Hotel Palm Bondowoso sore itu (2015) habis gerimis. Saya dan Haji Miskat (sahabat saya) dipandu Agus Salim (asal Bondowoso) memasuki halamannya yang asri. Pohon-pohon palm menelan sunyi. Kembang dan rumputan berbaris di kanan-kiri.
“Mana kamar Cak Nun?” tanya saya.
“Itu.” jawab Agus singkat.
“Itu Cak Nun duduk di luar.” lanjutnya senang seraya mengajakku lebih bergegas. Kami pun bergegas.
Hendak melintasi jalan yang membelah taman rumput, sekitar 7 meter sebelum serambi kamar Cak Nun, saya buka sandal.
Cak Nun berdiri dan setengah berlari menyambut kami, “Tidak ada alasan untuk tak menyambut Sampeyan,” ungkap Cak Nun saat kami bersalaman dan berpelukan.
Sangat hangat, seakan kami teman karib yang lama berpisah dan berjumpa lagi. Padahal, kami belum pernah bertemu sebelumnya, tak juga pernah kontak. Baru kali ini. Apakah Cak Nun tahu ya alasan kedatangan kami?
HP hitam kombinasi kuning sesekali diangkat dan diletakkannya ke atas meja. Rokok dinyalakan. Kopi diseruput. Sedangkan di hadapannya, saya masih gugup mengelupas plastik yang mengepres mulut cangkir kopi, takut tumpahan. Spontan Cak Nun bangkit dan membantu saya membuka plastik pres itu. Wah, saya benar- benar seperti dimanja.
Sambil ngopi, Cak Nun bercerita tentang Allah yang tak akan pernah marah pada orang Madura. “Saat orang Madura mancing ikan di atas sampan, tak satu pun ikan tertangkap. Lama ia menunggu. Tetap tak ada yang tertangkap. Lalu, ia mendongak ke langit, ‘Jangan gitulah Gustè (Allah)…, kasihlah walau satu.’ Lalu, satu ikan tersangkut kailnya. Orang Madura itu pun senang. Ia kembali melempar umpan dan menunggu ikan-ikan lainnya. Sampai lama, tak ada ikan lain tertangkap. Ia kembali mendongak, ‘Siyah, jangan gitulah Gustè…, masak saya mintak satu, dikasih satu sungguhan…?’ Lalu, banyak ikan yang tertangkap, sampai sampannya tidak muat. ‘Nah, ya gitulah…!’ senyum lebar orang Madura.” Kami pun tertawa. Kopi diseruput, rokok disambung.
“Sepulangnya dari laut,” lanjut Cak Nun, “Dengan memikul banyak ikan, orang Madura menuju ke rumahnya. Dari jauh, ia melihat rumahnya mengepulkan asap tebal ke udara. Ia berlari mendekat, rumahnya terbakar. Lalu, ia segera mendongak, “Duh, Gustè…, jangan gitulah, soal lautan jangan dibawa-bawa kedaratan lah…!'” kata Cak Nun menahan tawa. Spontan tawa kami meledak-ledak, “Hahaha…!”
Sukorejo, 29 Januari 2019
Penulis: Zainul Walid, Sukorejo.