Saat diminta pamannya, KH Fattah Hasyim, untuk membantu mengurus Pondok Tambakberas, Jombang, Gus Dur pernah menghadapi suatu kasus nyeleneh, yakni banyaknya aduan berupa hilangnya celana dalam sejumlah santriwati.
Sebagai kepala seksi keamanan, Gus Dur pun memutar otak. Para santri dikumpulkan di masjid besar, kemudian semua pengurus ditugaskan merazia semua sisi kamar pondok dan sekitarnya. Ketemulah sebuah lemari santri yang menyimpan sejumlah celana dalam cewek.
Pelakunya dipanggil, disidang. Para pengurus memutuskan untuk mengeluarkan santri itu.
Lalu Gus Dur pun menghadap ke Kiai Fattah, menceritakan semua kejadian itu beserta rekomendasi pengurus untuk mengeluarkannya. Alasannya yang paling utama ialah perbuatan tersebut memalukan nama besar pesantren.
Kiai Fattah menyetujui usul yang disampaikan Gus Dur supaya santri itu dikeluarkan dari pondok. Beliau berpesan supaya santri itu beserta seluruh barangnya dibawa ke hadapannya.
Setelah santri tersebut dihadapkan ke Kiai Fattah, beserta seluruh barangnya yang telah dikemas, Kiai Fattah malah memberikan sebuah ruangan di ndalem Kiai kepada santri tersebut.
Gus Dur heran dan bertanya, “Kenapa ini malah ditampung di ndalem, Kiai?”
“Lha ya kan sudah sesuai rekomendasimu,” sahut Kiai Fattah. “Santri ini dikeluarkan dari pondok karena perbuatannya, dari kamarnya, ya ini saya tampung di kamar saya…,” jawab beliau sambil tersenyum.
Gus Dur dan para pengurus tak bisa berkata apa-apa lagi.
Sejak saat itu, setiap Kiai Fattah beraktivitas di dalam dan luar pesantren, santri nakal tersebut menyertainya. Mulai dari menyiapkan kitab-kitab buat ngaji, ragam peralatan shalat, hingga menemui tamu sebelum Kiai Fattah menemuinya, dsb.
Bertahun-tahun melakoninya, santri tersebut dengan sendirinya menjelma menjadi sosok yang luar biasa. Ngajinya bagus, relationshipnya bagus.
Belakangan santri itu lalu disebutkan menjadi kiai dengan ribuan santri di kampung halamannya.
Suatu hari, belasan tahun kemudian, ndilalah Gus Dur yang telah menjabat ketua umum PBNU berjumpa dengan santri nakal yang telah jadi kiai tersebut. Ia tertawa ketika Gus Dur mengatakan, “Selain ngaji dengan tertib sebagaimana lazimnya orang nyantri, untuk menjadi kiai ada jalan lain, yakni ngoleksi sempake santriwati….” Keduanya terbahak.
Gus Dur nyeletuk lagi, “Kang, mbiyen ki sempake ceweke ki ono seng abang to, koyone kui seng paling apik ya….” (Kang, dulu celana dalam santriwati ada yang merah, kayaknya itu yang paling cantik ya….)
Keduanya ngakak lagi.
Penulis: KH Dr Edi Mulyono, wakil ketua LTN PWNU DIY.