Ada perbedaan mendasar antara kalangan sufi dengan kaum non sufi terkait perubahan masyarakat. Kaum sufi berangkatnya dari titik yang sangat mikro, sementara kaum non sufi berangkat dari ruang makro.
Demikian ditegaskan Gus Ulil Abshar Abdalla dalam Ngaji Ihya di Masjid An-Nahdlah, PBNU Jl Kramat Raya 164 Jakarta, Kamis (1/08/2019).
“Kaum sufi melihat perubahan dimulai dari hal yang sederhana, dari yang kecil sekali. Kalau ingin merubah masyarakat dan negara, maka mulailah dari merubah manusia. Sementara non sufi biasanya melihat perubahan dimulai dari merubah sistem atau merubah struktur masyarakat dan negara,” tegas Gus Ulil.
Kalau non sufi, lanjut Gus Ulil, perubahan itu membutuhkan anggaran yang besar. Sementara kaum sufi, perubahan bukan begitu.
“Contohnya, mulailah dari lapar. Perubahan dimulai dari diri sendiri. Ini bermakna dimulai dari akhlaq. Perubahan akhlaq itu sedikit demi sedikit, menurut Imam Ghazali. Yang dilihat isinya,” kata Gus Ulil.
Bagaimana cara mendidik akhlaq?
Gus Ulil menjelaskan bahwa pendidikan akhlaq dilakukan dengan cara mengendalikan diri.
“Bagaimana itu mengendalikan diri? Ya, lapar. Tapi harus dibedakan antara lapar sebagai laku spiritual dan lapar sebagai kelaparan. Lapar sebagai laku spiritual itu laku hidup yang diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad. Laku lapar sebagai jalan spiritual untuk menemukan laku kesejatian hidup,” lanjut Gus Ulil.
Dalam laku lapar, kata Gus Ulil, orang akan merasakan manisnya munajat kepada Allah.
“Orang yang kenyang tidak bisa merasakan nikmatnya munajat. Tidak sampai pada munajat, mereka yang kenyang juga tidak bisa merasakan nyaman dan kenikmatan membaca buku. Makanya, kalau mau membaca buku secara lebih baik jangan makan dulu,” tegas Gus Ulil.
“Orang yang kebanyakan makan juga akan susah mengingat kebijaksanaan dan terhalang rasa kasing sayang kepada sesama manusia. Akan mengalami penurunan sensitifitas sosialnya. Kesetiakawanan sosialnya akan turun,” lanjut Gus Ulil.
Gus Ulil juga menekankan bahwa orang yang kenyang akan mengira orang lain juga kenyang seperti dirinya sendiri.
“Manusia memiliki kecenderungan mengukur orang lain dengan ukuran dirinya sendiri. Orang yang biasa naik mobil maka akan melihat dan mengukur orang lain sebagaimana dirinya. Seringkali kalau berbeda dengan kita, kita mudah marah, tidak sabar. Orang yang kenyang terus tidak bisa merasakan orang lain yang sedang lapar, bahkan sampai kadang terganggu dengan kondisi orang lain yang sedang lapar,” tegas Gus Ulil.
Orang yang kenyang, lanjut Gus Ulil, juga membuat orang berat dalam beribadah dan meningkatnya syahwat seseorang.
“Orang yang kenyang yang dicari itu kamar mandi, sementara orang yang beriman itu yang dicari adalah masjid,” kata Gus Ulil.
Sementara orang lapar, jelas Gus Ulil, justru membuat badan tambah sehat dan mencegah penyakit-penyakit.
“Faedah ini bukan hanya spiritual, bahkan ini faedah duniawi. Sekarang ini banyak orang yang ingin lapar, diet, malah bayar. Bahkan ada dokter yang khusus menangani diet. Bayarnya mahal untuk ini,” kata Gus Ulil.
“Lapar membuat kita jauh dari banyak penyakit. Banyak makan mudah terkena penyakit. Kondisi sakit itu mengganggu ibadah kita dan mengurangi kita berdzikir kepada Allah. Sakit membuat kita sibuk berobat. Biaya itu semua juga tidak sedikit,” lanjutnya.
“Kalau lapar, kita bisa terjauh dari itu semua,” pungkasnya. (yan/di)