Bersama Syekh Prof Ibrahim Mesir: Tugas Utama Guru Mengajarkan Metode Berpikir yang Benar (04-habis)

Bagi Prof. Al-Hudhud, telaah terhadap teks-teks suci (Al-Qur’an dan hadits) adalah proses telaah rasional yang didukung oleh intuisi dan tadzawwuq (merasakan) terhadap bahasa Arab dengan kuat, bukan hanya tahu perbedaan makna antar kosa-kata semata. Telaah tersebut juga harus berlandaskan basis metodologis ilmu-ilmu instrumental Islam.

“Dibalik setiap paparan saya ada nalar yang menuntun, ada bahasa yang menjadi materi, dan ada metodologi keilmuan. Saya hanya ingin memberikan contoh-contoh terapan, agar para mahasiswa asing (non-Arab) yang sudah mempunyai bekal ilmu instrumental yang cukup bisa mengaktualisasikan ilmu-ilmunya sehingga bisa mengeksplorasi Al-Qur’an dan hadits sesuai dengan tuntutan zamannya.”

Beliau tampak ingin menegaskan lagi bahwa ilmu-ilmu itu seharusnya tetap hidup; jangan salahkan pedang yang tajam kalau prajurit yang tak mahir bersilang tak mampu mengalahkan musuh.

Bagi Prof. Hudhud, tugas seorang guru bukan hanya menyuapkan materi keilmuan dan kaidah-kaidah pemikiran. Tugas utama seorang guru adalah mengajarkan metode berpikir yang benar, menuntun santrinya untuk mengolah bahan dan data sedemikian rupa agar bisa melakukannya sendiri di kemudian hari.

Dan obrolan kami semakin asyik ketika kami berpindah ke ruang makan Dhalem Kiai Azaim Ibrahimi (hafidhahulLaah), menikmati makan malam ikramudh dhuyuuf luar biasa yang beliau haturkan kepada sang Guru Mulia.

Saya pun menggunakan kesempatan yang penuh barakah ini untuk kembali menghaturkan pertanyaan: “Guru, bagaimana agar bisa menjadi seperti anda? Ini pertanyaan yang terdetik di benak banyak orang saat menghadiri diskusi tadi yang sedemikian memukau! Bahkan ada Kiai yang ingin ke Mesir agar bisa mengaji lagi kepada anda!”

Dengan senyum kebapakan beliau pun merendah: “Saya ini hanya satu orang dari seribu ulama yang ada di Al-Azhar; banyak yang lebih baik dan lebih mampu dari saya, yang seperti saya lebih banyak lagi. Tetapi yang saya pelajari di Al-Azhar bisa dirumuskan dengan sederhana: kuasai ilmu-ilmu klasik dengan baik, kemudian teruslah berlatih untuk menggunakannya dengan banyak membaca dan berinteraksi dengan realitas nyata”.

Kalaulah ilmu-ilmu klasik bisa didapatkan dari kutub madrasiyah (literatur dan diktat pengajaran dalam setiap cabang ilmu), dan itu banyak berisi rumusan-rumusan final keilmuan yang berhasil dicapai oleh para ulama Islam melalui proses yang berlangsung selama ratusan tahun; maka beliau pun menyarankan agar kita mengeksplorasi lebih jauh bagaimana rumusan-rumusan itu bisa dihasilkan.

Masalahnya orang sekarang adalah terlalu kaku bersikutat dengan materi pemikiran, narasi dan wacana yang diusung; tetapi sangat sedikit yang mempunyai kesadaran yang memadai terhadap proses berat yang telah ditempuh oleh para ulama kita hingga sampai kepada rumusan dan narasi tersebut. Pemikiran pun berubah menjadi diktum-diktum dogmatis yang kaku; mati tak bisa tumbuh dan tak mampu berkembang!

“Caranya adalah membaca juga karya-karya para ulama pada abad-abad awal; karya-karya ini bukan hanya memberikan materi pemikiran, melainkan juga banyak menyingkapkan kepada kita bagaimana pemikiran tersebut dirumuskan”.

“Saya beruntung karena punya guru-guru di Al-Azhar yang mengajarkan cara berpikir, bukan sekedar menumpukkan pemikiran di otak santrinya. Di antaranya yang paling berpengaruh kepada saya adalah Gurunda Prof. Muhammad Abu Musa, beliau lebih sepuh dari gurumu Prof. Abdul Fadheil Al-Qushy,” ujar beliau sambil tersenyum.

Beliau pun merekomendasikan agar membaca karya-karya para ulama Andalus (semenanjung Iberia, yang sekarang dikenal sebagai negara Spanyol). “Rasakanlah bahwa karya-karya mereka mempunyai tingkat kejernihan yang luar-biasa. Maka bacalah karya-karya Ibnu Rusyd dan selain Ibnu Rusyd!”, kata beliau sambil tersenyum simpul, sampai mengulanginya dua-tiga kali. Beliau juga meminta agar banyak menelaah Tafsir Syaikh Mutawally Asy-Sya’rawi dan karya-karya Syaikh Muhammad Shadiq Al-`Urjuun.

“Syaikh Shadiq Al-‘Urjuun adalah guru dari guru-guru kami di Fakultas Ushuluddin, Syaikhana!,” ucapku sambil tersenyum bangga.

“Ya, betul … beliau adalah mantan Dekan Fakultas Ushuluddin, tetapi beliau adalah alumni Fakultas Bahasa Arab. Begitu juga Syaikh Asy-Sya’rawi adalah alumni Fak. Bahasa Arab. Demikian juga guru dari guru-gurumu, Syaikh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamied, adalah alumni fakultas Bahasa Arab yang mengajar di Fakultas Ushuluddin. Beliau adalah samudera ilmu yang menguasai ilmu-ilmu bahasa dan ilmu-ilmu rasional sekaligus. Bahkan gurumu Prof. Mahmud Hamdy Zaqzuq adalah alumni fakultas kami juga. Karena dulu jurusan filsafat Islam ada di Fakultas kami,” tanggap beliau sambil tersenyum penuh kebapakan.

Waktu pun semakin sempit, panitia pun sudah berseliweran pertanda waktu Kuliah Umum di hadapan ribuan santri P2S2 sudah datang menjelang. Yang Mulia KHR Azaim Ibrahimi pun tampak sudah siap. Beliau pun menyeduh teh panas Lipton yang baru disuguhkan. Melihat masih ada kesempatan di detik-detik terakhir, saya pun tidak ingin menyia-nyiakannya.

“Guru, bagaimana pandangan anda tentang perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama besar Al-Azhar saat ini tentang berbagai masalah krusial. Kami para santri kadang bingung melihatnya. Kalau ditelisik, sejatinya sudah ada akar historisnya sejak Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Yusuf ad- Dijwi di awal abad ke-20. Mohon petunjuknya, Guru ….”

“Ya Syaikh Muhammad Aoun, mereka adalah ulama besar yang mempunyai ijtihadnya masing-masing. Semuanya menyuarakan apa yang menurut mereka benar. Syaikh Yusuf Ad-Dijwi adalah seorang ulama besar yang legendaris, beliau adalah keajaiban pada masanya. Kebetulan beliau dilahirkan di sebuah desa yang hanya berjarak 1,5 kilometer saja dari rumah saya. Saya bisa katakan, meskipun berbeda pendapat dengan sangat keras melawan Syaikh Muhammad Abduh, tetapi hubungan pribadi beliau berdua sangat baik. Berbeda pendapat, berbeda ijtihad, tetapi tidak ada perpecahan silaturrahmi. Saling menghormati. Saya mempunyai sebuah cerita dari riwayat yang layak dipercaya: apakah kamu tahu bahwa Syaikh Soleh al-Jakfari muda pernah berguru langsung kepada Syaikh Muhammad Abduh (pada penghujung akhir hidupnya)? Tidak ada yang pernah membayangkan seorang sufi besar, waliyullah, pernah menjadi muridnya tokoh rasionalisme kontemporer seperti Syaikh Muhammad Abduh!”

“Nah, pada saat itu Syaikh Muhammad Abduh mempunyai sebuah pemikiran/wacana yang kontroversial. Beliau menyatakan bahwa bacaan Al-Qur’an dan al-Fatehah tidak bakal sampai kepada orang yang mati. Tetapi Syaikh Soleh tetap takzim kepada gurunya tersebut. Dan setelah Syaikh Muhammad Abduh meninggal dunia, Syaikh Soleh bermimpi bertemu beliau, dan bertanya tentang masalah kontroversial tersebut: Apakah di alam Barzakh Syaikh Muhammad Abduh mendapatkan kiriman bacaan tersebut sampai kepada beliau atau tidak? Syaikh Muhammad Abduh menjawab: “Ya Sholeh, bacaan Al-Qur’an itu sampai kepada saya, sedangkan Al-Fatehah lebih sampai lagi!”

Dan tampaknya memang obrolan ini harus diakhiri sebegitu KHR Azaim Ibrahimi kembali mendekat, membuat Gurunda Prof. Ibrahim Hudhud bercanda: “Tampaknya teh Lipton sajian anda ini telah berhasil membuat kami terlena!” Hehehehe..

5 Juli 2019

Penulis: Muhammad Aunul Abied Shah, Mustasyar PCI NU Mesir dan murid langsung Grand Syekh Al-Azhar Ahmad Muhammad Ahmad Al-Thayyeb.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *