Drama Bunuh Diri “Sang Genius” Dosen di Yogya

Benarkah Mati Karena Wabah Penyakit Jadi Syahid?

Sang genius dan bunuh diri

Menjelang peringatan HUT RI ke-74 kita dikejutkan oleh suatu mushibah, seorang dosen di Yogya, ditemukan meninggal gantung diri dengan tali tambang di teras rumahnya Yogyakarta, Kamis (15/8/2019). Kita ikut empati dan berduka atas mushibah yang menimpanya. Semoga Tuhan memberikan balasan yang terbaik bagi Almarhum.

Berdasarkan info yang beredar, bahwa kurban adalah seorang yang genius, yang dibuktikan dengan selesai studi cukup 2,5 tahun untuk S3-nya. Teman dosen yang seangkatan dan pimpinannya mengakui akan kehebatannya dengan sebanyak 28 jurnal terindek scopus. Di samping pengakuan sejumlah mahasiswa atas kehebatan di bidang keahliannya.

Di samping kehebatan para individu yang memiliki kemampuan jenius, secara konseptual biasanya ada sisi lain tentang kelemahannya, di antaranya: mudah bosan terhadap kegiatan rutin, menolak bekerja dengan orang lain, mudah kecewa ketika menghadapi kegagalan, mudah bosan ketika diberi tugas yang bersifat rutin, memiliki sifat perfeksionis, sangat sensitif dan introvert dan suka memisahkan diri, tidak tolerant terhadap kesalahan dan enggan terhadap sesuatu yang baru. Kondisi-kondisi inilah yang membuat sang genius bisa berpotensi mengalami depressi.

Ada sejumlah riset Yang bisa membantu kita untuk memahami kejadian orang-orang hebat melakukan bunuh diri. Pertama, Carolyn Yewchuk & Shelly Jobagy (2010) menyatakan bahwa umumnya orang dewasa yang memiliki kemampuan intelektual cemerlang dapat diproteksi dari stress harian yang dapat mengarahkan teman sebayanya untuk melakukan bunuh diri. Namun beberapa peneliti telah menemukan bahwa keberbakatan yang disertasi dengan stress tertentu yang membuat orang dewasa rentan terhadap distres emosional, dapat mengarahkan perilaku bunuh diri.

Situasi ini memperkuat kasus keginiusan yang disertai dengan depressi dapat menggiring ke tindakan bunuh diri. Olivia Rudgard (2017) juga menambahkan bahwa ada kecenderungan individu yang melakukan bunuh diri 3 orang berjenis kelamin pria dari 4 kasus, sedangkan kasus bunuh diri terdapat jumlah tertinggi pada interval usia 46-59 tahun yang disusul urutan berikutnya pada interval 31-45 tahun.

Kita sangat menyadari bahwa tindakan bunuh diri bukanlah solusi, melainkan keputusan yang tidak berarti, walau kita bisa empati, betapa hidup ini penuh misteri. Suatu anugerah semestinya mendatangkan barakah, bukan menjadikan hidup susah. Mari kita renungkan firman Allah swt dalam QS. An Nisa: 29-30, yang artinya, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Kedua ayat tersebut diperkuat dengan Hadits Rasulullah saw, yang artinya “Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan di adzab dengan itu di hari kiamat” (HR. Bukhari). Kedua dalil naqli mengingatkan secara keras bahwa tindakan bunuh diri harus dihentikan dan dihindari, karena hanya Allah swt yang berhak mencabut nyawa. Sesulit apapun kita harus hadapi dengan sabar dan ikhlas.

Kita harus terus menyadari bahwa setiap individu belum bisa dikatakan beriman jika belum diberi ujian. Namun ujian seberat apapun tidak akan melebihi dari kemampuan dan kekuatan yang dimiliki. Karena itu kita sebagai insan yang diciptakan secara fitrah sempurna, kita gunakan dan manfaatkan kejernihan pikiran, stabilitas emosi dan kesucian hati dengan landasan iman yang teguh untuk menghadapi dan menyelesaikan persoalan dan penyakit yang seberat apapun dengan diiringi doa dan tawakkal kepada-Nya.

Penulis: Prof. Rochmat Wahab, Guru Besar UNY dan Ketua PWNU DIY 2011-2016

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *