Oleh: Gus Beny Susanto, Pengasuh Ponpes Sunan Kalijaga Gesikan dan Ketua PW LPPNU DIY
Hoaks yang berisi adu domba, fitnah dan memicu kebencian, permusuhan kepada sesama tidaklah sekedar melanggar hukum tetapi juga melawan kodrat kemanusiaan dan akhlak mulia. Karena itu sungguh sangat disesalkan saat menjalani ibadah puasa Ramadhan, di tengah keprihatinan, duka akibat kerusuhan di Mako Brimob Depok, bom bunuh diri Surabaya, Sidoarjo dan Riau, masih ada orang, dan tokoh yang mengatakan itu sebagai rekayasa dan pengalihan isu yang sedang dihadapi bangsa dan negara. Jelaslah ini merupakan pendapat yang sesat dan menyesatkan (dhollun faadhollu), bahkan lebih berbahaya dari pada tindakan terorisme.
Puasa (asy-syiyam) secara gramatika adalah bermakna menahan diri (al-imsak). Secara hukum fiqh, puasa antara diberikan definisi sebagai menahan diri makan, minum dan berbagai hal yang membatalkan sejak terbitnya fajar sampai maghrib yang dilakukan dengan niat. Fiqh memang cenderung mengatur aspek-aspek teknis ritual, tetapi sesungguhnya tidak bisa lepas dari aspek spiritual, dimensi batin, esoteris dan tasawufnya berpuasa. Betapa agungnya syariat Islam yang tidak saja memuliakan Allah SWT sebagai al-khaliq tetapi juga menjaga, memuliakan manusia dan semesta.
Dalam banyak ungkapan riwayat Rasulullah Muhammad SAW mengingatkan: Barang siapa beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka berucaplah yang baik atau lebih baik diam, dari pada dusta, fitnah dan berbohong dengan bicara tanpa dilandasi fakta. Termasuk penanda semakin baik keislaman seseorang adalah meninggalkan apa saja, ungkapan yang tidak diperlukan. Keselamatan manusia antara lain bergantung pada bagaimana ia menjaga lisannya. Dalam pitutur Jawa disebutkan bahwa ajining diri saka lathi, kehormatan manusia terletak pada lisannya.
Dalam penggalan ayat 191 surat al-Baqarah, Allah SWT berfirman : Dan fitnah itu lebih keji, lebih dahsyat bahayanya dari pada pembunuhan. Kejahatan teroris dengan bom bunuh diri, membunuh dengan senjata bersifat teror dan sekaligus mematikan, kepada orang tertentu ataupun banyak dalam tempo relatif singkat. Sementara kejahatan hoaks yang dusta, fitnah, kebencian dan permusuhan bisa membunuh secara perlahan, permusuhan antar golongan, kelompok dan perang saudara seperti di Suriah. Karena itu dalam konteks ini, intelektual hoaks lebih berbahaya daripada teroris. Seorang pekerja yang difitnah, kemudian diberhentikan, tidak bisa lagi bekerja, kelaparan, sakit dan mati.
Dalam kontes puasa, sesungguhnya berkata fitnah, bohong, dusta, adu domba memang tidak membatalkan ibadah puasanya. Namun demikian puasa orang tersebut menjadi tidak bernilai, berpahala, dan tidak akan mendapatkan balasan kebaikan yang berlipat dari Allah SWT.
Fakta teroris dan terorisme yang secara fulgar dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia, akan mudah diatasi bila seluruh elemen bersatu padu. Sungguhpun terorisme merupakan kejahatan luar biasa, tidak ada yang tidak mungkin atas perkenan Tuhan Yang Maha Esa dan sinergi elemen bangsa dan negara. Kini berpulang kepada diri masing-masing, berpuasa tanpa makna, akankah terus menebar hoaks dan mensuburkan terorisme? Semoga ibadah puasa ini tidak saja benar secara fiqh tetapi juga diterima Alloh SWT, dengan berhenti dari fitnah, adu domba, menyebar kebencian dan permusuhan. Wallohu a’lam bishowab