Humor Umroh Gus Ulil Saat di Jeddah

Humor Umroh Gus Ulil Saat di Jeddah

Humor Umroh Gus Ulil Saat di Jeddah.

Saya berada di dalam antrian bersama Gus Mus, Mbakadmin dan ratusan jamaah lain untuk melewati meja imigrasi untuk “exit” dari bandara Jeddah. Hari sudah menunjukkan jam 9 malam lebih, dan badan sudah mulai lunglai setelah “muter-muter” di pusat perbelanjaan Kournich di Jeddah — bagian dari ritual ‘umrah yang nyaris mendekati “wajib”.

“Kita akan menjalani rukun ‘umrah terakhir, bapak dan ibu,” kata pemandu kami, seorang santri “jekek” dari Rembang, seraya berkelakar. Yang dimaksud “rukun terakhir” itu adalah belanja di Jeddah, sebelum kembali ke tanah air.

Para jamaah hanya tertawa saja, ndak ada yang menganggap ini sebagai “penistaan agama”. Gus Mus yang duduk di samping saya, ikut tergelak. Guyonan semacam ini sudah biasa di kalangan santri.

Saya mendapat giliran terakhir di depan meja imigrasi itu. Gus Mus, Mbakadmin dan beberapa jamaah lain sudah lolos dari pemeriksaan petugas “jamarik” atau imigrasi. Setelah giliran saya tiba, dan menunggu sebentar petugas memeriksa paspor, saya segera berlari kecil untuk mengejar jamaah lain yang menuju ruang tunggu — atau bahasa Arabnya: “shalat al-intidzar”.

Setelah berhasil menyusul mereka, saya panik luar biasa. Sebab ransel di mana dokumen-dokumen saya simpan, tak ada dalam jiningan saya. Saya panik, dan berlari kembali ke meja imigrasi, dan menanyakan petugas, apakah melihat ransel saya berwarna hitam.

“Ya habibi, ransel-mu ada di punggungmu,” kata petugas imigrasi. Saya baru sadar, ternyata ransel saya itu tidak ke mana-mana, tetapi saya bawa sejak tadi di belakang punggung.

Saya segera lari kembali menyusul jamaah, dengan menahan rasa malu. Petugas imigrasi pun menertawakan saya.

“Sudah tua, pikun,” saya membatin dalam hati.

Penulis: Gus Ulil Abshar Abdalla, pengasuh Ngaji Ihya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *