Desain Baru Model Relasi Antara Muslim dan Kristen.
Oleh Muharis, M.Hum., dosen KPI STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta.
- Latar Belakang
Desain Baru Model Relasi Antara Muslim dan Kristen. Pada tanggal 13 Oktober 2006 Paus Benediktus XVI menyampaikan pidatonya dalam acara Kuliah Terbuka di Regensburg, Jerman,[1] namun pidatonya ini kemudian mengundang kecaman dari masyarakat Muslim dunia, rangkaian respon pidato tersebut juga terjadi pada bulan Oktober 2007, sekitar 138 cendekiawan Muslim dan intelektual terkemuka dari berbagai dunia Islam seperti: Mufti Besar Mesir, Suriah, Yordania, Oman, Bosnia, Rusia, dan Istanbul mengrim surat terbuka ditujukan kepada para pemimpin Kristen dunia dengan tema “A Common Word Between Us and You.”[2]
Respon yang dilakukan umat Islam saat itu cukup masif mengingat agama adalah hal yang cukup sensitif bila dijadikan alat legitimasi bagi konflik. Banyak faktor (multidimensi) yang dapat memicu terjadinya konflik semisal: klaim kebenaran (truth claim), dalam interaksi, saling curiga (prejudice), model berpikir kaku (formalisme), keinginan berbeda (interest), cuek/tidak mau tahu (ignorance),[3] menjadi beberapa faktor yang idealnya bisa dipilah dalam menangani konflik. Terlebih lagi jika agama menjadi sebuah identitas kolektif yang membedakan satu kelompok dengan kelompok yang lain.[4] Ketika perbedaan agama dan klaim kebenaran agama masing-masing dibawa ke ranah publik, maka sejak saat itulah perbedaan agama menjadi persoalan.[5]
Inisiatif judul “A Common Word Between Us and You” ini untuk mengedepankan kepentingan mengembangkan perdamaian yang bermakna bagi komunitas Muslim dan Kristen yang mewakili lebih dari setengah dari populasi dunia yang mungkin sepakat tentang cinta kepada Tuhan dan cinta terhadap sesama (love of God and love of neighbor) sebagai kepercayaan umum. Inisiatif judul “A Common Word Between Us and You” sendiri berasal dari ayat Al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk mengeluarkan seruan berikut kepada orang-orang Kristen (dan kepada orang-orang Yahudi “Orang-orang dari Kitab Suci,” seperti yang dikenal dalam Al-Qur’an):[6]
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS. Ali Imran [3] ayat 64).[7]
Inisiatif ini merupakan respon surat terbuka ketika tepat satu tahun sebelumnya yang ditujukan kepada Paus Benediktus XVI yang dirancang untuk menunjukkan kesalahan faktual secara politis dalam pidatonya yang kontroversial di Regensburg tahun 2006. Pidato Paus banyak dinilai dari sudut pandang yang berbeda, ada yang mengatakan serangan terhadap Islam sebagai agama yang menyetujui kekerasan, versus seruan untuk mengendalikan semua intoleransi agama.[8]
Tanggapan terhadap “a common word” telah mendalam, menemukan resonansi di tingkat pemuka cabang-cabang Kristen, Protestan dan Ortodoks. Hal ini sekarang merupakan model pertukaran teologis yang paling penting antara Kristen dan Islam di dunia yang menyediakan kerangka kerja untuk mengatasi masalah mendesak antara dua komunitas dunia. Inisiatif asli dan respon mendalam tumbuh sebagian dari rasa di tingkat tertinggi komunitas keagamaan bahwa ada sesuatu yang salah yang harus ditangani guna merubah pandangan yang keliru selama ini.
Desain Baru Model Relasi. Terkait dengan hal tersebut kajian ini mengambil tema: “A Common Word” Model Relasi Antara Muslim Dan Kristen” adapun sumber rujukan primer kajian ini adalah karya Waleed El Ansary dan David K. Linnan (ed.), yang berjudul Muslim and Christian Understanding: Theory and Application of “A Common Word” (New York: Palgrave Macmillan, 2010). Kajian ini dilakukan dalam rangka melakukan eksplorasi dan analisa tentang model relasi Muslim dan Kristen guna membangun pemahaman dan hubungan yang harmonis antar agama.
- Gambaran Dunia Islam
Desain Baru Model Relasi. Waleed El Ansary dan David K. Linnan, dalam menggambarkan dunia Islam dalm buku: “Muslim and Christian Understanding: Theory and Application of “A Common Word” menganalisa kembali pemahaman tentang problem definitif mengenai apa dan siapa dunia Islam, sebagaimana pernyataanya berikut ini:
“… Many Westerners equate Islam and Islamic civilization with the Arab zone of the Islamic world, since this was the birthplace of Islam and was for centuries the only part of the Islamic world that the West knew. But only 20% of Muslims today are Arab…”[9]
Pernyataan di atas disampaikan paling tidak karena masyarakat Barat masih cenderung salah paham dan menyamakan antara peradaban Islam dengan dunia Arab, padahal dunia Arab kata Waleed hanya sekitar 20 % saat ini dari keseluruhan populasi masyarakat Islam di dunia. Waleed el-Ansary membagi enam zona dunia Islam sebagai berikut:[10]
- Pertama, zona Arab. Zona ini hanyalah bagian kecil dari representasi kebudayaan dan peradaban dunia Islam. Sekalipun bahasa Arab itu adalah bahasa al-Qur‘an, namun lanjut Waleed el-Ansary, 80% populasi dunia Islam tidak mempergunakan bahasa Arab sebagai bahasa keseharian. Populasi masyarakat Arab diperkirakan 250 juta.
- Kedua, zona kebudayaan Islam Persia yang terdiri dari Iran, Afghanistan dan Tajikistan. Zona Persia ini merupakan representasi sebagian masyarakat bangsa Arya atau Indo-Iran-Eropa yang juga terlibat dalam membangun peradaban Islam tanpa menjadi orang Arab. Bahasa kesehariannya adalah Bahasa Persia. Populasinya diperkirakan 110 Juta jiwa.
- Ketiga, zona kebudayaan Islam Afrika. Kebudayaan Islam ini diawali sekitar abad ketujuh dengan kekuasaan kerajaan Ghana pada abad 11 dan Kerajaan Mali pada abad 14. Swahili merupakan bahasa dominan sebagai bahasa Islam. Zona ini masih mempunyai subzona dengan bahasa yang berbeda. Subzona Sahara merupakan representasi kebudayaan Islam dengan populasi yang diperkirakan mencapai 200 juta jiwa.
- Keempat, zona Turki. Bahasa yang dipergunakan selain bahasa Türk juga adalah bahasa Altaic. Wilayah ini termasuk di dalamnya adalah Asia Tengah dan Turki dari semenanjung Balkan sampai semenanjung Siberia. Populasinya diperkirakan mencapai 170 juta jiwa.
- Kelima, zona India subkontinental. Zona ini populasinya hampir mencapai 500 juta jiwa, termasuk Pakistan dan Bangladesh, Nepal dan Srilangka. Zona ini secara etnik adalah sama, tapi kebudayaan dan bahasanya yang berbeda. Bahasa lokal yang dipergunakan seperti Bahasa Shindi, Gujarat, Punjabi, Bengali dan Urdu sebagai bahasa etnis Pakistan.
- Keenam, zona Melayu di Asia Tenggara termasuk di dalamnya adalah Malaysia, Indonesia, Brunei, minoritas Thailand dan Philipina, Kamboja dan Vietnam. Islam Melayu cenderung pada pola Islam Sufistik. Islam bercorak tasawuf memainkan peranan penting pada abad 15 yang diwarnai dengan kehidupan intelektual dan kehidupan spiritual. Populasinya diperkirakan mencapai 240 juta jiwa.
Di samping keenam zona tersebut, masih terdapat sebagian kecil masyarakat Islam di dataran benua Eropa dan Amerika yang mempunyai peran penting sebagai jembatan hubungan antara Islam dan Barat. Ilustrasi ini berasal dari pemetaan yang dilakukan World Bank. Semua zona tersebut termasuk dalam negara yang berkapita rendah dan menengah dalam terminologi World Bank. Maka dari itu, melalui pemetaan tersebut dunia Islam bukanlah Arab.[11]
- “A Common Word” dalam Teori dan Praktik
Buku Muslim and Christianity Understanding: Theory and Application of “A Common Word” karya Waleed El-Ansary dan David K. Linnan sebagai sebuah buku yang terbit dilatar belakangi oleh adanya respons umat Islam terhadap pidato Paus Benediktus XVI pada tanggal 12 September 2006.[12] Buku tersebut secara umum membahas hal-hal sebagai berikut:
“This book is the first to expand the “Common Word” inquiry addressing religious commonalities (starting with love of God) from a comparative exploration of theology, mysticism, and metaphysics, or “vertical” issues, while addressing “horizontal” issues of governance and legal development (emphasizing love of neighbor) in the practical context of international challenges such as development, the environment, and human rights. We refer to these two areas of focus as the theory and application of “A Common Word,” given an intention to look beyond conventional approaches to interfaith dialogue and ethics per se to better engage the practical level of shared international challenges”.[13]
Buku tersebut merupakan karya pertama yang meneliti titik temu (vertikal) membahas kesamaan agama diawali dengan cinta Tuhan (starting with love of God) dengan mengeksplorasi perbandingan masalah teologi, mistisisme, dan metafisika. Sedang titik temu (horizontal) membahas masalah tata kelola dan pengembangan hukum menekankan cinta pada tetangga (emphasizing love of neighbor) dalam konteks praktis tantangan internasional seperti pembangunan (development), lingkungan (environment), dan hak asasi manusia (human rights).
- “A Common Word” dari Ranah Teori
Desain Baru Model Relasi. Buku Waleed El-Ansary dan David K. Linnan terkait teori dimulai dengan pernyataan pengantar dan nasihat dari para pemimpin agama Muslim dan Kristen terkemuka, seperti:
Syekh Ali Goma‛a yang berbicara sebagai Mufti Besar Mesir dan salah satu tokoh agama Sunni terkemuka di dunia Islam. Dia membahas motivasi di balik “A Common Word” dalam konteks globalisasi, menguraikan inisiatif praktis yang harus diatasi oleh Muslim dan Kristen bersama-sama. Ini tidak melibatkan kompromi prinsip-prinsip agama, seperti yang dikhawatirkan sebagian orang, yang menggarisbawahi pentingnya bagian teori buku ini. Dia juga menekankan peran para pemimpin agama dalam menghadapi tantangan bersama, menggarisbawahi pentingnya elemen aplikasi.
Seyyed Hossein Nasr berbicara sebagai sarjana Islam terkemuka yang hidup di Barat, berasal dari latar belakang Shiah dan Persia. Dia membahas teori “A Common Word” dalam arti asli theoria, atau visi, dan bukan teori yang biasanya dipahami. Setelah itu, ia membahas langkah-langkah praktis untuk mewujudkan visi ini di tingkat dan melalui praksis. Dia menekankan bahwa keduanya diperlukan untuk menghadapi tantangan bersama dari pandangan dunia yang terdesentralisasi dan penerapannya. Ini memunculkan interkoneksi antara bagian teori dan aplikasi pada tingkat yang paling mendalam.[14]
Pendeta Kanan William O. Gregg berbicara sebagai Uskup Gereja Episkopal dan mantan ketua Komisi Tetap untuk Hubungan Ekumenis. Dia mulai dengan tiga gambar -satu dari sumber Muslim, satu dari sumber Kristen, dan satu lagi dari dunia alami- untuk mengilustrasikan peluang dan kemungkinan yang ditawarkan oleh “A Common Word.” Dengan demikian, ia menguraikan beberapa kitab suci utama, teologis. dan pertanyaan praktis yang menempati sebagian besar buku.[15]
Di sisi teori Jantung buku, membahas masalah-masalah vertikal teologi komparatif, mistisisme, dan metafisika. Ibrahim Kalin berbicara dalam kapasitas pribadinya sebagai sarjana pemikiran filosofis Islam, tetapi juga sebagai juru bicara resmi “A Common Word.” Dia berpendapat bahwa dialog teologis Kristen-Muslim tetap tidak dipahami dan dikaburkan, mengakibatkan kurangnya rasionalitas komunikatif sebagai dasar untuk interaksi teologis, yang ingin diisi oleh “Kata Umum”. Meskipun teologi komparatif yang lengkap mungkin tidak menjadi kebutuhan yang mendesak sebelum era modern, itu jelas diinginkan pada masa kita tegang. Dia kemudian meneliti bagaimana hambatan dalam menjamurnya dialog semacam itu dapat diatasi. Serta beberapa pendapat tokoh lain seperti: Daniel Madigan, Caner Dagli, John Chryssavgis, Joseph Lumbard, James Cutsinger, dan Maria Dakake.[16]
- “A Common Word” dari Ranah Praktik
Bab-bab di bagian awal buku ini secara kolektif menunjukkan di satu sisi bagaimana Muslim dan Kristen dapat terlibat dalam dialog antaragama tanpa mengorbankan integritas agama mereka, atau di sisi lain hanya mengurangi dialog ke tingkat diplomasi yang sopan. Faktanya, pendekatan akademis untuk dialog antaragama sering bersifat reduksionis, sementara dialog antara otoritas agama sering bersifat teologis. Buku ini mungkin adalah yang pertama untuk menyeimbangkan kedua elemen dalam konteks “A Common Word,” mengambil keuntungan dari keterbukaan lingkungan akademik (di mana mereka yang tidak mewakili konstituensi besar berisiko lebih sedikit ketika menjelajah pendekatan baru untuk perbedaan teologis), sementara secara bersamaan memperkuat integritas tradisi. Tetapi apakah kita terlibat hanya untuk saling memahami agama satu sama lain, atau juga dengan pandangan untuk bekerja sama dalam masalah kita bersama, mulai dengan lingkungan dan perubahan iklim? Dorongan yang mendasari “A Common Word” adalah bahwa ada masalah global yang membutuhkan perhatian penuh, sehingga dunia politik dan aksi akan mendapat untung melalui upaya terkoordinasi antara Muslim dan Kristen yang bekerja bersama.[17]
Waleed El-Ansary berbicara sebagai ekonom Islam dengan minat khusus pada lingkungan. Babnya merupakan jembatan dari fokus teologis dari babak pertama buku yang membahas teori “Kata Umum” ke babak kedua buku yang membahas topik aplikasi kita, yaitu lingkungan, hak asasi manusia, dan pengembangan. Dia mulai dengan pengamatan bahwa, di daerah-daerah tertentu di dunia Islam, itu adalah fakta yang diamati bahwa agama dalam bentuk hukum Tuhan nampak sebagai pelindung lingkungan yang lebih efektif daripada peraturan sekuler.[18]
Desain Baru Model Relasi. Harkristuti Harkrisnowo berbicara dalam kapasitas pribadinya sebagai sarjana hukum Indonesia dan pendukung hak asasi manusia yang sudah lama, tetapi dengan perspektif paralelnya sebagai direktur jenderal untuk hak asasi manusia di Kementerian Kehakiman Indonesia (di mana kapasitas dia memikul tanggung jawab resmi untuk hak asasi manusia di dunia yang paling negara Islam terpadat). Perspektifnya tentang hak asasi manusia melibatkan kepekaan seorang pengacara dalam mencari solusi hukum tertentu daripada seorang teolog yang mencari hasil moral umum. Dia melihat dalam diskusi Adams tentang pandangan Kantian versus Hegelian yang sejajar dengan diskusi satu dekade lalu yang menentang nilai-nilai Asia dengan nilai-nilai Barat, dan menantang gagasan bahwa hak asasi manusia hanyalah konsep Barat.[19]
Desain Baru Model Relasi. David Linnan berbicara dari perspektif seorang sarjana hukum yang terlibat dalam pekerjaan reformasi hukum dan ekonomi di ujung Asia Tenggara dari negara Islam berkembang sejak jauh sebelum 9/11. Ia meninjau kembali gagasan dan sejarah di balik perkembangan sekuler yang kembali ke tahun 1950-an, serta khususnya gagasan Katolik dan Protestan yang menyentuh pembangunan. Salah satu masalah yang bertahan lama adalah kurangnya konsensus umum tentang apa yang sebenarnya merupakan pembangunan, terkait dengan perselisihan pada tingkat teknis tentang bagaimana mencapai tujuan yang ambigu. Juga beberapa pendapat penulis lain seperti: Cinnamon Carlarne, Nicholas Adams, Joseph Isanga, Zamir Iqbal and Abbas Mirakhor.[20]
- Teori Level: Teologi, Filosofi, Metafisika, dan Mistisisme
Desain Baru Model Relasi. Ada beberapa level yang dapat dikaitkan dengan “A Common Word” dalam membangun relasi antara Muslim dan Kristen yaitu level Teologi, Metafisika dan Mistisisme yang diuraikan sebagai berikut:
1. Level Teologis dan Relasi Muslim-Kristen
Teologi[21] berperan sebagai disiplin yang menyediakan representasi dogmatik kebenaran, yang mampu menjawab segala keraguan dan penolakan, yang mampu melapangkan jalan bagi keimanan untuk bermanifestasi secara utuh dalam realitas keberagamaan. Ini artinya, bahwa teologi lebih merupakan fenomena historis yang dikonstruksi untuk merespons kegelisahan-kegelisahan keimanan sepanjang sejarah manusia. Formulasi tersebut pada gilirannya memunculkan dogma dogma ketika dibarengi konsensus pendukungnya. Kendati ―sabda Tuhan merupakan entitas dibalik (beyond) dunia form (bentuk) dan materi, teologi bersikukuh memaksa dan membuat beberapa penyesuaian, tentu dengan karakteristiknya yang penuh polemik dan apologetik. Ia semata bertujuan mempertahankan kebenaran, tetapi yang ia pertahankan justru manifestasi partikular dari kebenaran tersebut (bukan kebenaran dalam arti perennial) yang terbungkus fenomena pewahyuan. Ketika teologi menjadikan sabda Tuhan sebagai starting point, ia lantas menerjemahkannya kedalam bahasa dogmatik yang serba terbatas. Tak ayal, kerancuan terjadi, terutama saat merepresentasi kebenaran absolut, tetapi dengan baju kebenaran dogmatis.[22]
Teologi juga merupakan ilmu tentang pengenalan esensi Tuhan sebagai realitas moral. Dari pengertian ini teologi merupakan pemahaman ketuhanan yang dimiliki oleh agama-agama sebagai landasan berkeyakinan dalam menjalankan rutinitas keagamaan. Teologi dikenal oleh semua agama. Setiap agama memiliki penafsiran dan pemahaman ketuhanan yang berbeda. Secara pengertian, konsep teologisnya sama, setiap agama memiliki keyakinan ketuhanan, namun berbeda dalam hal praktik bahkan keyakinan. Sehingga banyak kita kenal dalam perkembangan agama-agama ada teologi Islam, teologi Kristen, teologi Hindu, dan sebagainya.
Perbedaan konsep keyakinan (teologi) masing-masing agama ini sifatnya sensitif. Hal yang paling dasar dalam keyakinan umat beragama adalah konsep teologis. Seringnya terjadi benturan internal maupun eksternal umat beragama kebanyakan dipicu oleh adanya saling singgung soal hal-hal teologis. Dalam konsep toleransi agama mestinya yang paling utama adalah mengedepankan kepentingan sosial-kemasyarakatan, bukan atas keyakinan. Karena jelas bahwa konsep teologisnya berbeda dan tidak akan pernah bisa bertemu. Dalam melahirkan kerukunan umat beragama harus mengedepankan hubungan dan kepentingan bersama dalam tujuan-tujuan sosial.
Agamakulah yang benar sedangkan kamu adalah sesat. Konsekuensi dari wacana seperti ini ialah bahwa komunitas lain harus menjadi bagian dari kekristenan jika mau menerima keselamatan. Di sinilah penekanan terhadap pentingnya identitas religius menjadi nampak. Penitikberatan terhadap identitas religius ini sekaligus memperlihatkan
bahwa praksis sosial merupakan hal yang sekunder. Memberi makan yang lapar dan minum pada yang haus, menerima orang asing, memberi pakaian bagi yang telanjang, mengunjungi yang sakit dan terpenjara (Mat. 25:31-46) merupakan praksis-praksis moral yang dikehendaki oleh Yesus. Praksis seperti ini tidak partikular hanya dalam kekristenan saja, melainkan bersifat universal dan ditemukan di agama-agama lain juga Penandasan kritis terhadap konsep teologi agama berdasar pada wacana klasik. Teologi klasik masih mengedepankan hubungan teosentris dan baik terhadap antroposentrisme. Konsep ketuhanan klasik masih mementingan hubungan ketuhanan dan kemanusiaan saja, tapi tidak membangun bagaimana hubungan manusia dengan kemanusiaan. Wacana kemanusiaan ini kemudian mestinya menjadi kajian baru dalam pengembangan ranah teologi agama dalam setiap agama-agama.[23]
- Level Mistisisme dan Relasi Muslim-Kristen
Mistisisme merupakan salah satu ruang pertemuan antar agama dengan melihat sisi esoteris atau substantif dari agama. Memahami ajaran agama dari sisi pandang esoterik bermakna melihat hakikat yang sesungguhnya ajaran agama, di luar batas sekat-sekat legal formal. Pandangan ini akan lebih jauh membuka tabir kebenaran yang dikandung oleh agama-agama samawi, yang diturunkan Tuhan sejak Adam AS sampai Muhammad SAW. Meskipun para nabi dan rasul telah bergantian datangnya namun kebenaran yang mereka bawa adalah satu, yang bersumber dari Allah, Tuhan yang mahaesa. Itulah inti sesungguhnya ajaran agama-agama.[24]
Caner Dagli telah melakukan penelitian terhadap peran mistisisme Islam dalam dialog antar agama. Hasilnya adalah bahwa dimensi batin tradisi Islam lebih mampu sebagai jalan untuk melakukan perjumpaan antara muslim-kristen. Bagi Dagli, orang-orang suci dan para hukama dari masing masing agama tidak hanya mampu berbagi perintah-perintah agung Tuhan untuk saling mencintai-Nya dan mengasihi antar sesama, tetapi juga realisasi praktis dari keberimanan itu. Mistisisme yang mampu memadukan antara teori dan sekaligus praksis dialog muslim-kristen. Pendekatan esoteris-mistis dapat mewakili untuk memperbaiki keretakan hubungan muslim dan Kristen akibat perbedaan teologis, budaya, dan sosial.[25]
Pendekatan mistisisme agama merupakan alternatif paling ideal dalam membangun dialog dan hubungan antar agama dan antar iman, hal ini didukung oleh keberadaan visi dan watak esoteris mistisisme atau sufisme yang lebih menekankan pada peran kalbu. Jalan sufi, jalan mistikal yang lahir dan berkembang dalam setiap agama adalah salah satu ajaran yang dapat dijadikan jembatan untuk dialog dan hubungan antar agama dan antar iman. Sebab hampir semua agama memiliki tradisi mistikal yang nyaris sama. Sejarah telah membuktikan bahwa mistisisme dalam agama-agama lebih toleran, terbuka, dan adaptif terhadap unsur-unsur luar.
3. Level Metafisika dan Relasi Muslim-Kristen
Metafisika[26] memilih untuk mentransedensikan antagonisme antara formulasi form dan dogma, ketika metafisika dipahami sebagai ilmu tentang realitas ultima dan bukan semata cabang filsafat. Ia pun meneliti kebenaran, tetapi bukan pada ekspresinya yang relatif. Ia mencari kebenaran yang telanjang (the naked), supraformal dan absolut, yang tersimpan dibalik ekspresi-ekspresi. Konsekuensinya, manakala Word of God diperlakukan secara teologis, perspektif agama tertentu berikut doktrinnya hanya akan dilawan dengan perspektif yang sama, ortodoksi lain pun dipastikan muncul ke permukaan. Metafisika dalam hal ini berusaha memahami logika internal masing-masing sistem doktrin dan mengevaluasi kapasitasnya untuk mengekspresikan kebenaran absolut. Pendekatan ini tidak berpretensi mampu menyelesaikan problem of understanding Islam dan Kristen, tetapi diharapkan mampu menghadirkan pemahaman lebih dalam mengenai harta karun keimanan yang terkubur dalam pusara masing-masing tradisi agama.
Ketika al-Qur‘an menegaskan eksistensinya sebagai perbaikan pelengkap-pembenar kitab-kitab sebelumnya (QS. [2]: 97, QS. [3]: 3, QS. [5]: 48, QS. [5]: 43, QS. [5]: 47, QS. [5]: 68, QS. [10]: 37, QS. [35]: 31, QS. [46]: 30), lantas apa maksudnya orang-orang Islam menyebutkan bahwa kitab-kitab pendahulu telah terdistorsi, sedangkan al-Qur‘an menjaganya, atau bahkan takkan ada artinya membanggakan bahwa agama-agama pendahulu tak lagi berfungsi bersamaan dengan awal diturunkannya al-Qur‘an.[27]
Desain Baru Model Relasi. Dengan meletakkan konsep metafisika sebagai landasan utama yang dalam hal ini adalah realitas ketuhanan, Pendekatan perennial ini dibangun fondasinya oleh Fritjoff Schoun dan S. H. Nasr. Nasr berpandangan bahwa sebelum terjun mengkaji suatu agama, yang perlu diperhatikan dalam pendekatan perennial ini adalah memposisikan ajaran-ajaran fundamental yang mendasari agama-agama. Pendekatan perennial ini menolak untuk mereduksi eksistensi agama hanya sebatas pada ruang dan waktu. Baginya, realitas absolut tidak hilang oleh dunia psikofisik dimana manusia bisa berfungsi menjadi realitas tertinggi yang melampaui semua ketentuan dan batasan. Dari-Nya kebaikan melimpah seperti cahaya yang memancar secara niscaya dari matahari.
Menurut Nasr, karena keuniversalan dan komprehensifnya metode pendekatan perennial, maka pada masa mendatang para sarjana di dunia akademik akan beralih kepada pendekatan ini. Nasr menunjuk bahwa para sarjana, terutama dari Amerika dan Inggris yang mempunyai keterbukaan akademik yang lebih besar dalam studi agama-agama di banding negara manapun, sudah mulai tertarik dan menggunakan perspektif ini. Untuk terjun dengan pendekatan ini, seorang peneliti tidak cukup hanya mengabdikan pikirannya, tapi juga harus seluruh hidupnya.
Pendekatan ini menuntut suatu hubungan total, tidak ada rasa sentimen, apologetis atau motif-motif negatif dan ideologis lainnya. Karena itu, menurut Nasr tanpa adanya sikap dan rasa seperti di atas, maka studi terhadap agama-agama selamanya tidak akan pernah bermakna. Bagi pendekatan perennial, studi agama-agama dan agama itu adalah akitivitas keagamaan pada dirinya sendiri. Semua studi terhadap agama-agama baru akan bernilai dan bermakna apabila pengkaji dan peneliti juga mempunyai makna keagamaan dengan melibatkan diri secara total terhadap agama itu sendiri.[28]
Desain Baru Model Relasi. Menurut Waleed el-Ansary dan James S. Cutsinger, para teolog dan filsuf agama memahami ‘Filsafat Perennial’ sebagai filsafat Keabadian dalam dua cara yang berbeda. Di antara penulis Kristen, sering mengaitkannya dengan warisan klasik Yunani kuno dan Roma untuk mengacu pada keyakinan tentang Tuhan, sifat manusia, kebajikan dan pengetahuan melalui Bapak gereja dan filsuf skolastik Abad Pertengahan pra-Kristen, terutama Plato, Aristoteles dan Stoik. Ungkapan ini juga telah digunakan dalam cara yang jauh lebih luas, namun untuk merujuk pada gagasan bahwa semua tradisi besar dunia agama adalah ekspresi dari sebuah kebenaran tunggal yang abadi. Mengenai kebenaran abadi, kaum perennialis menegaskan bahwa ada satu sumber ilahi dari semua kebijaksanaan, yang telah berulang kali ada dan berurat-akar sepanjang sejarah berkembang dalam bentuk berbeda dari kebijaksaan dan kebenaran abadi pada agama-agama utama, termasuk Kristen dan Islam, adalah bentuk-bentuk yang berbeda dari kebijaksanaan itu, jalan yang berbeda menuju puncak ilahi yang sama.[29]
Doktrin-doktrin agama-agama jelas berbeda dan sering tampak bertentangan satu sama lain. Sebagai contoh, Kekristenan mengajarkan bahwa Allah adalah Trinitas dan bahwa Putra Ilahi, Pribadi Kedua dari Trinitas, adalah menjelma sebagai Yesus Kristus, keyakinan yang tampaknya ditolak dalam al-Qur‘ân tersebut. Menurut filsafat Perennial, bagaimanapun, seperti ajaran-ajaran yang berbeda tampaknya dapat didamaikan dalam hati oleh mereka yang sensitif terhadap makna metafisik dan simbolik doktrin-doktrin dari teks-teks suci dan mengikuti lebih dalam makna spiritualnya sebagai upaya menuju kesatuan transenden agama-agama.[30]
- Tabel “A Common Word”
Desain Baru Model Relasi. Adapun gambaran terkait dengan kajian “a common word: model relasi antara Muslim dan Kristen” kurang lebih dapat digambarkan dalam tabel berikut:
Problem | · Konflik
· Pidato Paus Benediktus XVI |
|||
Akar | · Truth claim (dalam interaksi)
· Prejudice (saling curiga) · Formalisme (model berpikir kaku) · Interest (keinginan berbeda) · Ignorance (cuek/tidak mau tahu) |
|||
A Common Word / Kalimatun Sawaa | · Deeper Interaction (interaksi lebih dalam)
· Dialog |
|||
Teori Level | Theology:
(Pemahaman manusia terhadap agama) · Iman, manusiawi (low ascending) dari realitas alami proses transendensi · Dari atas (iluminasi) · Perlu saling belajar untuk meningkatkan kualitas iman |
|||
Filosofi:
· Esensi: manusia, semua manusia, insaniah, basariah · Aksidensi: manusia terkondisikan ada yang menjadi Muslim, dan yang lain menjadi Nasrani |
||||
Metafisika:
· Semua manusia sama, ada yang bertempat di Indonesia dan berbagai negara, warga dunia. |
||||
Mistisisme:
·
Semakin esoteris agama semakin sama
|
Desain Baru Model Relasi. Akar dari konflik secara umum diantaranya adalah prejudice dan ignorance, hal ini idealnya bisa diatasi dengan deeper interaction (interaksi lebih dalam). Muslim dan Krisrtian mempunyai beberapa kesamaan misalnya mereka punya iman, baik Muslim maupun Kristian sama punya komitmen pada agama masing-masing, mereka juga punya beberapa ritual yang sama. Mereka sama-sama punya etical character, Muslim dan Kristen sama-sama ingin membangun bangunan moral bagi masyarakat yang beradab, dibanyak prinsip keduanya mempunyai kemiripan dan kesamaan. Ajaran cinta Tuhan dan cinta sesama adalah a common word/kalimatun sawaa.
- Penutup
“A common word/kalimaatun sawaa” terutama antara Islam dan Kristen, menjadi amat penting dalam rangka menjembatani segala permasalahan antar kedua agama, Islam dan Kristen sebagai umat beragama yang dipeluk secara bersama-sama lebih dari setengah dari populasi dunia. Tanpa perdamaian dan keadilan antara kedua komunitas agama terbesar ini, tidak akan ada perdamaian yang berarti di dunia. Bahkan ada yang mengatakan masa depan dunia bergantung pada perdamaian antara Muslim dan Kristen. Dalam dua agama besar ini dasar untuk perdamaian dan pemahaman sudah ada, hal ini merupakan bagian dari prinsip-prinsip yang sangat mendasar terutama tentang kasih Tuhan yang Esa dan kasih kepada sesama. Prinsip-prinsip ini ditemukan dalam teks-teks suci Islam dan Kristen.
Pemikiran para tokoh yang terangkum dalam buku: Muslim and Christianity Understanding: Theory and Application of “A Common Word” tentang “sebuah titik temu” atau “sebuah persamaan” (a common word/kalimaatun sawaa). Melalui upaya ini diharapkan antara “saudara kandung” ini dapat kembali “akur” dalam tataran kemanusiaan, tanpa mengesampingkan keyakinan kedua agama masing-masing.
Desain Baru Model Relasi. Perbedaan-perbedaan yang selama ini muncul ke permukaan, diharapkan tenggelam seiring dengan persamaan-persamaan ajaran cinta kepada Tuhan dan cinta kepada sesama (love of God and love of neighbor) sebagai inti dari “a common word” yaitu “sebuah persamaan” atau “sebuah titik temu”. Selanjutnya sebagai implementasi dari wacana ini, harus dilakukan kerjasama secara intens antar kedua agama, terutama dalam mengatasi permasalahan sosial yang menjadi tanggung jawab bersama/global.
