Bolehkah Mengikuti Sahabat Nabi?

mencintai sahabat nabi

Oleh : KH Munawir AF, Mustasyar PWNU DIY

Dalam istilah agama Islam, yang disebut sahabat ialah orang muslim yang hidup pada zaman Rasulullah Saw, baik pernah melihat atau belum, dalam waktu yang lama atau yang hanya sebentar.

Bacaan Lainnya

“Sahabat” adalah sebutan yang disampaikan Nabi untuk kaum muslimin yang hidup pada zamannya. Mereka itulah yang beruntung, karena mereka dapat melihat, menyaksikan, dan menerima langsung pelajaran Islam dari sumber yang utama dan pertama. Sudah tentu amalan mereka masih juga asli. Tentu belum ada pikiran untuk merekayasa, apalagi merubah dari ritual seperti yang dilakukan oleh Nabi Saw.

Berkenaan dengan kedekatan para sahabat dengan Nabi saw, ada pesan khusus dari Nabi Saw kepada kaum muslimin dan muslimat masa kini. Dengan mengikuti jejak para sahabat, akan sangat dimungkinkan amalannya sama dengan amalan Rasulullah Saw. Makanya Rasulullah Saw  menekankan agar kaum muslimin senantiasa mengikuti para sahabatnya.

Pertama, Rasulullah Saw bersabda :

قَالَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّـرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ؛ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرِى اخْتِـلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَـاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمُهْدَيِيْنَ. رَوَاهُ اَبُو دَاوُدَ وَالتُّرْمُذِى وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ

“Rasulullah Saw bersabda: Aku berpesan kepadamu (hai kaum muslimin) hendaknya selalu takwa kepada Allah Azza wa Jalla dan taat kepada-Nya, walaupun andaikan yang memerintah kepadamu seorang sahaya. Karena kehidupanmu nanti akan mengalami berbagai perbedaan (konflik). Maka tetaplah engkau pada sunnahku (jalan/jejak), dan jejak para Khulafa’ ar-Rasyidin (pengganti Nabi) yang mendapatkan hidayah.” Riwayat: Abu Dawud, Tirmidzi (Hadis Shahih Hasan). Hadis ke 22, dari al-Arba’in al-Nawawy.

Kedua, sebagaimana yang dimuat dalam kitab Muwaththa’:

وَرَوَي مَالِكٌ فَى الْمُوَطَّأ مُرْسَلاً  أَنَّهُ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا  مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَاب اللهِ وَسُـنَّة رَسُوْلِهِ – فَعَلَيْكُمْ أَيُّهَا اْلإِخْوَانُ بِصُحْبَةِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَلُزُوْمِ طَرِيْقَتِهِمْ فَإِنْ مُلْتُمْ عَنْهَا تَشَتَّتَ شَمْلُكُمْ وَمَلَمْتُمْ عَنْ طَرِيْقِ اللهِ تَعَالَى وَلاَ تَتَـبِّعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ أَىْ طَرِيْقِهِ أَىْ فَتَمَيَّلَ بِكُمْ وَتُفَرِّقُكُمْ البِدَعُ عَنْ طَرِيْقِ الْحَقِّ. وَالْمُرَادُ بِالسُّنَّةِ طَرِيْقُهُ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالصَّحَابَةِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ عَلَى طَرِيْقِهِمْ فِى الْعَقَائِدِ وَالأَعْمَالِ وَالأَقْوَالِ

Imam Malik meriwayatkan sebuah hadis (Mursal), Rasulullah Saw bersabda: “Aku meninggalkan kamu sekalian dua hal, yang bila engkau sekalian berpegangan dengannya takkan tersesat, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah (hadis)”. Oleh karenanya, wajib bagimu hai saudara-saudaraku mengikuti Ahlussunnah wal jamaah, serta tetap pada jalan mereka (kaum Ahlussunnah). Apabila kamu lalim, tentu golonganmu akan bercerai-berai. Demikian pula bila kamu lalim dari jalan Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman: “Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain dari tuntunan Nabi Saw), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” – yaitu jalan Allah. Karenanya kamu jadi lalim, dan bercerai-berai – menjalankan bid’ah jauh dari perkara yang hak (benar).

Yang dimaksud “Sunnah” ialah tuntunan Rasulullah Saw, dan sahabat-sahabat beliau, dan jalan orang-orang yang mengikuti Rasulullah Saw dan sahabat-sahabatnya, baik pada bidang ‘aqaid, amaliyah (perbuatan), ataupun qauliyah (ucapan). (al-Majalis al-Saniyyah syarh al-Arba’in al-Nawawy, 87-89).

Baca jugaMengagungkan Bulan Rajab dengan Berpuasa

Ketiga, ada hadis (Marfu’) :

وَفِى السُّنَنِ مَرْفُوْعاً –  الله الله فِى أَصْحَابِى لاَ تَتَّخِذُوهُمْ غَرْضاً مِنْ بَعْدِي فَمَن أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّى أُحِبُّهُمْ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِيْ أَبْغَضُهُمْ وَمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ آذَانِى فَقَدْ آذَى اللهَ  وَمَنْ آذَى اللهَ فَيُوْشَكُ أَنْ يَأْخُذَهُ. وَقَالَ سَيِّدِي عَبْدُ الْقَادِرِ الجَيْلاَنِى قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ فِىْ كِتَابِهِ الغِنِّيَّةِ  فَعَلَى الْمُؤْمِنِ اتِّبَاعُ السَّنَّةَ وَالْجَمَاعَةَ. فَالسُنَّةُ مَا سَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالْجَمَاعَةُ مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابُهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ

“Allah, Allah itu berpihak kepada sahabat-sahabatku. Hendaknya kamu sekalian jangan menjadikannya tujuan setelah aku tinggalkan. Siapa cinta mereka karena cinta aku, aku juga akan mencintai mereka. Siapa yang yang benci mereka karena benci kepadaku, aku juga akan menbenci mereka. Siapa yang menyakiti mereka, sama halnya menyakiti aku. Siapa yang menyakiti aku, sama halnya menyakiti Allah. Siapa yang menyakiti Allah, maka akan diusulkan untuk dicabut nyawanya.”

Syech Abdul Qadir al-Jilany (qaddasallahu sirrahu) di dalam kitab al-Ghun-yah menyampaikan: “seorang mukmin harus mengikuti faham Ahlussunnah wal jamaah. Assunnah itu artinya mengikuti tuntunan Rasulullah Saw, dan jamaah itu artinya mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan sahabat-sahabat Rasulullah Saw (radhiyallahu anhum) semuanya. (al-Majalis al-Saniyyah syarh al-Arba’in al-Nawawy, 87-89).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *