Hukum Berdiri Mahallul Qiyam Dalam Pembacaan Maulid

Hukum Berdiri Mahallul Qiyam Dalam Pembacaan Maulid

Hukum Berdiri Mahallul Qiyam Dalam Pembacaan Maulid

Kalau kita melihat lirik syair maupun prosa yang terdapat di dalam kitab Al-Barzanji, seratus persen isinya memuat biografi, sejarah hidup dan kehidupan Rasulullah SAW. Demikian pula yang ada di dalam kitab Diba’ dan Burdah. Tiga kitab ini yang berlaku di kalangan orang-orang NU dalam melakukan ritual Mauludiyah, atau menyambut kelahiran Rasulullah SAW. Ada juga khusus puji-pujian untuk Sulthanul Auliya’ Syaikh Abdul Qadir al-Jilany, yakni Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany.

Bacaan Lainnya

Di dalam praktiknya, Al-Barzanji, Al-Diba’i, Kasidah Burdah, dan Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany sering dibaca ketika ada hajat anak lahir, menantu, khitanan, tingkeban, dan lain-lain. Tujuaanya tidak lain yakni mohon berkah Rasulullah SAW agar terkabul semua yang dihajatkan. Umumnya acara berzanji, diba’an, burdahan, manaqiban, dilakukan pada malam hari – habis shalat Isya’, akan tetapi banyak juga warga NU yang mempunyai tradisi di lakukan di sore hari – habis shalat Ashar. Dan bahkan ada di sementara daerah yang melakukan berjanjen di siang bolong – habis Zhuhur.

Sudah ratusan tahun kitab-kitab itu dipakai. Rupanya belum ada yang menggeser lewat keindahan kalimat-kalimat yang disusun pengarangnya sampai sekarang. Bagi yang faham bahasa Arab, tentu untaian kata-katanya sangat memukau. Umumnya mereka terkesima dengan sifat-sifat Rasulullah SAW yang memang sulit ditiru, menarik, dan mengharukan. Mungkin bagi yang tidak faham bahasa Arab, menjadi problem, dan tidak merasakan enaknya lantunan yang didengar. Tak beda bagi yang suka “mocopatan”, dapat memahami bahkan menghayatinya,  tentu sangat-sangat menambatkan hatinya. Ketika dia sedang asyik-asyiknya dipanggil pun tak dengar, malah mungkin dicubit pun tidak terasa, ya kan? Itulah gambaran orang yang “mabuk”, apalagi mabuk cinta kepada Rasulullah. Sulit untuk digambarkan dengan kata-kata.

Di tengah acara Diba’an atau Berzanjen, ada ritual berdiri. “Sirakalan”, orang Jawa menyebutnya, dari kalimat “Asyraqal Badru ‘Alaina”– dimana kalau sudah sampai di situ hadirin di mohon berdiri. Berdiri karena kehadiran Nabi Muhammad SAW di tengah-tengah majelis. Ada yang menyebutnya sebagai “Marhabanan” dari kalimat “Marhaban” yang artinya “Selamat Datang” atas kehadiran Nabi kita.

Menurut Keputusan Muktamar NU ke 5 – Tahun 1930 di Pekalongan, berdiri ketika berzanjen/diba’an hukumnya sunnah, ia termasuk ‘Uruf Syar’i. Dalil yang dipakai, pertama:

قَدْ وُرِدَ فِيْ الْأَثَرِ عَنْ سَيِّدِنَا البَشَرِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : مَنْ وَرَّخَ مُؤْمِناً فَكَأَنَّماَ اَحْيَاهُ، وَمَنْ قَرَأَ تَارِيْخَهُ فَكَأَنَّماَ زَارَهُ ، فَقَدِ اسْتَوْجَبَ رِضْوَانَ اللهِ فِيْ حُرُوْرِ الْجَنَّةِ

Tersebut dalam sebuah Atsar – Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang membuat sejarah orang mukmin (yang sudah meninggal) sama artinya menghidupkan kembali; siapa yang membacakan sejarahnya seolah-olah ia sedang mengunjunginya. Siapa yang mengunjunginya, Allah akan memberinya surga. (Bughyat Al-Mustarsyidin, hal 97)

Dalil kedua :

قَالَ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فَتَفَرَّقُوا عَنْ غَيْرِ ذِكْرِ اللهِ  إِلَّا كَأَنَّماَ تَفَرَّقُوا عَنْ جِيْفَةِ حِمَارٍ ، وَكَانَ ذَلِكَ الْمَجْلِسُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً. رَوَاهُ أَحْمَدُ فِيْ مُسْنًدِهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ – وَقَالَ السُيُوْطِيْ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ

Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah suatu majelis orang banyak dimana orang-orangnya berkumpul tanpa dzikir kepada Allah, melainkan mereka itu bagaikan bangkai khimar yang berserakan, dan majelis itu hanya akan membawa kerugian bagi mereka). HR Ahmad dalam Musnadnya, dari Abi Hurairah. As-Suyuthi menilai: hadis ini Shahih. (Al-Jami’ Al-Shaghier, hal 278)

Dalil ketiga:

فالحكم: لَمَّا عُلِمَ الْحَقُّ مِنْكَ وُجُوْدَ الْمَلَلِ لَوَّنَ لَكَ الطَاعَاتِ أَيْ رَحْمَةً بِكَ وَتَسْهِيْلاً عَلَيْكَ لِأَنَّكَ إِذَا سَئِمْتَ مِنْ نَوْعٍ مِنْهَا انْتَـقَلْتَ إِلىَ غَيْرِهِ  وَلَوْ كَانَتْ مِنْ نَوْعٍ وَاحِدٍ لَسَئِمَتهُ النَفْسُ وَتَرَكْتَهُ اسْتِقْلَالاً لَهُ بِخِلَافِ الْأَنْوَاعِ الْمُتَعَدِّدَةِ  فَإِنَّهاَ تَسْتَخِفُّهَا وَتَسْتَحْلِيْهَا لَنَقَلَهَا مِنْ نَوْعٍ إِلىَ أَخَر، وَشَأن النَّفْسِ أَنْ لَا تَدُوْمَ عَلَى حَالٍ وَاحِدٍ  بَلْ تَنْظُرُ فِى الْأَحْوَالِ  أَلَّا تَرَى أَنَّ الْإِنْسَانَ إِذَا دَاوَمَ عَلَى طَعَامٍ وَاحِدٍ تَسْأَمُهُ نَفْسُهُ كَمَا وَقَعَ لِبَنِي إِسْرَائِيْلَ

Dalam kitab Hikam dipaparkan: Kalau engkau menjumpai di dirimu ada rasa bosan, lalu engkau dapat membuat variasi dengan beragam “ketaatan”, ini merupakan rahmat dan kemudahan bagimu. Sebab dengan begitu, bila engkau bosan dari yang satu dapat pindah ke yang lain. Jika hanya satu macam saja, tentu dirimu akan bosan dan lekas meninggalkannya. Berbeda jika ketaatan itu beragam, hal ini akan membuat ringan dan nyaman bagimu untuk berpindah dari satu ke yang lain. Dan sudah menjadi kecenderungan jiwa seseorang untuk tidak dapat tetap pada satu posisi saja, sebaliknya akan berpindah. Tidakkah jika seorang yang hanya makan makanan satu jenis, tentu mudah jemu sebagaimana dialami oleh Bani Israil? (Al-Sharim al-Mubid fi Hukm al-Taqlid, hal 75)

Demikian pula dalam hal “berdiri”, misalnya ketika membaca Maulid Nabi; walaupun bid’ah hukumya, tidaklah mengapa; karena orang-orang yang melakukan itu hanya sebagai penghormatan kepada dia – Nabi Muhammad SAW.

Dalil keempat:

عَلَى أَنَّهُ قَدْ جَرَى اسْتِحْسَانُ ذَلِكَ الْقِيَامِ تَعْظِيْماً لَهُ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وعَمَلُ مَنْ يَعْتَدُّ بِعَمَلِهِ فِىْ أَغْلَبِ الْبلَادِ الْإِسْلَامِيَّةِ وّهُوَ مَبْنِيُ مَا لِلنَّوَوِي مَنْ جَعَلَ القِيَامَ لِأَهْلِ الْفَضْلِ مِنْ قُبَيْلِ الْمُسْتَحَبَّاتِ إِنْ كَانَ لِلْاِحْتِرَامِ لَا لِلرِّيَاءِ

Selama ini dinilai baik melakukan shalawat sambil berdiri sebagai penghormatan terhadap Nabi SAW. Hal tersebut berdasarkan pada pendapat Imam Al-Nawawi yang menganggap berdiri untuk menghormati seorang yang punya keutamaan adalah bagian dari amal sunnah jika dilakukan tidak untuk riya’. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah li Ibni Hajar, hal 125)

Demikian Hukum Berdiri Mahallul Qiyam Dalam Pembacaan Maulid. Semoga bermanfaat.

Penulis: KH. Munawir AF, Mustasyar PWNU DIY

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *