MUNAS-KONBES, KOTA BANJAR
Usai pembukaan Munas dan Konbes NU oleh Presiden Joko Widodo, yang berlangsung di bawah hujan lebat, saya ikut arus pada tamu yang makan siang menjelang sore di rumah Kyai Mu’in Abdurrahim. Aku makan sambil menikmati pemandangan silaturahmi para tetamu yang kebetulan berjumpa dengan teman se-daerah, teman semasa di pesantren dulu, bertemu dengan guru dan kyainya, atau dengan sesama pengurus NU. Salah satu yang cukup familiar di ingatanku Kyai Ubaidillah Shadaqah, Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah.
Usai makan dan menemani Mas Ulil menyusul Kyai Idris di kamar tim perumus hasil Bahtsul Masail, saya pamit kembali ke arena. Berjalan-jalan menengok stand-stand bazar, dan pasar rakyat yang sangat banyak jumlahnya. Niatnya dua: mencari oleh-oleh buat anak-anak di rumah, dan iseng-iseng berhadiah kali aja ketemu teman-teman yang saya kenal.
Alhamdulillah, ketemu juga dengan teman-teman pengurus NU Serang Baru Bekasi dan beberapa teman alumni Al-Muayyad: Kyai Abuya Baihaqi, Kyai Willy Albert, dan lain-lain. Pagi ini juga saya bertemu mbak Nia, Kang Nasir, Mbah Kyai Mujib Atmaja, dan Kang Syuhud.
Setelah berkeliling membeli oleh-oleh untuk Qiqi, Luthfi, Uji’ & Hifni yang diwakili emaknya, dan —ssst buku buat saya– saya kembali ke penginapan. Saya ingin sekedar merebahkan badan, menghimpun tenaga untuk kegiatan malam harinya.
Malamnya, usai shalat Maghrib dan Isya’ jamak taqdim, saya langsung menuju ke arena Bazar Ilmiah. Di perjalanan saya singgah di warung Bakso sekedar mengganjal perut. Seporsi kecil bakso, dengan pentol besar, dihargai 15 ribu. Okelah, masih wajar di sebuah even keramaian seperti ini.
Malam itu ada beberapa acara. Di panggung utama, ada acara laporan pengurus oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jendral PBNU kepada peserta Munas dan Konbes, dilanjutkan tashawwur (semacam dialog) dengan pembicara utama Syaikh Taufiq Ramadhan Al-Buthi dari Syiria.
Sementara di panggung Bazar Ilmiah ada acara Bedah Buku Shalawat Badar karya R Imam dan Buku Menjadi Manusia Ruhani karya Ulil Abshar Abdalla.
Sekitar pukul 20.00 acara bedah buku pun dimulai. Hamzah Sahal yang mewakili penerbit Alif.id sekaligus marketing Buku menjadi moderatornya. Dua buku ini, kata Hamzah, menarik, karena selain isinya yang sangat dekat dunia audiens utama yakni kaum santri, juga karena penyajiannya yang relatif segar. Sebagai pembanding, diundang juga Faisal Kamandobat, sastrawan muda dari Cilacap.
Buku membedah Shalawat Badar ini berasal dari tesis sang penulis yang kuliah di Program Studi Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Ciputat. Untuk mendapatkan sumber data otentik, Imam bolak-balik mengunjungi keturunan penggubah Shalawat Badar, Kyai Ali Mansur Shiddiq yang tinggal di Banyuwangi dan wafat serta dimakamkan di Tuban.
Meski digubah oleh ulama Jawa, namun, menurut Imam, syair shalawat badar sudah sangat memenuhi kriteria sastra Arab yang bagus. Dan secara historis, shalawat yang digubah pada tahun 1962 ini juga berhasil menggelorakan semangat kaum santri untuk berjuang melawan provokasi dan intimidasi PKI sebelum peristiwa G30S. Tak kurang Habib Ali Al-Habsyi mendukung dan ikut mempopulerkan shalawat ini ke seluruh Nusantara.
Sementara itu, buku Menjadi Manusia Rohani juga tak kalah unik. Buku ini merupakan “Syarah” millenial atas traktat “kitab angker” bidang Tasawuf, yakni Al-Hikam karya Syaikh Ibnu Athaillah Assakandari. Penulisnya pun tak kalah menarik.
Saat muda dikenal sebagai pemikir dan penggerak komunitas kajian Islam yang mengusung kebebasan berpikir, yang di beberapa tempat mengusik para ulama sepuh yang terkejut serta kelompok konservatif dan puritan. Bahkan ada juga yang dengan kalap menganggap pemikirannya sesat. Hehehe
Lama tak menghiasi hiruk pikuk pemberitaan, beberapa tahun belakangan Mas Ulil, begitu kami biasa menyapanya, kembali hadir dengan mengejutkan. Secara intens, Mas Ulil mengkaji kitab babon tasawuf Ihya Ulumuddin, karya sang Hujjatul Islam, Imam Ghazali.
Pengajian ini tidak main-main. Didakan setiap malam Jum’at dan disiarkan live streaming dari rumahnya, atau dari berbagai daerah yang mengundangnya. Dan khusus di awal bulan, kajian ini diadakan di masjid An-Nahdlah gedung Kantor PBNU.
Kembali ke laptop… Buku Menjadi Manusia Ruhani ini adalah hasil bacaan Mas Ulil dan perenungan panjangnya selama menggeluti literatur dan kehidupan. Buku ini, bersamaan dengan Kajian Ihya Ulumuddin adalah bagian dari proses metamorfosis intelektualitas dan spiritualitasnya, dari maqam “Al-Insanu hayawanun nathiq” berangkat menuju maqam “Man ‘arafa nafsahu faqad arafa rabbahu”.
Metamorfosis ini sudah diprediksi banyak kyai sepuh. Kyai saya di Solo misalnya, duluuuuuuu sekali ketika saya bertanya tentang sosok Gus Ulil yang sedang jadi buah bibir. Beliau menjawab, “Gus Ulil itu ngalim.. bacaan kitabnya banyak.. saat ini masih muda, biasa aja kalau anak muda itu senang mengeksplorasi akalnya.. insya Allah suatu saat nanti pasti akan kembali dan menep jiwanya.”
Dan saya, setelah tiga hari tinggal serumah dengan beliau di acara Munas ini, menemukan kebenaran ucapan kyai Saya. Saya membersamai sosok yang tenang, shalatnya jenak, wiridnya juga jenak, deresan Qur’an-nya setiap usai wirid subuh juga jenak. Kalo ngobrol dengan lain Mas Ulil sangat ngemong, bahkan kepada orang awam kaya saya. Maka, buku pembacaan atas kitab Hikam ini pun menjadi sangat menarik karena lahir dari jiwa yang sedang berproses menjadi lebih menep.
Menulis buku ini juga menjadi upaya menjawab kegelisahannya melihat tren keberagamaan umat di masa kini yang menjadi sangat hitam putih, mudah menghakimi, dan kering.. jauh dari keteduhan islam yang diajarkan para ulama Nusantara yang kental dengan nuansa sufistik.
Usai bedah buku saya pulang sendiri ke penginapan sambil merenung tentang metamorfosis seorang Ulil Abshar Abdalla. Malam itu saya tidur lagi di teras, sampai dini hari, saat terpaksa saya harus pindah ke dalam karena nyamuk yang cukup banyak menyerbu saya.
Penulis: Ahmad Iftah Sidik, santri Habib Lutfi dan Khodim Pesantren Fatahilah Bekasi.