Dakwah Kultural Wali Songo Memilih Jalur Pantura Jawa.
Walisongo adalah nama yang sudah sangat akrab dan menyatu dengan Islam di tanah Jawa. Sosok dan warisannya sangat dihormati kalangan Islam Tradisi. Bagi Islam Tradisi, Walisongo bukanlah legenda, tapi kenyataan. Meski begitu, sebagian kecil kalangan Islam yang tidak menyukai Islam Kultural yang dikembangkannya mengkritik: pertama, walisongo itu dianggap mitos dan tidak ada, khayalan saja; dan sebagian mengkritik pengertian wali, sebagai orang muslim yang menjalankan perintah al-Quran dan sunnah, dan wali tidak benar kalau diberi pengertian majlis, dan akhirnya juga berujung Walisongo itu hanya khayalan.
Bagi kalangan Islam Tradisi, kenyataan Walisongo argumentasinya: Makam para wali itu masih eksis hingga saat ini, turun temurun diziarahi oleh umat Islam, dari mulai Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan lain-lain; Keturunannya masih ada hingga hari ini, misalnya keturunan Sunan Drajat di Lamongan; Sunan Kalijaga di Kadilangu, Sunan Tembayat di bumi Mataram, dan lain-lain; Para kibar ulama dan auliya, di antaranya Gus Dur, sering bercerita, sering ditemui oleh Sunan Bonang, Pangeran Wadad, pengarang Suluk Wujil, dan pencipta beberapa jenis tembang macapat; dan ada bebeberapa karya tulis yang ditulis salah satu Walisongo, di antaranya Serat Kaki Walaka yang disimpan oleh keluarga Kadilangu dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; Kropak Ferrara yang dirampas-ditemukan para missionaris ke Italia, dan kemudian diterjemahkan ke Belanda dan bahasa Inggris oleh GJ Drewes, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, merupakan karya Maulana Malik Ibrahim; Suluk Wujil yang dikarang Sunan Bonang, dan masih banyak lagi.
Walisongo itu adalah majlis penyebar Islam yang eksis dalam beberapa generasi, dan generasi pertama adalah: Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419 M.), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Maghribi, Maulana Malik Israil, Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana Aliyudin, dan Syaikh Syubakir. Generasi-generasi berikutnya masih eksis hingga pendirian awal Mataram Islam, di mana Sunan Kalijaga dan Sunan Tembayat masih hidup, tetapi kemudian setelah itu tidak ada lagi. Generasi kedua di antaranya Ahmad Ali Rahmatullah yang mengajak Prabu Kertawijaya masuk Islam, sebagaimana tertulis dalam Kitab Walisono karya Sunan Giri, dengan langgam sinom, pupuh IV, bait 9-11, dan bait 12-14.
Dakwah Islam Kultural/Islam Tradisi
Dakwah Islam kultural dilakukan oleh para sufi, yang dalam sejarah umat Islam, meluas setelah terjadi kekisruhan dan kekacauan pemerintahan militer Dinasti Umayyah, yang tidak sedikit mempertontonkan kekerasan militer. Sementara fondasi sufi telah diletakkan Nabi Muhammad di lingkaran Ahlussuffah di pojok serambi Masjid Nabi. Untuk mengimbangi kekuatan militer dan penegasan perlunya akhlak dan moral menjadi acuan hidup muslim, oposisi kalangan sufi berbentuk: pendalaman batin dan pembersihan jiwa mengajak orang masuk Islam secara damai dan membersihkan hati. Tradisi ini sampai juga ke Jawa.
Di Jawa di dalam tradisi kitab-kitab kuno Jawa yang merujuk pada Jangka Jaya Baya, tradisi sufi demikian, muncul di antaranya juga ada nama Syaikh Syamsu Zain, dari negeri Ngerum, yang menjadi guru dari Prabu Aji Jayabaya (abad XI). Nama ini juga disebut bersamaan dengan Kitab Musarrar yang menjadi rujukan dari Jangka Jayabaya, dan masih dikutip-kutip hingga saat ini. Besar kemungkinan kitab ini adalah karangan beliau dan diajarkan di Kediri. Makamnya, oleh sebagian masyarakat disamakan dengan makam Maulana Syamsuddin al-Washil sebagai orang yang sama, di Setono Gedong, Kediri; tetapi juga ada yang menyebutkan di Tuban.
Tradisi Islam Kultural ini dilakukan para wali dengan menekankan pada kewaskitaan Islam dan kedalaman bathin Islam, dan nilai-nilai yang menjadi fondasi dalam membangun masyarakat. Melihat pada karya Kropak Ferrara, aspek elementer syariat tidak ditinggalkan, tetapi nilai-nilai bathin Islam, pembersihan jiwa dan pengekangan hawa nafsu menjadi fondasi penting. Mencermati tradisi Islam Kultural para wali ini, di antaranya bisa dijelaskan:
1. Islam datang dengan cara damai, hikmah, kebijaksanaan, dan menunjukkan keunggulan kewaskitaan Islam dan ilmu-ilmu bathin, baru kemudian diperkenalkan praktik elementer Islam.
2. Islam datang dengan cara membikin fondasi-fondasi pedaganagan, pertanian, penumbalan, ilmu kenegaraan, pengobatan, dan membentuk cara berpikir masyarakat dengan ide-ide dinamis, sampai merata di perkampungan tertentu, lalu merambat laun ke kampung lain, hingga ke pusat kerajaan.
3. Tradisi yang sudah ada dicoba direkonsiliasi untuk membentuk tradisi baru orang Jawa dalam pengaruh Islam, yang membentuk Islam Jawa, lalu muncul slametan, dan sejenisnya. Pada saat itu belum ada apa yang disebut abangan dan santri, semuanya adalah orang Islam yang telah bersyahadat. Istilah abangan santri baru diperkenalkan belakangan untuk memecah kekuatan di kalangan Islam.
4. Dibentuk dunia baru, istilah-istilah, dan kebudayaan baru yang dinamis. Di dalam karya-karya muncul serat dan suluk, menggantikan kidung yang berkembang sebelum Islam; di kalangan tembang dibuat tradisi macapat yang diciptakan para wali, sehingga muncul maskumambang, mijil, sinom, kinanthi, asmaradhana, gambuh, dandanggulo, dhurma, pangkur, megatruh, dan pucung. Eksistensi tembang macapat ini menggantikan tradisi kidung yang berkembang sebelumnya, sebagaimana disebutkan di dalam Serat Rama anggitanipun Rg. Josodipuro: “ Doek semana doeroeng ana Midjil, Pangkoer miwah Sinom, Dhandhanggoela Doerma Ian Kalanthe, Gambuh Megatroeh Maesa-langit, doeroeng ana lahir, kabeh tembang kidung” (Jasadipura, XXV: Mijil114); istilah-istilah kawulo diimbangi dengan istilah masyarakat, yang berarti gotong royong; diciptakan pula simbol-simbol pakaian Islam Jawa, dengan blangkon, sorjan, sebagai baju takwa; dan lain-lain. Baju sorjan dirancang dan dibuat Sunan Kalijaga. Berasal dari kata suraksa-janma, yang berarti menjadi manusia; dan berasal dari kata Arabsirajan, artinya pelita. Penggabungan ini menjadi Sorjan. Untuk baju sorjan yang umum bagi masyarakat dengan motif lurik, sebagai baju takwa pada masa itu, sebagai simbol kesederhanaan dan kemuliaan. Pada hari-hari ini, sorjan justru dipakai oleh para dhalang dan dilupakan kaum santri, meskipun Sunan Kalijaga pernah bermain dalang. Bentuk sorjan kedua, adalah motif batik, yang disebut ontrokusumo, khusus untuk para bangsawan.
Tantangan-Tantangan
Perkembangan Islam Tradisi yang kokoh, sampai munculnya kerajaan-kerajaan Islam, dan punahnya kerjaan-kerajaan itu, Islam Tradisi dan Islam Kultural menghadapi berbagai tantangan, di antaranya.
1. Munculnya kolonialisme Belanda, dari sudut pengetahuan mulai dicoba dinetralisr satunya Islam dan Jawa, dari karya-karya yang membiaskan dan memojokkan Islam, di antaranya dari Serat Dharmogandul, serat kalam wadi, dan ramalan kembalinya Jawa sebelum agama-agama.
2. Pemisahan Jawa dan Islam dilakukan dengan kajian-kajian intelektual, di antaranya dengan memisahkan santri dan abangan, dan diciptakanlah konsep-konsep untuk memperuncing perbedaan.
3. Ada karya-karya intelektual non nu muncul dengan gencar mencari kamuflase fondasi Jawa bagi orang Jawa, sehingga memudahkan untuk memisahkan Islam dari Jawa.
4. Munculnya dunia modern, yang dalam beberapa hal memusuhi aspek-aspek tradisi, dan gandrungnya generasi baru pada perkembangan modern dari Barat.
5. Munculnya Islam wahabi yang memusuhi tradisi dan menyerapah praktikpraktik umat Islam, yang telah difondasikan para wali dengan maksud, menghancurkan pertahanan kultural Islam Tradisi.
6. Munculnya generasi baru di kalangan Islam Tradisi yang kehilangan kesinambungan dengan tradisi dan ilmunya para wali, dan lebih berorientasi ke Timur Tengah. []
Penulis: Kiai Nur Khalik Ridwan, Yogyakarta.