Imam Asy-Syafi’i Melarang Taqlid, Apa Maknanya?

Benarkah Imam Asy-Syafi'i Melarang Taqlid Kepada Dirinya?

Imam Asy-Syafi’i Melarang Taqlid, Apa Maknanya?

Sering kita baca dan dengar baik melalui medsos ataupun ceramah-ceramah dai salafi lokal (baca: wahabi indonesia) mereka menolak ber- Madzhab, yang menukil perkataan ulama “madzhab safe’i”, diantaranya “Larangan ber- Taklid”. Siapa sih dan apa makna (maksud) dari larangan tersebut?

Imam Muzani (175-264 H) merupakan santri langsung dari Imam Syafi’i. Imam Syafi’i menyebutnya sebagai “pembela mazhabku”. Beliau menuliskan kitab Mukhtashar yang tersebar luas sebagai panduan ringkas memahami mazhab Syafi’, dalam muqadimah Mukhtashar al Muzani beliau menyebutkan, bahwa Imam As Syafi’i “Melarang untuk taqlid kepada dirinya dan kepada para mujtahid lainnya”.

Secara sepintas, dari pernyataan Imam Muzani tersebut bisa dipahami bahwa seakan-akan Imam Syafi’i melarang mutlak kepada siapa saja untuk bertaklid kepada beliau, juga kepada para mujtahid lainnya. Namun sebenarnya makna pernyataan Imam Muzani tersebut amat “mendalam”, sehingga para ulama Syafi’iyah sendiri perlu menjelaskan apa yang terkandung dibalik pernyataan tersebut, siapa pula yang dituju dalam pernyataan tersebut.

Adalah Imam Mawardi (362-448 H) dalam al Hawi al Kabir yang merupakan syarah (penjelasan) dari kitab Mukhtashar al Muzani menjelaskan, bahwa para ulama Syafi’iyah sendiri berbeda pendapat mengenai siapa yang terkena “sasaran” oleh perkataan Imam As Syafi’i untuk tidak taqlid kepada beliau dan kepada ulama lainnya. Namun pendapat Abu Ishaq Marwazi dan mayoritas Syafi’iyah berpendapat bahwa perkataan itu ditujukan kepada Imam Muzani, yakni murid dari Imam As Syafi’i,”….Maka larang untuk taklid datang dari As Syafi’i kepada Muzani…”

Imam Mawardi juga menjelaskan bahwa ketika pernyataan Imam As Syafi’i ini dipakai secara mutlak,”… ditafsiri dengan apa yang kita jelaskan dari sejumlah kondisi dalam taqlid.” Kemudian Imam Mawardi menjelaskan secara terperinci perkara apa yang boleh taklid dan yang tidak boleh, siapa yang boleh untuk taqlid padanya dan siapa yang tidak boleh, kemudian kondisi muqallid (pengekor) dalam hukum syar’i.

Dalam pembahasan terakhir Imam Mawardi menyatakan,”Maka taqlid dalam hal ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi manusia dalam memahami perangkat ijtihad yang berfungsi untuk hal itu dan tidaknya. Kalau seluruh manusia dilarang untuk taqlid dan mereka dibebani untuk berijtihad, maka kewajiban untuk memahami perangkat ijtihad wajib bagi seluruh manusia. Hal ini adalah kekacauan tatanan dan merupakan kerusakan…”

Dari pernyataan Imam Mawardi tersebut, bisa disimpulkan bahwa pernyataan Imam Syafi’i yang melarang taqlid “TIDAK BERLAKU MUTLAQ” kepada siapa saja, namun kepada mereka yang cukup memiliki perangkat untuk ijtihad. Dan hal ini sejalan dengan penafsiran mayoritas Syafi’iyah yang berpendapat bahwa pernyataan itu ditujukan kepada Imam Muzani, dimana beliau telah mencapai pada tingkatan sebagai mujtahid madzhab.

Ketika Imam An Nawawi menjelaskan mengenai posisi mujtahid madzhab, dimana mereka dinisbatkan ke madzhab bukan karena taqlid terhadap terhadap pendapat atau dalil, namun karena menggunakan metodologi imam madzhab dalam berijtihad, maka setelah itu beliau menyatakan,”Hal yang disebutkan oleh kedua orang (Abu Ishaq dan Abu Ali As Sinji) ini, sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada mereka (mujtahid madzhab) dalam ijtihad oleh As Syafi’i kemudian Muzani di awal Muhktashar Al Muzani,’Dengan pemaklumatannya (As Syafi’i) (mengenai) pelarangannya untuk taqlid kepadanya dan kepada selainnya.

Dari pernyataan Imam An Nawawi di atas, maka bisa disimpulkan bahwa pernyataan Imam As Syafi’i yang disebut oleh Imam Muzani mengenai larangan untuk taqlid relevan dengan mereka yang sampai pada tingkatan mujtahid madzhab.

Ketetapan wajib bertaqlid bagi orang yang belum sampai derajat mujtahid adalah berdasar:

Pertama dalil Qs an Nahl: 43:

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

“Bertanyalah kalian semua kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.”

Dan sudah menjadi ijma’ ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya untuk ittiba’ (mengikuti) orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam (orang yang belum mempunyai kapasitas istinbath (menggali hukum]) untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.

Senada dengan ayat diatas didalam surat At Taubah 122;

فلولا نفر من كل فرقة منهم طافة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم إِذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Kedua Ijma’. Maksudnya, sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-sahabat Rasulallah berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semua adalah ahli fatwa (mujtahid) seperti yang disampaikan Ibnu Khaldun. Dan sudah nyata bahwa agama diambil dari semua sahabat, tapi mereka ada yang memiliki kapasitas ijtihad dan itu relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah semua sahabat. Di antaranya juga ada mustafti atau muqallid (sahabat yang tidak mempunyai kapasitas ijtihad atau istinbath) dan shahabat golongan ini jumlahnya sangat banyak. Setiap shahabat yang ahli ijtihad seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ustman, Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar dan lain-lain saat memberi fatwa pasti menyampaikan dalil fatwanya.

Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqhiyyah, pilihannya hanya ada dua, yaitu: antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid.

Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena dia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama sehingga pekerjaan dan profesi ma’isyah pastinya akan terbengkalai. Klimaksnya dunia ini rusak. Maka tidak salah kalau Dr. al-Buthi yang menemui syahid akibat serangan kelompok isis memberi judul salah satu kitabnya dengan “Tidak bermadzhab adalah bid’ah yang paling berbahaya yang dapat menghancurkan agama”.

Dan pilihan terakhirlah yang harus ditempuh, yaitu taqlid.

(Takhrij Ahadits al-Luma’)

Kesimpulannya Imam Asy-Syafi’i Melarang Taqlid, Apa Maknanya? dalam hal taqlid ini adalah :

1. Wajib bagi orang yang tidak mampu ber-istinbath dari al Qur’an dan Hadits.

2. Haram bagi orang yang mampu dan syaratnya tentu sangat ketat, sehingga mulai sekitar tahun 300 hijriah sudah tidak ada ulama yang memenuhi kriteria atau syarat mujtahid. Mereka adalah Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Sufyan ats-Tsauri, Dawud azh-Zhahiri dan lain-lain.

والله اعلم.

Penulis: Musa Muhammad.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *