Cak Wiji Rangkul Preman dengan Komunitas Ngopi-Ngaji .
Sabtu 15 Agustus 2020, jam: 06.05 hp-ku berdering. Dari ujung pulau jawa bagian timur, Genteng Banyuwangi, salah satu sahabat karibku, Cak Salmanuddin mengabarkan berita duka… “Cak Wiji sampun kapundut.”
Sejak dikabarkan bahwa kondisi beliau kritis, tiga hari sebelum wafat, semua santri, sahabat dan muhibbin beliau tidak henti-hentinya merapalkan doa untuk kesembuhannya. Cak Santoso, adik Cak Wiji saya minta selalu update informasi tentang perkembangan kondisi beliau. Ternyata Allah lebih mencintai dan menyayanginya, jauh melebihi cinta dan sayang dari keluarga, famili dan sahabat-sahabatnya. Cak Wiji telah pergi untuk selama-lamanya. Kembali kepada Allah pemilik ruh para hamba-Nya. Inna lillahi wainna ilahi raji’un.
Di lingkungan santri, sahabat dan alumni MQ Tebuireng Jombang, Cak Wiji adalah pribadi yang santun, murah senyum, bicara kalau perlu, akrab dengan semua orang, dan visioner tentang pendidikan. Beliau di MQ sejak tahun 1983-2004. Sebuah rentang waktu yang cukup panjang bagi seorang santri di sebuah pesantren yang sulit ditandingi oleh santri lain. Selama di MQ, pengabdian beliau di berbagai bidang sangatlah beragam. Semua dijalaninya dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab yang tinggi. Karena yang ada dalam pikiran beliau, apapun tugas dan amanah dari Kyai atau lembaga yang dipikulkan kepadanya, dipahami sebagai ladang amal dan ibadah yang harus bisa terselenggara dengan sebaik-baiknya.
Melaksanakan amanah adalah bentuk khidmah seorang santri kepada kyai. Pengabdian seorang murid kepada sang guru.
Selama menjadi santri dan mengabdi di MQ, Cak Wiji pernah diamanahi tugas-tugas penting dan strategis. Tahun ’90-an beliau menjadi salah satu anggota Kabinet JTQ. Pengurus JTQ saat itu: Ketua: Imam Sofwan, Wakil ketua: H. Hamami. Skretaris: Edy Musoffa, Wakil skretaris: Abdul Kafi. Bendahara: Wiji Basuki, Wakil bendahara: Abdullah Rukyat.
Saat jadi anggota Pengurus JTQ, jika ada santri melakukan pelanggaran hukum maka harus disidang untuk menentukan punishment atau hukuman. Sebelum vonis diambil, dalam musyawarah “hakim”, Cak Wiji selalu berpesan, berikan kepada santri yang melanggar itu, hukuman sesuai dengan peraturan pondok, tapi tetap atas dasar cinta bukan kebencian.
Dalam kesempatan yang lain, beliau pernah menduduki berbagai Departemen di lingkungan MQ. Menjadi ketua Departemen Tahfidh, Departemen Pendidikan JTQ, ketua Kopontren MQ, Waka kurikulum MTs MQ, penanggung jawab bagi para santri yang mendapat subsidi pembiayaan dari lembaga MQ dan masih banyak tugas-tugas penting yang lain.
Bahkan, untuk memberi penghormatan dan apresiasi kepada para santri yang telah berhasil menghafal alquran, Cak Wiji punya ide brilian dan orisinal. Bagi wisudawan qiraah masyhurah dengan gelar S1 dan wisudawan Qiraah sab’ah dengan gelar S2. Tentu pemberian predikat seperti tu tidak lazim kalau mengacu kepada ukuran dunia akademik. Tapi dengan ide itu, beliau hanya ingin menumbuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri kepada para santri. Bahwa setelah melalui perjuangan yang lama dan panjang, prestasi seperti itu tidak kalah mulianya dengan mereka yang meraih gelar sarjana S1 dan S2 di bangku kuliah.
Karena itu, saat santri pulang ke masyarakat, boyong dari pondok, tidak boleh minder dengan komunitas lain. Ilmu dan bekal dari MQ, disertai doa restu para guru dan kyai, insyaallah sudah cukup sebagai modal untuk mengabdi, meneruskan risalah Nabi dan mengajarkan al qur’an kalam Allah yang Maha Suci. Tentu yang lebih edial, bila kesempatan ada, dapat melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.
Tahun 2004, Cak Wiji meninggalkan MQ. Seperti biasa, saat seorang senior sambutan pamitan kepada para santri dengan minta izin dan doa untuk boyong keluar dari MQ, mayoritas santri menangis, meneteskan air mata. Mereka sedih, karena seorang guru yang ramah dan santun akan pergi, tidak lagi membimbing dan mendampingi. Seorang senior yang hampir 20 tahun mengabdi, akan melanjutkan tugas kekhalifahan di tempat lain, demi mengemban risalah Nabi. Dari Tebuireng Jombang, beliau hijrah ke Genteng Banyuwangi. Tepatnya menjadi menantu dari Pengasuh Pondok Pesantren Bustanul Makmur Genteng Banyuwangi.
Cak Wiji hidup bahagia bersama istri tercinta; Ning Umi Nadirotul Laili. Beliau berdua dikarunia tigak anak yang hebat-hebat: 1. Zia (kelas 9 SMP MQ) 2. Ibad (baru daftar masuk MQ tahun ini) dan 3. Rihna (kelas 4 MI).
Sebagaimana keahlian yang didapatkan dari MQ Tebuireng, beliau merintis program Tahfidhul Quran di Pesantren Bustanul Makmur. Setelah program itu dibuka, santri yang berminat menghafal al-quran pun lumayan banyak. Sehingga tugas utama beliau setiap hari adalah menunggu setoran hafalan al-quran dari para santri. Kegiatan yang lain, beliau juga membantu mengajar di lembaga formal yang ada di lingkungan pesantren. Bahkan di tengah kesibukan beliau yang luar biasa, masih bisa meluangkan waktu, berbagi ilmu dengan para mahasiswa dan mahasiswi, sebagai dosen di Fakultas Syariah Institut Agama Islam Ibrahimy Genteng Banyuwangi.
Di samping medan pengabdian dan perjuangan yang sudah berjibun itu, Cak Wiji punya komunitas lain yang tidak kalah penting dan menarik, bahkan sangat inspiratif. Yaitu komunitas “Ngopi-Ngaji”. Kumpulan para preman dan mantan preman, orang kejawen dan kelompok masyarakat lain yang selama ini dipandang sebalah mata olah komunitas santri. Dengan media ngopi, Cak Wiji menebarkan energi cinta ke dalam dada mereka. Sentuhan kemanusian, bersikap santun dan akrab tanpa harus dibatasi oleh sekat derajat-pangkat, selalu beliau teladankan. Sikap tidak mudah menghakimi dan menvonis orang lain, senantiasa beliau tunjukkan. Beliau wujud-konkritkan, bahwa Islam itu Rahmatan lil’alamin, Islam itu agama cinta dan kasih sayang. Sejahat apapun seseorang, dia tetap punya potensi menjadi baik. Kasih-sayang Tuhan jauh lebih besar dibanding dosa yang pernah manusia lakukan.
Dakwah khas wali songo ini, nyaris dilakukan Cak Wiji setiap malam dari satu warung kopi ke warung kopi yang lain. (informasi dari sopir beliau). Dengan pola dakwah seperti inilah, mereka pelan-pelan mengenal Allah, mengerti ajaran agama, faham hukum halal-haram. Ujungnya, dengan penuh kesadaran diri, tanpa intimidasi, muncul rasa nikmatnya iman dalam hati. Mereka tinggalkan beragam maksiat yang selama ini menjerat, berubah menjadi hamba Allah yang syukur, ridha dan taat.
Selepas dari MQ, untuk menjaga ‘alaqah atau hubungan dengan kawan-kawan lama, Cak Wiji dengan beberapa teman menginisiasi lahirnya Exempel. Sebuah komunitas alumni MQ, yang dulu saat di pondok suka ngopi bersama. Setiap 10 sya’ban, komunitas ini berkumpul untuk reuni. Jumlah anggotanya tidak banyak, hanya 30 an orang, tapi sangat militan. Ada yang jadi kyai pengasuh pesantren, politisi, pengusaha, dosen, konsultan dll. Di mata Cak Wiji, komunitas ini penting.
Setiap kali bertemu dalam reuni, beliau berpandangan bahwa; kalau toh diantara kita ada yang mempunyai kelebihan ilmu, amal, harta, tahta, ketenaran dlsb, pahamilah itu hanya cipratan kasih sayang-Nya, titipan dari-Nya. Bukan milik kita. Dengan pandangan seperti inilah, kata beliau; exempel adalah thariqah, agar kita bisa istiqomah menjadi hamba-Nya, bukan hamba selain-Nya. Exempel adalah watak dan karakter agar kita tetap mampu berkomitmen sebagai khalifah-Nya, sesuai dengan maqam dan profesi kita.
Exempel adalah komunitas, agar kita tetap sebagai manusia biasa, yang sanggup bergaul deng siapa saja, tidak terjebak oleh topeng keangkuhan dan jubah kesombongan yang seringkali meruntuhkan martabat kita sebagai manusia.
Selamat jalan Cak Wiji, sang penebar kebaikan. Saya menjadi saksi, bahwa Jenengan orang baik, orang solih, seorang hafidh al-quran yang sepanjang hidupnya berjuang membumikan nilai-nilai al-quran di tengah-tengah kehidupan. Dan saya yakin, sekarang engkau berbahagia di sisi Allah, berkah al-Quran. Al-Fatihah.
Cak Wiji Rangkul Preman dengan Komunitas Ngopi-Ngaji.
Oleh: KH Edy Musoffa, sahabat Cak Wiji, sekarang jadi Wakil Katib Syuriah PWNU DIY.