Pusat Studi Pesantren dan Fiqh Sosial (PUSAT FISI) IPMAFA Pati sebagai lembaga kajian dan penelitian IPMAFA bidang pesantren dan fiqh sosial yang berdiri sejak tahun 2012 sudah melahirkan gagasan brilian dalam metodologi fiqh sosial.
Lembaga yang asalnya bernama FISI (Fiqh Sosial Institute) ini dalam pergulatan pemikiran selama ini menawarkan metodologi brilian yang dikenal dengan pengembangan Manhaji.
Pengembangan fiqh secara Manhaji dilakukan dengan:
Pertama, pengembangan masalikul illah sehingga mampu menggabungkan illat hukum dan Hikmah hukum. Hukum tidak cukup hanya dengan berpijak kepada illat, tapi juga menyiratkan hikmah hukum, yaitu mendatangkan kemanfaatan dan menolak kerusakan (جلب المنافع ودراء المفاسد).
Contoh:
Zakat tidak hanya berpijak kepada nishab sebagai illat hukum, tapi juga harus berpijak kepada hikmah hukum, yaitu menegakkan keadilan ekonomi umat.
Berpijak pada hal, maka model pembagian zakat harus bergeser dari pola konsumtif menjadi produktif. Supaya pola produktif berhasil, maka tim yang solid, amanah, dan profesional, menjadi keniscayaan.
Secara praktis, hal ini dibuktikan dengan membelikan becak kepada tukang becak sehingga tukang becak mengendarai becaknya sendiri yang asalnya mengendarai becak orang lain. Ekonomi secara bertahap mengalami kenaikan. Kiai Sahal lebih mengedepankan kail dari pada ikan.
Kedua, mengkaji madzhab lain. Fanatisme sangat dihindari dalam fiqh sosial. Kemaslahatan menjadi inti utama fiqh sosial. Dalam konteks ini, Kiai Sahal sering mengutip pemikiran Imam Syathibi dalam kemaslahatan. Kemaslahatan ini akan membuahkan kebahagiaan dunia dan akhirat (سعادة الدارين دنيا واخري).
Dalam hal ini, pemikiran Imam Abu Hanifah tentang zakat pertanian layak diapresiasi. Menurut Imam Abu Hanifah, segala hasil bumi yang bernilai ekonomis wajib dizakati. Jika ini diapresiasi, maka angka penghimpunan zakat akan naik secara signifikan dan potensi memberdayakan ekonomi umat sangat besar.
KH Afifuddin Muhajir Situbondo dalam kitab Fathul Mujib Al Qarib sangat mendukung pemikiran Imam Abu Hanifah ini karena lebih dekat dengan hikmah syariat yang ingin memberdayakan ekonomi masyarakat lemah.
Ketiga, mengapresiasi temuan saintek (sains dan teknologi).
Dalam kajian fiqh, penentuan satu Ramadan dan Syawal melibatkan ilmu astronomi dan astrologi. Dalam kaitan perempuan yang hamil dan menyusui dalam konteks puasa, pandangan medis sangat dibutuhkan. Multidimensi perspektif ini menjadikan keputusan hukum yang diambil menjadi matang dan mampu menjadi problem solving bagi persoalan yang dihadapi.
Kawin dini tidak hanya dilihat dari aspek normatif fiqh, tapi juga melihat pertimbangkan medis dalam konteks kematangan biologis, dan kematangan mental yang menentukan terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah wa Rahmah.
Khitan perempuan, selain berpijak kepada teks normatif fiqh, juga harus mempertimbangkan temuan medis.
Semua ini dalam rangka, keputusan hukum yang ditetapkan mampu membawa kemaslahatan dan mencegah kerusakan yang menjadi ukuran utama hukum yang membawa Rahmat bagi seluruh alam.
IPMAFA, 3 Juni 2018
(Penulis: Jamal Ma’mur Asmani, IPMAFA Pati)