Oleh: Dr Menachem Ali, Dosen Airlangga University
Akhir-akhir ini banyak anak-anak muda generasi milenial mulai terpaut hatinya dengan ISLAM. Fenomena ini menarik; mereka belajar Islam melalui Youtube atau medsos dan juga mengikuti ta’lim/ kajian eksklusif. Apakah ini salah? Tidak ada yang salah dalam hal ini.
Saya hanya memperingatkan kepada mereka bahwa Islam tidaklah sesederhana yang kita pahami; realitas pemahaman ulama tentang Islam telah ada dalam berbagai mazhab Islam, yang melintas batas zaman dan generasi. Pemahaman ulama tentang Islam begitu kaya dan beragam ijtihad, dan fakta ijtihad itu termaktub dalam berbagai kitab-kitab mazhab. Islam itu satu, sekaligus Islam itu beragam.
Maksudnya, Islam itu satu manhaj, sekaligus beragam mazhab. Dengan kata lain “beda mazhab, satu Islam.” Ketika kita menyatakan bahwa “Islam tidak bermazhab”, maka pada saat itu kita telah membatasi Islam dan sekaligus menyatakan sebuah korpus tertutup sebagai “the other”, yakni sebuah “mazhab yang tanpa mazhab.”
Islam itu kaya dengan mazhab, ada mazhab Hanafi, ada mazhab Maliki, ada mazhab Syafi’i, dan ada mazhab Hambali, ke-4 mazhab inilah yang dapat disebut sebagai mazhab ortodoks; dan ada juga yang kini dikenal sebagai mazhab “tanpa mazhab.” Itulah yang disebut sebagai mazhab protestan, yang lebih mengedepankan pada gerakan puritan. Jadi tatkala kita menolak sebuah mazhab yang telah ada, dan sekaligus menihilkan sebuah mazhab, maka pada saat yang sama kita telah menciptakan sebuah mazhab baru, yakni “mazhab bi la mazhahib” (artinya: mazhab yang tak bermazhab), dan itulah yang disebut sebagai mazhab “tanpa mazhab” atau lebih tepatnya disebut mazhab protestan.
Inilah fakta era sekarang dalam dunia Islam, tentang adanya keberagaman dalam bermazhab, bukan keseragaman dalam bermazhab. Adanya mazhab ortodoks dan adanya mazhab protestan dalam mengamalkan fiqh merupakan sebuah keniscayaan dalam bermazhab yang berdasar pada semangat ukhuwah (toleransi antarmazhab). Jangan Anda terkesima dengan sekedar jargon “Kembali pada Qur’an dan Sunnah”, dan yang lain dianggap salah; dan kemudian mencaci maki mazhab yang lain; atau mencaci mazhab ortodoks.
Jangan Anda menguras energi dan membahas sebuah tema yang sudah “basi.” Jangan Anda mengulang-ulang perdebatan fiqh masa lalu, yang sebenarnya sudah disikapi secara toleran di antara berbagai ulama mazhab. Jangan Anda bertengkar soal anjing itu najis atau tidak najis, babi itu najis atau tidak najis. Dalam mazhab Maliki misalnya, “anjing itu suci dan tidak najis”, sebaliknya dalam mazhab Syafi’i pandangannya berbeda, “anjing itu najis.” Ini merupakan contoh kongkrit tentang adanya ikhtilaf yg sangat diametral di antara para ulama mazhab fiqih.
Kita boleh saja berbeda dalam beberapa hal yang tidak kita sepakati. Namun, tidak bisakah kita bersaudara dalam banyak hal yang kita sepakati?
Pemahaman mazhab fiqh Maliki yang memandang anjing itu tidak najis, ini merupakan pengalaman langsung saat saya dulu di Rabat, Marocco tahun 2014. Apakah Anda tidak mau shalat berjamaah dengan seorang Muslim dari kalangan mazhab Maliki karena mereka menurut Anda telah “terkena najis anjing” bertahun-tahun?
Sejak dulu kenajisan anjing telah diperselisihkan oleh para ulama mazhab, sedangkan mengedepankan keluhuran akhlak telah disepakati oleh seluruh ulama mazhab. Anda jangan egois mazhab, dan tidak perlu saling mencela, yang penting kita arif bijaksana. Orang Eropa kebanyakan bermazhab Maliki, karena kebiasaan orang Eropa memelihara anjing dan sangat dekat dengan anjing.
Pada bulan Mei – Juni 2019 kemarin, saya ada di Tokyo, Jepang. Orang di sana sangat hemat air tatkala berwudhu, dan kaki dibasuh dengan sedikit air, kemudian diusap dengan handuk, atau cukup kaos kaki diusap saja; tidak seperti di sini, air kran mengucur deras. Mungkin ini pengaruh mazhab Hanafi dan mazhab Maliki yang kebanyakan orang Turki, Pakistan dan Marocco yang tinggal di Jepang. Persoalan perbedaan pandangan fiqh begini sudah tuntas dibahas oleh ulama-ulama kita terdahulu.
Anda tinggal membaca kitab-kitab lintas mazhab di berbagai perpustakaan. Justru yang bermasalah itu Anda sendiri, karena memang sebenarnya Anda memang tidak suka membaca. Tradisi literasi Anda benar-benar lemah, tradisi iqra’ Anda benar-benar “parah”, dan wajar bila Anda mudah marah ketika pemahaman orang lain berbeda arah dengan Anda. Pondok pesantren GONTOR saja mengajarkan fiqh lintas mazhab, dan kitab-kitab fiqh berbagai mazhab tersedia di perpustakaan GONTOR.
Sekali lagi, jangan membuat orang lain tertawa atas kegaduhan di antara kita, yang sebenarnya pertengkaran itu merupakan tema klasik yang sudah dibahas tuntas oleh para ulama mazhab. Kini kita sekarang bukan hidup di zaman purba, tetapi kini kita hidup di zaman milenium yang berhadap-hadapan dengan melejitnya sains. Bacalah misalnya kitabnya Ibnu Rushd (Averroes) yang berjudul ” Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid”, Anda akan menemukan berbagai macam jawaban atas tema klasik perbedaan mazhab itu; dan tidak perlu tema usang itu diulang-ulang lagi di Youtube, seakan ini merupakan tema fresh dan baru; padahal tema usang yang mengandung banyak alternatif jawaban. Inilah justru penyebab kegaduhan karena tanpa alternatif jawaban.
Persoalan kesadaran pemahaman lintas mazhab ini penting; dan fenomena ini baru pada tahapan sederhana, yakni ISLAM pada tataran fiqh, tataran ritualistik; ISLAM sebagai agama ritualistik.
Kini saatnya Anda berubah. Belajarlah Islam secara benar. ISLAM sebagai agama peradaban; bukan hanya belajar Islam sebagai agama ritualistik. Camkanlah bahwa peradaban Barat mengakui bahwa ternyata Islam itu benar-benar sebagai “Agama Peradaban”, yang mengguncang kesadaran Barat pada kesadaran sains; tanpa Islam maka mereka tidak mengenal apa-apa.
Tahukah Anda, mengapa huruf “x” digunakan untuk sesuatu yang tidak diketahui? Tahukah Anda, mengapa karya Jabir ibn Hayyan – seorang ulama sekaligus ilmuwan – diterbitkan di Roma pada tahun 1490 M. oleh E. Sieber? Versi berbahasa Latin dari karya Jabir ibn Hayyan baru terbit pada tahun 1668 M., dengan judul “Gebri Arabis Chimia sive Traditio Summae Perfectionis et Investigatio Magisterii.” Karya tersebut diterbitkan kembali pada tahun 1928 M. oleh E.J. Holmyrad dengan judul “Great Arab Alchemist from Seville.”
Silakan di-share thread ini kepada siapapun, terutama para pendidik (guru/dosen), agar informasi ini dapat diteruskan kepada anak-anak kita. Mudah-mudahan mereka akan menjadi generasi toleran lintas mazhab, dan dapat mengembangkan sains demi kemuliaan Islam ke depan. Amin.