Ihwal Ilmu yang Bermanfaat

Habib Quraisy Shihab, Gus Dur dan Gus Mus
Prof. Quraish Shihab, Gus Dur dan Gus Mus. Foto: By Fihri Kamal.

Oleh Edi AH Iyubenu, Wakil Ketua LTN PWNU DIY

Tak diragukan sedikit pun bahwa ilmu adalah pintu bagi pencapaian kejernihan-kejernihan kebenaran (al-Haq). Dari khazanah ayat al-Qur’an hingga hadis Rasul Saw pun berlimpah petunjuk perihal keutamaan ilmu ini –tentunya pemilik/pencari ilmunya pula. Dari khazanah qaul para ulama pun berlimpah ruah. Termasuk dari khazanah para tokoh besar sufi pun, dorongan mendulang ilmu tak berkekurangan.

Bacaan Lainnya

Di al-Qur’an, misal, ada ayat yang menyeru supaya tak semua orang Islam berangkat ke medan perang untuk berjihad; hendaklah sebagiannya tinggal untuk mendalami dan mendakwahkan ilmu.

Namun, yang mesti pula segera kita cermati di titik ini ialah segala tuturan ayat perihal keutamaan ilmu ini dibatasi dengan tegas di hulunya (kelak akan ada hilirnya) oleh “amanu”, beriman. Misal, yarfailLahul ladzina ‘amanu walladzina utul ‘ilma darajat, Allah Swt akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu kepadanya….

Jadi, jika disusun secara hierarkis, nomor wahid adalah iman, barulah ilmu. Ilmu dalam relasi ini seyogianya menguatkan akar-akar iman di hati, meneguhkannya dalam rupa makin kekarnya takwa, dan berikutnya makin rindangnya ekspresi akhlak karimah kepada semua orang tanpa kecuali.

Itulah sebabnya di antara doa yang diwariskan kepada kita ialah “Rabbi zidni ‘ilma warzuqni fahma, Ya Tuhanku tambahkanlah ilmu kepadaku dan karuniakanlah pemahaman kepadaku” dan “Allahumma inni as-aluka ‘ilman nafi’an, Ya Allah sungguh aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat.

Redaksi pertama, bertemali erat antara bertambahnya ilmu (zidni ‘ilma) dan pemahaman (fahma). Mengapa keduanya dibedakan?

Kita kenal ungkapan “tafaqqahu fid din, faqih (ahli) dalam urusan agama”, “ar-rasikhuna fil ‘ilmi, orang-orang yang kokoh dalam ilmunya”, dan “la dina liman la ‘aqla fih, tiadalah agama bagi orang yang tidak berakal.” Misal.

Menarik sekali untuk menukil paparan Prof. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah-nya di sini ihwal diksi “faqih, rasikhun, dan aqlun”. Ketiganya memang merujuk kepada arti “berilmu”. Akan tetapi, lebih dalam, Prof. Quraish menisbatkan ketiga istilah tersebut sebagai “pengetahuan dari ilmu (inilah yang dinaksud pemahaman) yang menghantar pemiliknya menjadi terikat dan terhubung kuat dengan tata aturan dan ketentuan Allah Swt dan RasulNya Saw, yakni syariat dan tentu pula akhlak karimah.”

Orang Jawa punya nasihat “ilmu kanthi laku” dan “migunani tumraping liyan”. Ini pun bisa kita jadikan pisau bedah bagi narasi di atas.

Dua diktum selaras dengan tuturan yang dideraikan Prof. Quraish tersebut: bahwa hanya ilmu pengetahuan yang memberikan buah kefaqihan belaka, yang dengannya hati dan pikiran menjadi makin erat ikatannya dengan tali Allah Swt dan RasulNya Saw, yang akan menjadikan diangkat derajat seseorang alim oleh Allah Swt.”

Tafsir menarik ini sangat relevan dengan fakta-fakta yang menyeruak ke dunia sosial majemuk kita hari ini yang justru kerap memicu tikaian dan selisihan akibat ontran-ontran ilmu. Mengapa ilmu yang semestinya menghantar kepada kefaqihan, artinya derajat tinggi cum saleh dan akhlak karimah oleh Allah Swt, justru cenderung berkebalikan menjungkalkan ke lembah kelam yang dibenciNya dalam rupa perselisihan, pertikaian, dan permusuhan?”

Bagaimana mungkin, dalam bentuk pertanyaan kritis lain, orang yang ahli ilmu syariat, sebutlah ilmu al-Qur’an, hadis, dan sirah nabawiyah, justru gagal merayakan spirit ukhuwah yang paling primordial, asasial, dan fundamental dalam keberislamannya?

Mari ingat ayat 105 dari surat Ali Imran ini selalu sebagai “batasan nyata” di sisi hilirnya bagi kita semua: “Wala takunu kalladzina tafarraqu wakhtalafu min ba’di ma ja-ahumul bayyinat, wa ulaika lahum adabun adhim, dan janganlah kalian menjadi golongan orang yang berselisih dan berpecah-belah setelah turunnya al-Qur’an ini, (siapa yang begitu) mereka itu akan ditimpa azab yang pedih.

Siapa yang terjungkal pada sikap anomali di atas, kiranya dapat kita pahami dengan sederhana sebagai dampak “ilmu yang tidak berkah”. Tegasnya, ilmu yang justru menceburkan pemiliknya kepada destruksi dua diktum tadi: ilmu kanthi laku dan migunani tumraping liyan.

Al-Qur’an pun telah memberikan peringatan kepada kita. Coba cek surat al-Mukminun ayat 71: “Umpama kebenaran (Yang Haq) mengikuti  hawa nafsu mereka, maka sungguh akan rusaklah langit dan bumi ini beserta semua yang ada di antaranya….

Kita semua tentu bersepakat bahwa tujuan kita belajar dan menuntut ilmu hingga akhir hayat ialah untuk kian menaqarrubkan diri kepada Allah Swt dan memigunanikan diri kepada sesama. Semakin luas dan dalam ilmu, semoga semakin luas dan dalam pulalah iman, takwa, dan akhlak karimah kita. Begitu kiranya. Dan inilah yang secara umum kita pahami sebagai “Al-Haq, Yang Haq”, sebagaimana dimaksud ayat di atas; sebagai ilmu kanthi laku dan migunani tumraping liyan.

Ketika ternyata makin dalam dan luasnya ilmu malah membelokkan kita dari aras adiluhung tersebut, berdasar ayat di atas, mengertilah kita bahwa ilmu yang luas dan dalam tersebut telah dibajak hawa nafsu diri. Kenapa hawa nafsu? Sebab hanya hawa nafsu lah, sebagaimana dituturkan surat Yunus ayat 53, yang kuasa mendorong kita kepada keburukan.

Inilah yang di kalangan para salik dicemaskan sebagai “hijab ilmu”. Cara kerja hijab rohani jenis ini jauh lebih halus, samar, tipis, tetapi sekaligus berat sekali untuk dideteksi bahkan oleh diri pelakunya. Seringkali kita malah terkecoh dengan menyangka “Inilah kebenaran (Al-Haq), kuat secara rujukan dalil-dalil sahih, pula secara metodologi dan analisis ilmu, sehingga tak ada keraguan sedikit pun di dalamnya”, padahal boleh jadi justru di dalamnya sedang berpesta pora hawa nafsu, plus tipu daya iblis.

Apa parameternya?

Clue dari surat al-Mukminun ayat 71 telah sangat jelas, yakni kerusakan (madharat). Bila paparan ilmu, seluas, sedalam, dan sekokoh apa pun penampakannya, malah mendampratkan madharat, kerusakan, dan (dalam istilah Ali Imran 105) perpecahan dan permusuhan serta kebencian, itulah bukti nyata dari “barang Haq yang dikuasai hawa nafsu”.

Ali bin Abi Thalib, yang dijuluki sang pintu gerbang ilmu oleh Rasulullah Saw, dengan enteng menyahuti sergahan Abdurrahman bin Muljam at-Tamimi yang kelak membunuhnya di tahun 23 Hijriah yang mengutip ayat “Waman lam yahkum bima anzaLlah faulaika humul kafirun, siapa yang tidak menetapkan hukum berdasar hukum Allah Swt, maka mereka itulah golongan orang kafir” dengan kalimat pendek: “Kalimat benar (haq) tapi digunakan dengan tidak benar (haq).”

Mari selalu mawas diri, berhati-hati, berbesar jiwa, berendah hati, dan memohon karunia Allah Swt semoga pertambahan ilmu kita sekaligus menambah pemahaman kita yang mengarah kepada mengangkat derajat kita. Ini isyarat bahwa ilmu kita makin meneguhkan iman di hulu dan meruahkan kemaslahatan di hilirnya. Ciri dari kondisi alim ideal ini ialah makin hunjamnya akar pohon iman di hati, makin tegaknya batang takwa, dan makin rindang dan sejuk dedaunan dan bebuahan akhlak karimahnya.

Amin.

Wallahu a’lam bish shawab.

Jogja, 22 Agustus 2019

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *