Kiai Asyhari Marzuqi adalah pembaca yang luar biasa. Semangat pengembaraan keilmuan Islam sangat besar, sehingga semangatnya belajar di Timur Tengah tak pernah putus. Awalnya, rencana ke Madinah bersama Gus Bik (KH Atabik Ali), tetapi gagal. Karena itu, Asyhari muda akhirnya melanjutkan studinya di jurusan Tafsir Hadits Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga.
Keputusan belajar di IAIN ini atas saran Prof KH Anwar Musaddad, pernah menjadi Wakil Rais Aam PBNU, mendampingi KH Bisri Syansuri. Saat itu, Kiai Anwar mengatakan:
“Kalau kamu ingin pergi ke Timur Tengah, ya harus melewati jalur yang semestinya, masuklah IAIN.” Kiai Anwar Musaddad inilah yang kemudian mendirikan IAIN Sunan Gunung Jati, Bandung. Semasa di Yogya, Kiai Anwar Musaddad tinggal di daerah barat Malioboro. Setelah di Bandung, Kiai Anwar mendirikan pesantren di Garut Jawa Barat.
Ketika memasuki semster 7, Asyhari muda sudah dijadikan Prof Hasbi As-Siddiqi untuk menjadi asistennya mengajar Bahasa Arab, Nahwu, dan Sorof. Ketika mengajar, Asyhari muda bertemu Malik Madany (Katib Aam PBNU 2010-2015) dan almarhum Kiai Aly As’ad (penulis produktif, pengasuh pesantren di Plosokuning Sleman). Prof Hasbi bahkan meminta Asyhari muda untuk mengajukan permohonan sebagai dosen di IAIN, tetapi ditolak karena Asyhari muda merasa belum cukup ilmu.
Menuju Iraq
Tahun 1970, dengan semangat yang membara dan biaya dari kantong sendiri, Asyhari muda berangkat menuju Iraq untuk melanjutkan studi S2. Di Bagdad, Asyhari muda bertemu Gus Dur dan KH Irfan Zidny. Segala upaya dilakukan untuk mendapatkan beasiswa S2, tetapi Iraq ternyata baru tidak menyediakan beasiswa untuk jurusan Syariah.
Semangat belajar tidak pernah putus. Asyhari muda akhirnya bergabung dengan satu kelompok pengajian yang berdiri sejak muridnya Imam Abu Hanifah (sekitar tahun 400-an Hijriyah). Lembaga ini dipelihara dan dikelola dengan baik sekali. Di lembaga yang bernama “Kulliyatul Imam al-A’zhom” itulah yang akhirnya H. Asyhari Marzuqi terus memperdalam keilmuannya.
Saat itu, Asyhari muda mendapatkan beasiswa sebesar 15 dinar per bulan. Satu dinar saat itu sama dengan 3 US $. Itu cukup untuk biaya hidup dan sedikit beli buku. Ini diterima sampai tahun ke-5 di Bagdad. Di lembaga ini, Asyhari mendapatkan rangking ke-3 dan diberikan penghargaan Menteri Penerangan RI saat itu.
Setelah lima tahun belajar, Asyhari kemudian bekerja di Keduataan RI di Bagdad. Dubesnya bernama Malik Kuswari dari Jakarta. Tugasnya saat itu menerjemahkan surat kabar Arab ke dalam bahasa Indonesia. Sehari bisa menyelesaikan 3 sampai 4 surat kabar.
Karena mendapatkan gaji ini, Asyhari muda sangat bersemangat untuk beli buku. Sejak awal di Bagdad, buku memang menjadi targetnya tiap saat. Uang beasiswa selalu disisakan untuk beli buku. Apalagi mendapatkan gaji dari Kedutaan RI, hampir semua gaji digunakan untuk membeli beli. Kebutuhan hidup sehari-hari sangat sederhana, yang lebih diutamakan adalah membeli buku. Gajinya dihabiskan untuk membeli buku, karena cintanya Asyhari muda kepada ilmu pengetahuan.
“Seandainya pada saat itu gaji yang diperoleh disimpan dalam bentuk uang, mungkin sudah habis sejak dahulu.”
Demikian kenang beliau suatu saat dengan para santrinya di Pesantren Nurul Ummah Kota Gede. Inilah yang selalu menjadi inspirasi para santri dan kaum muda NU. Cinta ilmu pengetahuan selalu menjadi fokus utama para ulama NU, bukan pada harta dan jabatan. Kiai Asyhari menjadi contoh nyata kepada kita semua. (md)