Gus Dur dan Perkataan “Undzur mâ Qôla walâ Tandzur man Qôla”

gus dur

Oleh: Nur Kholik Ridwan, Dosen STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta.

Dalam pengantar buku Einar Martahan Sitompul (NU dan Pancasila, LKiS, 2010), Gus Dur mengemukakan bahwa Nabi Muhammad shollallohu `alaihi wasallam menyatakan dengan gamblang: “Lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan (undzur mâ qôla walâ tandzur man qôla)” (Gus Dur, Sekadar Mendahului, hlm. 221).

Asal dari perkataan itu terdapat dalam penjelasan hadits No. 216, dalam kitab Mirqôtul Mafâtih Syarhu Misykâtil Mashôbih karangan Syaikh Ali al-Qori (versi Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2001/1422, I: 432-433, pada “Kitâbul `Ilmi”, di “Fashlush Tsânî”, yang bunyinya begini: “al-kalimatul hikmah dhollatul hakîm, fahaitsu wajadaha fahuwa ahaqqu bihâ.” Diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dan disebut Imam at-Tirmidzi sebagai hadits gharib. Arti hadts di atas, begini: “Kalimah hikmah adalah senjatanya orang yang bijak. Di mana saja ia mendapatkan maka ia berhak atasnya.”

Salah satu makna dari hadits ini, dengan mengutip Sayyid Jamaluddin, Syaikh Ali al-Qori menyebutkan begini:

“Sesungguhnya seorang yang bijak itu mencari hikmah, dan apabila ia mendapatkannya, maka dia lebih berhak atasnya, yaitu dia berhak mengamalkannya dan mengikutinya; atau kadang-kadang kalimah hikmah itu dibawa oleh orang yang tidak ahlinya, kemudian kalimah hikmah itu jatuh ke tangan mereka yang ahlinya, maka dia berhak atas kalimat hikmah itu (untuk mengamalkannya dan mengikutinya), daripada yang mengatakannya…”

Setelah memberikan penjelasan hadits itu dan makna hikmah, lalu Syaikh Ali al-Qori berkomentar begini, tentang undzur ilâ mâ qôla di bagian akhir komentarnya: “Dan Ibnu Asyakir meriwayatkan dari Imam Ali, dan seakan-akan Imam Ali berdasarkan dari hadits di atas, mengambil apa-apa yang dikatakannya secara mauquf: “Undzur ilâ mâ qôla walâ tandzur ilâ man qôla.” Maka, perkataan itu menurut Syaikh Ali al-Qori diriwayatkan dari Imam Ali secara mauquf.

Gus Dur menyitir perkataan itu, dalam konteks membicarakan “perlunya sikap objektif, sebagai hakikat dari ilmu pengetahuan”, begini: “Tetapi memang demikianlah hakikat ilmu pengetahuan, yaitu bahwa objektivitas ilmiah harus dipegang teguh, tanpa menghiraukan siapa yang mengatakannya.”

Gus Dur mengapresiasi buku Einar, yang notabene sebagai seorang non muslim, yang katanya: “Berhasil mengungkap rahasia yang masih banyak menyelimuti persoalan intern umat Islam, seperti sebab-sebab keluarnya NU dari Masyumi tahun 1952.”

Walhasil, dalam pengetahuan hikmah dan kalimat-kalimatnya, kita bisa mengambil dari siapa saja, bahkan dari anak kecil sekalipun; lalu orang yang mendapatkannya, lebih berhak menjalankan dan mengikutinya, tidak pandang bulu dari siapa yang mengatakan. Kalimat-kalimat hikmah mengajarkan kearifan dalam menjalani hidup dalam segala interaksinya. Hal ini berbeda dalam pengambilan ilmu selain kalimah-kalimah hikmah, dia memerlukan guru, seperti yang mengajari tentang tauhid, wudhu, sholat, dan lebih-lebih tentang tarekat, atau wirid. Wallohu a’lam.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *