Berita NU, BANGKITMEDIA.COM
SEMARANG – Pondok Pesantren Darul Falah Besongo (DFB) jalan Perum Bank Niaga Tambakaji, Ngaliyan, Kota Semarang dalam perkembangannya, secara terus menerus melakukan inovasi dalam kurikulum pendidikan pesantren. Diungkapkan oleh Lurah DFB Muizzatus Sa’adah dalam rapat pengurus semalam, (13/09/2018), selain mengajarkan kitab-kitab kuning karya ulama salafussalih, saat ini pesantren telah mengajarkan pembelajaran bahasa dan kepenulisan. Menurutnya, pesantren harus terus berinovasi sesuai dengan kebutuhan.
“Inovasi harus dilakukan oleh pesantren, sebagai bentuk adaptasi dengan perkembangan zaman,” kata Muiz. Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Semarang ini menyatakan, pesantren memiliki kelebihan dibanding dengan pendidikan formal. Ada yang terus bertahan dengan gaya klasik dan bahkan menjadi trade mark tersendiri, dan ada pula yang terus berinovasi. Semua memiliki ciri khas dan tetap marketable.
Adanya program tersebut, menurut Muiz, akan didukung dengan pendampingan bagi santri yang tengah mengerjakan tugas akhir atau skripsi. Hal ini menjadi pertimbangan pengembangan pesantren yang memiliki santri yang umumnya dengan latar belakang mahasiswa,” Program ini sudah berjalan dengan baik selama 3 tahun terakhir dan terbukti efektif membantu kelulusan,” kata Lurah pondok yang kuliah di jurusan tafsir hadist ini. Menurutnya, nilai tambah tersebut belum tentu didapatkan mahasiswa yang bermukim di luar pesantren Besongo.
Mengutip dari ungkapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Janganlah engkau memaksakan anak-anakmu sesuai dengan pendidikanmu, karena sesungguhnya mereka diciptakan untuk zaman yang bukan zaman kalian”. Pesantren Besongo terus bergerak secara dinamis seiring perkembangan zaman.
Pengasuh Besongo, KH Imam Taufiq menuturkan, menjadi santri sekaligus mahasiswa yang lulus tepat waktu dinilai menjadi salah satu kunci awal untuk mulai menata lini masa kehidupan selanjutnya. Banyak pilihan yang bisa dikembangkan paska kuliah. Prinsip santri yang selalu diingatkan Imam, menjadi santri yang “anfa’uhum linnas” dan mampu menjadi pelopor perdamaian di masyarakat.
Bila ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi tentu menggunakan bahasa Arab atau Inggris sebagai syarat mutlak. Imam menginginkan santrinya tak hanya berhenti di UIN Walisongo saja. Harus punya niatan untuk terus melanjutkan studi lanjut. “Bahasa menjadi kunci penting untuk membuka pengetahuan. Itu wajib,” tutur Imam menegaskan. (Rifqi/An)