Aktualisasikan Cinta Tanah Air Dengan Mengaji

Aktualisasikan Cinta Tanah Air Dengan Mengaji

Aktualisasikan Cinta Tanah Air Dengan Mengaji

Dalam rangka menumbuhkan cinta tanah air, Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran (STAISPA) mengadakan pengajian kitab ‘Idzotun Nasyi’in, yang diampu oleh KH. Jazilus Sakho, selaku Ketua Akademik STAISPA. Dengan penuh semangat, para mahasiswa berbondong-bondong mengikuti pengajian kitab dengan khidmat di teras Perpus STAISPA pada Sabtu Malam (26/10/19).

Pada kesempatan tersebut, KH. Jazilus Sakho menyampaikan soal pentingnya menjaga NKRI dan pentingnya menebarkan perdamaian.

“Syaikh Mushtofa Al-Ghalayaini, pengarang kitab ‘Idzotun Nasyiin heran kepada orang yang merasa dirinya nasionalis, tetapi dia malah tidak bersikap nasionalis. Dia tidak mau bertekad mengeluarkan darah dan hartanya untuk megaranya, tetapi dia mengaku nasionalis. Jadi, tidaklah seseorang itu dikatakan nasionalis sejati, jika seseorang itu tidak beramal dan berusaha menghidupkan negaranya,” ujar Gus Sakho.

Gus Sakho kemudian menjelaskan seorang pejuang nasionalis yang benar yang tersirat dalam kitab Idzotun Nasyi’in.

“Nasionalis yang benar adalah seseorang yang mencintai untuk membuat yang lebih baik tanah airnya dan berusaha melayani tanah airnya bukan malah merongrong tanah airnya. Seorang nasionalis sejati adalah orang yang rela mati untuk tanah airnya, yang mempunyai semboyan ‘NKRI harga mati’ yang rela sakit untuk sehatnya umat dan tanah airnya,” jelasnya.

Orang yang mempunyai akhlak terpuji, lanjut Gus Sakho, kalau ada masalah datang, maka harus dihadapi buka malah lari. Seorang nasionalis yang sejati haruslah rela mati demi menghidupkan tanah air. Dalam sebuah tanah air, terdapat anak-anak yang mempunyai hak. Sebagaimana seorang anak yang sejatinya mempunyai kewajiban untuk menghormati bapaknya.

“Seseorang itu, tidak bisa disebut sebagai anak bangsa, kalau dia tidak bisa membangkitkan beban dan tanggung jawab untuk melayani tanah air. Salah satu kewajiban hak-hak anak bangsa adalah memperbanyak kaum terpelajar yang berakhlakul karimah. untuk menancapkan hikmah yang masyhur, yaitu dengan  hubbul wathon minal iman yang bermakna cinta tanah air, sebagian dari iman,” tutur Gus Sakho panjang lebar.

Kemudian, Gus Sakho menerangkan hari bersejarah yang melatarbelakangi kesuksesan Bangsa Indonesia.

“Pada tanggal 17 Agustus  1945, sebenarnya Indonesia sudah merdeka, karena Belanda dengan menunggang pasukan sekutu balik lagi ke Indonesia semuanya sudah dikuasai kecuali satu daerah yaitu Surabaya. Makannya tanggal 22 Oktober Kyai Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad, kewajiban untuk melaksanakan Jihad yang isinya semua umat Islam santri wajib mempertahankan negara Indonesia dalam radius 94 km dari Surabaya,” terang Gus Sakho.

Jadi, kata Gus Sakho, titik nolnya Surabaya terus radius 94 km dari Surabaya, semua itu wajib fardhu’ain, tetapi yang radius lebih dari 94 itu dihukumi oleh Mbah Hasyim sebagai  fardhu kifayah.

“Akhirnya para santri berjuang dalam pertempuran 10 November sampai Jenderal Malaby meninggal. Pada akhirnya dunia internasional tahu kalau orang Indonesia ini masih mempunyai kekuatan. Jadi tetep diakui oleh negara lain, sebagai syarat berdirinya suatu negara. Makannya itu Hari Santri Nasional ini tidak bisa dipisahkan dengan mempertahankan NKRI,” jelasnya.

Santri selain melakukan ritual-ritual ahlussunnah wal-jama’ah, santri juga harus mempunyai pola pikir NKRI harga mati, lanjut Gus Sakho.

“Harusnya kewajiban-kewajiban anak bangsa untuk menguatkan bangsa yang mempunyai rasa nasionalisme, seperti halnya menancapkan akar tunjang di dalam hatinya tumbuh di dalam jiwa tanah air. Madrasah dibangun supaya kaum pelajar bisa belajar, maka madrasah-madrasah akan menghembuskan ruh cinta tanah air dan madrasah-madrasah tersebut akan menumbuhkan dalam diri kaum terpelajar itu tanaman keutamaan dan amal-amal saleh” terang Gus Sakho.

Kemudian Gus Sakho menjelaskan pentingnya fasilitas sarana dan prasarana bagi kaum pelajar.

“Usaha untuk membentengi cinta tanah air untuk menghasilkan kaum terpelajar lebih penting yang fungsinya untuk menahan rong-rongan tersebut dan bentuk usaha untuk mendirikan madrasah untuk menghasilkan kaum terpelajar itu bisa menolak bahaya dari jalan yang diakibatkan dari anak bangsa itu sendiri. Daripada bahaya yang disebabkan oleh musuh,” jelasnya.

Jangan sampai membuat diri kita sendiri keropos, lanjut Gus Sakho, karena itu lebih bahaya daripada serangan dari musuh.

“Inilah pentingnya ngaji sebagai bentuk cinta tanah air kita yang tujuannya menghasilkan kaum terpelajar yang berakhlakul karimah,” tandas Gus Sakho.

Aktualisasikan Cinta Tanah Air Dengan Mengaji. Semoga bermanfaat. (Siti Kholisatul Wahidah/Rn).

*Penulis adalah Mahasiswa STAISPA yang sedang Magang Profesi di Majalah Bangkit dan Bangkitmedia.com

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *