Agak risih sekaligus geli sebenarnya meyimak banyak teman membully Prabowo dengan menanyakan “Sholat Jum’at dimana ya.” Sama gelinya juga ketika mereka menertawakan Sandi karena tidak bisa berwudlu dengan gayung.
Itu adalah respon dari bullyan sebelumnrya ketika Jokowi mengucapkan alpatikah. Sampai muncul ide bikin perlombaan atau tes ngaji TPQ buat para capres cawapres.
Pilpres 2019 ini memang diramaikan dengan isu agama Islam. Awalnya kelompok Prabowo ingin mengulang gerakan Islam 212 pada Pilgub DKI Jakarta. Lalu Jokowi memilih KH Ma’ruf Amin, kira-kira maksudnya adalah untuk mengimbangi manuver itu. Kiai Ma’ruf bukan hanya pemimpin ormas besar tetapi juga tokoh yang selama ini konsern dengan isu syariah, halal dan sejenisnya.
Tujuannya tidak lain adalah sama-sama menggait massa di negara mayoritas muslim: menggerakkan sentimen dan identitas keislaman.
Ini bukan hal baru karena prakondisinya sudah ada semenjak era reformasi. Semangat berislam meningkat sejalur dengan eforia kebebasan berekspresi dan kegandrungan share keshalihan melalui smartphone.
Dalam sistem bernegara Indonesia, semangat berislam ini juga menjelma ke dalam bentuk legislasi hukum materiil Islam di tingkat nasional dan daerah, juga dalam bentuk kongkret program pembangunan yang dikategorikan pro-Islam. Motornya tidak hanya dari kalangan pesantren, tapi juga generasi muslim sekolahan, profesional dan aktivis parpol nasionalis.
Itulah.
Penulis: A Khoirul Anam, Dosen UNU Indonesia Jakarta.