Oleh: Kang Iftah, Khodim Pesantren Fatahilah Bekasi dan calon wali santri tahun depan.
Musim liburan akhir tahun ajaran hampir berakhir, sebentar lagi anak-anak akan kembali belajar di lembaga pendidikan masing-masing. Baik kembali ke pendidikan lama, karena belum selesai jenjangnya, atau pindah ke lembaga pendidikan baru, karena sudah lulus.
Bagi mereka yang menitipkan anaknya di pesantren, tentu harus bersiap-siap kembali berpisah dengan sang buah hati untuk sekian waktu. Anak-anak harus kembali menjalani hari-harinya sebagai santri dengan segala macam aturannya.
Sekedar mengingatkan, kepada para wali santri atau calon walisantri (termasuk saya yang tahun depan sudah harus nyari pondok buat Aqiela), ada beberapa pemahaman dasar yang harus dibangun ketika memutuskan untuk mengirim anaknya belajar di pesantren.
Pertama, Mondokin anak tidak sama dengan menyekolahkan di dekat rumah, atau luar kota dengan tinggal di kos. Pesantren adalah sebuah sub kultur tersendiri yang mempunyai tata aturan, nilai dan budaya yang unik, yang sangat berbeda dengan di rumah. Jauh-jauh hari (bahkan bulan atau tahun) anak harus disiapkan mentalnya untuk hidup terpisah dari orang tua yang selama ini memanjakan dan melindunginya. Anak harus belajar mandiri dalam segala hal: belajar, mengelola aset, dan bergaul.
Lebih bagus lagi jika jauh sebelum mondok, anak-anak sudah dikenalkan dengan kehidupan pesantren. Bisa dengan cerita ttg pesantren, bertemu alumni pesantren atau sesekali ajaklah anak berkunjung ke pesantren-pesantren terdekat, supaya mereka punya gambaran, seperti apa nantinya ketika mereka sudah mondok.
Kedua, Pada dasarnya hampir semua pesantren, terutama yang tradisional, adalah rumah seseorang (kyai atau habaib) yang dipercayai oleh calon walisantri, memiliki sedikit atau banyak ilmu agama atau metode pembelajaran agama, yang akan berguna untuk membekali anak-anak mereka di masa depan. Orang yang kemudian karena panggilan jiwa atau kebutuhan umat, bersedia merelakan rumahnya dititipi anak-anak orang lain yang sedang mencari jati diri, membangun karakter dan mengumpulkan bekal untuk kehidupannya.
Namanya numpang hidup di rumah orang, tentu anak-anak juga harus disiapkan jauh-jauh hari untuk tau diri dan mengikuti aturan main si empunya rumah. Kan gak lucu kalo ada santri yang demo kepada kyainya atau guru-gurunya, wong numpang kok mendemo yang ditumpangi. Kalo ada yang bilang, “Kan kita mondok mbayar”. Segeralah ambil cermin dan berkaca. Hellllloooowww.
Sebagian besar uang yang kita bayarkan ke pesantren adalah untuk keperluan anak-anak kita sendiri: makan minum, fasilitas belajar, proses pembelajaran dsb. Lagi pula, Seberapa besar pun uang yang kita bayarkan–apalagi di pesantren tradisional yang sangat murah–, tidak akan pernah cukup untuk membayar ilmu, kasih sayang dan doa dari guru-guru pesantren yang bahkan masih terus dipanjatkan untuk anak-anak kita walau sudah lama lulus dan meninggalkan kamar pesantren.
Calon Walisantri Pun Harus Menata
Kemudian, tidak hanya anak-anak, kita, calon walisantri pun harus menata banyak hal dalam diri kita sebelum, selama dan sesudah anak belajar di pesantren.
Pertama, Mulai dari menata niat mondokin anak: untuk membangun akhlakul karimah, mencari bekal ilmu agama yang berkah dan manfaat, serta belajar mengamalkannya sedikit demi sedikit. Jangan menitipkan anak di pesantren karena sudah gak sanggup lagi menasehati atau membimbing.
Kedua, Jangan lupa meminta ijin menitipkan anak (bukan sekedar melakukan prosedur administratif pendaftaran), memberikan kepercayaan penuh kepada yang dititipi, serta memohon maaf jika selama proses anak-anak nyantri akan banyak merepotkan tuan rumah.
Ketiga, Jaga relasi dengan Pengasuh pesantren, baik secara lahiriah maupun batiniah. Setiap kali menjenguk anak, sempatkan bersilaturahmi dan bertegur sapa dengan Pengasuh, pengurus pondok dan guru2. Sekedar mengenal lebih dalam dan menanyakan perkembangan anak tv dititipkannya.
Pengalaman saya waktu mondok dulu, ada juga teman yang selama tiga tahun mondok orang tua tidak pernah bertemu dengan Pengasuh. Jangankan bertemu dan bersilaturahmi, bahkan kenal pengasuhnya yang mana pun tidak. Karena saat mendaftar cuma menemui panitia, setiap menjenguk anaknya selalu menemui anaknya di luar atau ruang tamu, dan ketika pulang tidak mempamitkan anaknya, apalagi mengucapkan terima kasih.
Bagi mereka terkadang hak dan kewajiban walisantri hanya bersifat transaksional : sebatas membayar SPP tanpa terlambat, dan mendapatkan nilai raport dan NEM anaknya bagus.
Keempat, Menitipkan anak di pesantren, tidak sama dengan menitipkan anak di lembaga kursus menjahit, menyetir mobil, atau les bahasa asing. Karena tujuannya bukan sekadar mendapatkan ilmu pengetahuan atau keterampilan tertentu, tetapi juga terbangunnya karakter dan moral anak serta keberkahan ilmu, maka diperlukan beberapa aspek sekaligus yang memerlukan kerja sama erat antara orang tua dan guru:
a) membangun suasana belajar yang kondusif. Bagi pihak pesantren, ini berarti berusaha menyediakan sarana dan prasarana belajar serta tenaga pengajar yang memadai. Sedangkan bagi orang tua, hendaknya tidak menggangu suasana hati dan konsentrasi belajar anak dengan hal-hal yang tidak relevan. Misalnya, jika orang tua sedang ribut/berantem, tidak usahlah anak-anak diberitahu atau dibawa-bawa. Biar mereka belajar dengan tenang.
b) nirakati. Dalam hal ini tugas orang tua dan pesantren sama, yakni senantiasa melakukan riyadhah dan doa memohonkan kemudahan bagi anak dalam belajar dan memahami ilmu serta mengamalkannya. Jangan sampai orang tua merasa, asal anak sudah dimasukkan pesantren selesai tugas orang tua. Selebihnya menjadi tanggung jawab guru dan pesantren untuk nirakati.
c) mencarikan bekal yang halal. Tak kalah penting, dari dua aspek di atas adalah aspek kebersihan harta yang kita gunakan untuk membiayai dan membekali anak belajar di pesantren. Rejeki yang syubhat apalagi haram, akan berpengaruh besar dalam membentuk karakter anak dan kemanfaatan serta keberkahan ilmunya kelak.
Kelima, Jika walisantri bukan alumni pesantren, atau baru kali itu akan berurusan dengan dunia pesantren, belajarlah memahami budaya pesantren, tata nilai, etika, dan sistem pendidikannya. Sehingga ketika berurusan dengan pihak pesantren tidak ada gap budaya, bahasa atau etika. Bagaimana tatacara dan adab santri berkata-kata, berlaku dan bersikap terhadap guru-gurunya, terhadap prasarana ilmu, dan teman-temannya, harus dipahami dan ikut dijaga oleh calon walisantri.
Terkadang apa yang dianggap wajar di luar pesantren, justru dianggap tidak etis (kurang adab) di dalam pesantren. Sebaliknya, ada guyonan-guyonan khas santri yang kadang tidak mudah dipahami dan diterima oleh komunitas di luar pesantren. Eratnya ikatan persahabatan para santri, kadang melebihi saudara, maklum selama bertahun-tahun mereka hidup bersama, susah senang bersama, berjuang belajar bersama.
Keenam, Ikatan batin antara santri dan guru serta almamaternya adalah ikatan abadi. Dalam dunia pesantren, Tidak ada istilah mantan santri saya atau mantan kyai saya. Ikatan guru murid itu akan terus dijaga sekali pun kelak sang murid sudah jauh melampaui keilmuan gurunya. Kyai adalah orang tua bagi santri, sampai kapan pun. Santri adalah anak-anak bagi kyai dan para guru-guru di pesantren. Dan Pesantren adalah rumah kedua bagi santri, sampai kapan pun. Begitu selamanya, selagi salah satu di antara mereka tidak ada yang memutuskan ikatannya, dengan saling menyakiti misalnya.
Tak jarang seorang santri yang sudah lulus dan tidak lagi tinggal di pesantren, masih ditegur dan dimarahi kyainya karena melakukan hal yang menurut sang kyai kurang pas. Hal ini semata karena rasa sayangnya sang guru terhadap murid yang sudah dianggap anak-anaknya sendiri. Seringkali dalam memarahi pun masih dengan gaya kyai terhadap santrinya saat masih di pesantren. Santri biasanya mafhum, tapi tak jarang walisantri yang kurang gaul dengan dunia pesantren akan baperan, lalu tersinggung dengan teguran gurunya itu
Itu saja dulu, masih banyak sebetulnya, insya Allah lain waktu disambung.. Semoga bermanfaat bagi calon walisantri…
Jangan bosan bergaul dan bertanya kepada kaum santri.
Bekasi 3 Juli 2018