-50.

[25] Kajian Tuntas Hermeneutika Negosiatif. Kompetensi berfungsi untuk melihat serta menguji otentisitas teks antara yang absolut dan relatif.

[26] Kajian Tuntas Hermeneutika Negosiatif. Penetapan makna berfungsi untuk mencari makna sesungguhnya sebagaimana yang dimaksud oleh pengarang teks (Allah), apakah teks yang diinterpretasikan oleh komunitas interpreter mewakili maksud pengarang teks.

[27] Kajian Tuntas Hermeneutika Negosiatif. Perwakilan berkaitan dengan persoalan posisi seorang penafsir dalam berdialog dengan teks. Persoalan perwakilan Khaleed membaginya menjadi dua yaitu; Wakil khusus dan wakil umum. Uraian mengenai hal ini akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.

[28] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 86

[29] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 86

[30] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 86-87

[31] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 87

[32] Uraian dalam makalah ini tidak akan menyajikan secara detail mengenai persoalan ini, oleh karena itu, selengkapnya bisa dilihat dalam Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 87-88

[33] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 89

[34] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 90

[35] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 90

[36] Khaleed mengatakan seorang pengarang adalah pihak yang menggunakan bahasa, biasanya untuk menyampaikan makna. Akan tetapi, ia tidak dapat mengendalikan makna yang disampaikan. Bahasa bersifat otonom. Bahasa menambahkan aturan dan batasannya sendiri dan membentuk serta menyalurkan makna. Lihat. Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 90

[37] Sedangkan teks menurut Khaleed, hanyalah perkiraan yang paling mendekati maksud pengarang, terutama karena bahasa itu sendiri tidak tetap dan berubah selamanya. Lihat Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 90

[38] Sementara seorang pembaca ialah memiliki kemampuan untuk memaksakan makna apa pun yang ia kehendaki atas sebuah teks. Seorang pembaca bisa saja membaca buku ini dan berkesimpulan bahwa buku ini adalah tentang petualangan menyenangkan di sebuah dunia yang penuh kenikmatan, atau bahwa buku ini dipandang sebagai pesan pesan rahasia untuk kaum teroris dunia. lihat Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. hlm.90

[39] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 90

[40] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 25

[41] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 25-26

[42] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 91

[43] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 53

[44] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 53

[45] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 53

[46] Sementara kaitannya dengan konsep otoritas, Khaleed membedakan otoritas ke dalam dua jenis, yaitu otoritas yang bersifat koersif dan otoritas yang bersifat persuasif. Otoritas koersif merupakan kemampuan untuk mengarahkan perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam, atau menghukum. Otoritas jenis ini sifatnya memaksa orang lain untuk tunduk pada pikiran dan kehendaknya. Adapun otoritas persuasive merupakan kemampuan untuk mengarahkan keyakinan atau perilaku orang lain atas dasar kepercayaan. Otoritas jenis ini melibatkan kekuasaan yang bersifat normative. Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 18.

[47] Sikap ekstrim seperti “membatasi” atau “mengunci teks” dalam sebuah makna tertentu seperti itu menurut Khaleed dapat merusak integritas teks. seperti dalam pernyataan Khaleed sbb; “if the reader attempt to lock the text in a specific meaning, this act risks violating the integrity of the author and text effectively, the reader is saying: “I know what the author means, and I know what the text is saying; my knowledge ought to be conclusive and final.” Arti singkatnya, jika seorang pembaca berusaha “mengunci” teks dalam sebuah makna tertentu, maka tindakan itu akan merusak integritas pengarang dan teks tersebut. Dengan begitu, ia telah menyatakan: “saya tahu apa yang dikehendaki pengarang dan saya tahu juga apa yang diinginkan teks, pengetahuan saya bersifat menentukan dan meyakinkan. Lihat. Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 92

[48] Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s…, hlm. 142-143.

[49] Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik…, hlm. xvii

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *