“Nak, pergilah menuntut ilmu untuk jihad di jalan Allah Swt. Kelak kita bertemu di akhirat saja.” Perintah Ibunda Imam al-Syafi’i kepada Imam al-Syafi’i sebelum rihlah (perjalanan menuntut ilmu).
Kemudian, Imam al-Syafi’i berangkat dari Makkah ke Madinah belajar dengan Imam Malik bin Anas, kemudian ke Iraq. Di Iraq, Imam al-Syafi’i bukan hanya 1 atau 2 tahun, karena beliau tidak berani pulang ke rumah, karena ketika beliau ingin pulang, beliau teringat pesan ibunda beliau tersebut (“Kelak kita bertemu di akhirat saja…”), sehingga sebelum ada izin dari Ibunya, beliau tidak berani pulang ke rumah.
Di Iraq beliau menjadi orang besar, ulama’ yang banyak muridnya.
Suatu ketika ada halaqoh besar di Masjidil Harom. Ada seorang ulama besar dari Iraq dalam perkataanya sering menyebut “Muhammad bin Idris al-Syafi’i berkata begini begini …”.
“Ya Syaikh, Siapakah Muhammad bin Idris al-Syafi’i itu?,” Sang Ibu bertanya.
“Dia adalah guruku, seorang yang ‘alim, cerdas, sholeh yang berada di Iraq. Asalnya dari Mekkah sini,” Syaikh tersebut menjawab dengan bangganya.
“Ketahuilah wahai Syaikh, Muhammad bin Idris al-Syafi’i itu adalah anak-ku,” jawab Sang Ibu.
Syaikh itu-pun kaget dan tercengang: “Subhaanallaah, wahai ibu. Benarkah hal itu?”
“Ya, benar. Dia adalah anak-ku” jawab Sang Ibu.
Rombongan dari Iraq itupun seketika menunduk, sebagai tanda hormat kepada Ibunda Imam Syafi’i.
“Wahai ibu, sepulang dari haji ini kita akan kembali ke Iraq. Apa pesanmu kepada Imam al-Syafi’i?,” Syaikh itu kembali berkata.
“Pesanku kepada Syafi’i, sekarang jikalau dia sekarang ingin pulang, aku mengizininya untuk pulang,” Sang Ibu kembali menjawab.
Kemudian, sepulang dari haji, Syaikh beserta rombongan Iraq itupun menyampaikan pesan tersebut kepada Imam Syafi’i bahwasanya “Ibundanya, mengizinkan beliau untuk pulang ke rumah….”, mendengar hal tersebut, mata beliaupun terharu dan merasa bahagia.
Ini artinya Imam al-Syafi’i masih berkesempatan bertemu dengan sang Ibunda di dunia ini, walaupun sebelumnya ibundanya berkata “kita bertemu di akhirat saja….”.
Imam al-Syafi’i tidak mengulur-ngulur waktu, beliaupun berkemas-kemas ingin sesegera mungkin bertemu sang Ibunda di Mekkah.
Sebelumnya, Imam al-Syafi’i berpamitan kepada warga Iraq setempat. Karena ke’aliman dan kemasyhuran beliau di Iraq, masyarakat yang mencintai dan mengagumi beliau, merasa bersimpati kepada Imam al-Syafi’i dengan memberi apa yang mereka punya dari kekayaan mereka , ada yang memberi Unta, Dinar, dan lainnya sekedar untuk bekal.
Walhasil, Imam al-Syafi’i pun pulang dengan membawa puluhan unta dan dikawal oleh beberapa santri beliau.
Sesampai di perbatasan kota Mekkah, Imam Syafi’i mengutus seorang santrinya agar mengabarkan kepada Ibundanya bahwa saat ini beliau sudah di perbatasan kota Mekkah. (Hal seperti ini termasuk sunnah, yakni mengabarkan ke rumah ketika seseorang mau pulang supaya pihak rumah mempersiapkan sesuatu, bukan membuat malah kejutan).
Kemudian, santri Imam al-Syafi’i-pun mengetuk pintu rumah.
“Siapa itu?” Tanya Sang Ibu.
“Saya adalah santri Imam al-Syafi’i yang diutus beliau agar mengabarkan kepada anda, bahwa Imam al-Syafi’i sekarang sudah berada di perbatasan kota Mekkah,” Jawab santri Imam al-Syafi’i.
“Syafi’i membawa apa?”
“Imam al-Syafi’i pulang dengan membawa puluhan unta dan harta lainya,” santri menjawab dengan bangga.
Mendengar penuturan santri Imam al-Syafi’i yang polos itu, Sang Ibu menutup pintunya sambil berkata, “Aku menyuruh Syafi’i ke Iraq bukan untuk mencari dunia! Beritahu kepada Syafi’i bahwa dia tidak boleh pulang ke rumah!”
Menuruti perintah Sang Ibu, santri Imam al-Syafi’i pun gemetar.
“Wahai Imam, Ibunda anda marah dan menyuruh anda untuk tidak boleh pulang ke rumah,” jawab santri penuh gemetar.
“Mengapa bisa demikian?,” tanya Imam al-Syafi’i.
“Wahai Imam, Sesungguhnya ibunda anda bertanya, Syafi’i membawa apa? Kemudian aku berkata bahwa Imam al-Syafi’i membawa puluhan unta dan kekayaan lainnya,” jawab santri itu.
“Sungguh kesalahan besar dirimu, jika engkau menganggap Ibundaku akan bahagia dengan harta yang kubawa ini. Baiklah, sekarang kumpulkan orang Mekah dan bagikan semua unta dan kekayaan lainya pada penduduk Mekah, dan sisakan kitab-ku, setelah itu kabarkan lagi kepada Ibuku,” tegas Imam al-Syafi’i.
Santri Imam al-Syafi’i itu pun menuruti apa yang diperintahkan oleh gurunya. Kemudian ia kembali ke rumah Imam al-Syafi’i untuk menemui Sang Ibu.
Sesampai di depan rumah, ia mengetuk pintu.
“Siapa?,” suara Sang Ibu dari dalam rumah.
“Saya adalah Murid Imam al-Syafi’i yang kemarin dan ingin mengabarkan kepada anda, bahwa Imam al-Syafi’i telah membagikan semua untanya dan harta yang lainnya, yang beliau bawa hanya kitab dan ilmu,” Jawab santri Imam al-Syafi’i.
“Alhamdulillah, baiklah sekarang kabarkan kepada al-Syafi’i bahwa dia boleh pulang ke rumah dan aku menungunya.”
Mendegar khabar itu, Imam Syafi’i bahagia dan terharu seraya mencium ibundanya yang telah lama tidak bertemu.
(Penulis: Muhammad Alfatih Sukardi, kontributor bangkitmedia.com dari Pekanbaru Riau)