Nyai Hj. Hindun Anisah menjadi salah satu pembicara dalam spesial panel Muktamar Pemikiran Santri Nasional yang berlangsung di Pondok Pesantren Krapyak, pada 10 Oktober 2018 lalu. Muktamar tersebut mengambil tema “Pesantren, Women Ulama, and Social Transformation: Challenges and Prospects”.
Dalam pemaparannya, Hj. Hindun bercerita, pernah suatu ketika terjadi perbincangan antara KH. Ali Maksum dengan putrinya yang bernama Nafisah. Nafisah bertanya, “Mengapa saya diberi nama Nafisah?”, Mbah Ali menjawab, “Aku ingin menjadikanmu ulama perempuan”.
Ternyata terminologi ulama perempuan sejak lama digunakan oleh KH Ali Maksum, jauh sebelum adanya Kongres Ulama Perempuan Indonesia, jauh sebelum orang memperdebatkan perihal ulama perempuan.
Mbah Ali Maksum konsisten dalam mendorong perempuan untuk menjadi ulama, dimulai dari keluarganya. Seperti, istri dari Mbah Ali Maksum, yaitu Ny. Hasyimah yang aktif memberikan pengajian kepada masyarakat, juga perlakuan Mbah Ali dalam mendidik putra putrinya tidak pernah membedakan pendidikan antar keduanya.
Nyai Hj. Hindun Anisah menceritakan pengalaman beliau sebagai seorang perempuan yang sejak kecil dibesarkan di lingkungan pesantren. Bahwa beliau pernah mondok di suatu pesantren yang mana pengkajian kitab antar santri putra dan santri putri dibedakan tingkat kesulitannya. Hal ini dikarenakan asumsi santri putri tidak sampai pemikirannya terhadap kitab yang dikaji oleh santri putra. Mbah Ali kurang berkanan, sebab Siti Aisyah, Ummu Salamah, dan Sayyidah Nafisah pun menjadi gurunya Imam Syafi’i.
Konsistensi lain yang ditunjukkan oleh Mbah Ali Maksum, yaitu sering diminta untuk memberi mauidhoh di acara walimah, dengan memberikan perspektif pandangan feminisme terhadap pengantin. Selain itu, lembaga-lembaga pendidikan yang dirintis oleh beliau tidak dibedakan kedudukannya antara santri putra dan santri putri.
Mbah Ali terinspirasi dari zaman nabi, bagaimana Nabi mengakui dengan memberikan ruang kepada para sahabat perempuan untuk menyampaikan hadits saat itu kepada sahabat laki-laki. Dimana pada masa sahabat telah tercatat 1200 perempuan perawi hadits. Bahkan sampai saat ini tidak ditemukan hadits maudhu’ atau hadits palsu yang berasal dari rawi perempuan.
Ibu Nyai Choiriyah, putri dari KH. Hasyim Asy’ari, juga pernah mendirikan sekolah perempuan di Makkah, dengan kondisi disana yang sangat patriarki. Beliau aktif sebagai anggota syuriah NU tahun 1950-an, dan aktif dalam bahtsul matsail. Namun sampai saat ini belum terlihat kembali perempuan sebagai anggota syuriah NU.
Sejarah peran perempuan yang seperti itu seharusnya diketahui oleh pesantren-pesantren. Karena ulama-ulama perempuan di Indonesia adalah lulusan pesantren. Sangat diharapkan pesantren-pesantren turut mengurus santri putri untuk dijadikan kader-kader ulama’ perempuan. (Yuli/An)