Desain Baru Model Relasi. Inti dari gagasan-gagasan sarjana muslim dan kristen kenamaan yang terangkum dalam buku ini adalah keharusan melakukan pendekatan baru dalam membangun relasi antar agama. yang meneliti titik temu (secara vertikal) membahas kesamaan agama diawali dengan cinta Tuhan (starting with love of God) dengan mengeksplorasi perbandingan masalah theology, mysticism, dan metaphysics. Sedang titik temu (secara horizontal) membahas masalah tata kelola dan pengembangan hukum menekankan cinta pada tetangga (emphasizing love of neighbor) dalam konteks praktis tantangan internasional seperti pembangunan (development), lingkungan (environment), dan hak asasi manusia (human rights). Untuk mewujudkan hal ini tentunya diperlukan deeper interaction (interaksi lebih dalam)
DAFTAR PUSTAKA
Dagli, Caner, Spirituality and Other Religions: Meditations upon Some Deeper Dimensions of “A Common Word Between Us and You” dalam, Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian Understanding: Theory and Application of “A Common Word”, New York: Palgrave Macmillan, 2010
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Bandung: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2007
El-Ansary, Waleed, dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian Understanding: Theory and Application of “A Common Word”, New York: Palgrave Macmillan, 2010
——-, A Perennialist Perspective on Religion and Conflict, Columbia: Department of Religious Studies, University of South Carolina, 2008
Ghazi, Prince bin Muhammad, “A Common Word Between Us and You: Theological Motivations and Expectations,” http://www.acommonword.com/en/Ghazi-Biser-Speech.pdf. Akses 02, Mei 2019
Ja‘far, Suhermanto, Filsafat Perennial dan Dialog antar Agama: Upaya Mencari Titik Temu Agama-agama, Surabaya: eLKAF, 1998
Lumbard, Joseph, “What of the Word is Common” dalam Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian Understanding: Theory and Application of “A Common Word”, New York: Palgrave Macmillan, 2010
Nasr, Seyyed Hossein, Filsafat Perennial: Perspektif Alternatif untuk Studi Agama, Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 3, 1992
Saifurrahman, “Muslim and Christian Understanding: Theory and Aplication of “A Common Word”, Jurnal Tasamuh Volume 13, No. 2, Juni 2016
Saragih, Erman S., Analisis Dan Makna Teologi Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam Konteks Pluralisme Agama Di Indonesia, Jurnal Teologi Cultivation, Vol. 2 No. 1, 2018
Schoun, Fritjoff, Mencari Titik Temu Agama-Agama, Jakarta: Rajawali Press, 1990
Wahidi, Ahmad, “Mistisisme Sebagai Jembatan Menuju Kerukunan Umat Beragama” Ulul Albab Volume 14, No.2 Tahun 2013
[1] Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian Understanding: Theory and Application of “A Common Word” (New York: Palgrave Macmillan, 2010), hlm. 1, 31
[2] Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian…, hlm. 1
[3] Fahrudin Faiz, disampaikan dalam perkuliahan “Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman”, Gedung Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 01 Mei 2019
[4] Saifurrahman, “Muslim and Christian Understanding: Theory and Aplication of “A Common Word”, Jurnal Tasamuh Volume 13, No. 2, Juni 2016, hlm. 170
[5] Desain Baru Model Relasi. Istilah “wilayah publik” yang penulis maksudkan disini adalah media/forum yang di dalamnya terdapat orang yang berbeda keyakinannya. Secara historis Rasulullah telah memberikan contoh bagaimana membangun hubungan baik dengan masyarakat atau kelompok lain yang berbeda keyakinannya.
[6] Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian…, hlm. 1
[7] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Bandung: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2007), hlm. 37
[8] Tentang motif dan harapan teologis dari “A Common Word,” lihat Prince Ghazi bin Muhammad, “A Common Word Between Us and You: Theological Motivations and Expectations,” http://www.acommonword.com/en/Ghazi-Biser-Speech.pdf. Akses 02, Mei 2019
[9] Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian…, hlm. 1
[10] Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian…, hlm. 2-5.
[11] Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian…, hlm. 2-5.
[12] Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian…, hlm. 1
[13] Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian…, hlm. 4
[14] Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian…, hlm. 4
[15] Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian…, hlm. 5
[16] Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian…, hlm. 4-7
[17] Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian…, hlm. 7
[18] Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian…, hlm. 8
[19] Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian…, hlm. 9
[20] Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian…, hlm. 10
[21] Pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kpd Allah dan agama, terutama berdasarkan pd kitab suci)
[22] Joseph Lumbard, “What of the Word is Common” dalam Waleed el-Ansary dan David K. Linnan, Muslim and Christian…, hlm. 93-106.
[23] Erman S. Saragih, Analisis Dan Makna Teologi Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam Konteks Pluralisme Agama Di Indonesia, Jurnal Teologi Cultivation, Vol. 2 No. 1, 2018, hlm. 9-10
[24] Ahmad Wahidi, “Mistisisme Sebagai Jembatan Menuju Kerukunan Umat Beragama” Ulul Albab Volume 14, No.2 Tahun 2013, hlm. 138
[25] Caner Dagli, Spirituality and Other Religions: Meditations upon Some Deeper Dimensions of “A Common Word Between Us and You” dalam, Waleed El Ansary dan David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian…, hlm. 70
[26] Ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang nonfisik atau tidak kelihatan.
[27] Suhermanto Ja‘far, Filsafat Perennial dan Dialog antar Agama: Upaya Mencari Titik Temu Agama-agama (Surabaya: eLKAF, 1998), hlm. 356
[28] Seyyed Hossein Nasr, Filsafat Perennial: Perspektif Alternatif untuk Studi Agama, Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 3, 1992, hlm. 88-93.
[29] Waleed El-Ansary dan James S. Cutsinger, A Perennialist Perspective on Religion and Conflict (Columbia: Department of Religious Studies, University of South Carolina, 2008), hlm. 1-10. Bandingkan dengan Suhermanto Ja‘far, Filsafat Perennial…, hlm. 19-40.
[30] Waleed el-Ansary dan James S. Cutsinger, A Perennialist Perspective…, ibid. Bandingkan dengan Fritjoff Schoun membahas upaya titik temu agama-agama melalui pendekatan skema yang dikenal dengan skema Schoun, dimana agama-agama bertemu secara esoteris pada langit ilahiah. Lihat Fritjoff Schoun dalam Mencari Titik Temu Agama-Agama (Jakarta: Rajawali Press, 1990) pada halaman pengantar.