Sungguh sebuah kebahagiaan yang luar biasa bagi kami, yang hingga hari ini masih terasa. Senin, 5 Agustus 2019 KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) rawuh di Al-Falah dalam rangka haul Bapak yang ke 4 sekaligus Haflah Attasyakkur Lil Ikhtitam PPTI Al-Falah ke 23.
Dalam tausiyah beliau, banyak sekali catatan yang sayang untuk dilewatkan. Tulisan singkat ini adalah bagian dari upaya agar catatan-catatan kecil itu tidak hilang, sebagai nasihat untuk diri sendiri, dan akan sangat disyukuri jika para sahabat juga bisa mengambil hikmahnya.
Gus Mus mengawali tausiyahnya dengan sebuah candaan. Malam itu bisa dibilang malam yang cukup membingungkan, karena ada dua peringatan dalam satu kesempatan yang nuansanya bertolak belakang. Yang pertama adalah Haflah Attasyakkur Lil Ikhtitam. Momen tasyakkur selalu bahagia. Para santri merasa suka cita karena ada yang berhasil khatam dalam menghafal juz amma, ada khatam membaca al-qur’an (binnadzar), ada pula yang khatam 30 juz al-Qur’an bil khifdzi (sebagai ralat istilah bilghoib). Menurut Gus Mus istilah khataman bilghoib ini salah kaprah, sudah salah tapi dipakai banyak orang. Tapi ya anggap saja tidak apa-apa.
Yang kedua, adalah peringatan haul yang tentu saja suasananya berbeda karena haul adalah peringatan kematian. Jadi bagaimana mungkin bersenang-senang jika dalam waktu yang bersamaan juga ada peringatan kematian? Sambil berkelakar, Gus Mus kemudian membagi pembahasan malam itu menjadi dua bab, yang pertama adalah baab attasyakkur, dan yang kedua adalah baab al-haul.
Pertama diawali dari baab attasyakkur. Gus Mus mengawali penjelasannya dengan sebuah pertanyaan. Saya sendiri selalu suka gaya pembahasan Gus Mus. Hemat saya, beliau selalu mengawali segala sesuatu hal dengan pertanyaan-pertanyaan kritis, ini penting agar pemahaman kita menjadi utuh. Gus Mus mengajak hadirin mempertanyakan, mengapa judulnya Haflah Attasyakkur Lil Ihktitam? Ikhtitam itu maknanya penutup, kenapa disyukuri? Apa senang karena sudah khatam kemudian libur mengaji? Pengunjung menyambutnya dengan gelak tawa.
Gus Mus melanjutkan penjelasan. Pondok pesantren jaman dahulu tidak mengenal ikhtitam, karena niat mondok adalah ngilangno (menghilangkan) kebodohan, padahal kebodohan tak akan pernah hilang, setiap orang yang semakin pandai sejatinya bertambah bodoh. Ketika ada orang kok merasa dirinya pintar berarti sesungguhnya dia bodoh. Kanjeng Nabi dawuh, orang akan tetap pandai selama dia tetap belajar. Barang siapa mulai merasa pandai dan berhenti belajar maka mulailah dia bodoh.
Oleh karena itu, santri jaman dahulu di pondok tidak mengenal ikhtitam karena tidak ada puasnya. Bisa jadi dia hanya puas dari satu pesantren, tapi untuk pindah ke pesantren yang lain.
Penulis: Siti Rofiah, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al-Falah, Salatiga.
*Catatan ini dihasilkan dari ngaji Gus Mus pada Senin 5 Agustus 2019 di Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al-Falah, Salatiga.
*Catatan ini adalah bagian pertama, sedangkan bagian kedua berjudul “Ngaji Gus Mus: Hakikat Pesantren itu Pendidikan, bukan Pengajaran.”