Awalnya Ragukan Kealiman Mbah Moen, Akhirnya Jadi Takjub.
Awal-awal mesantren di Sarang senang sekali. Terlebih akan bertemu guru mulia Syaikh Maimoen Zubair, guru yang saya ingin sekali berguru kepadanya. Sebelum saya mondok di Sarang, kerap sekali Mbah Kung saya menceritakan sosok ‘alim yang tenar dengan julukan “Wali Enom-nya” (Wali Muda), penasaran dan berharap penuh berkesempatan menimba ilmu kepadanya.
Banyak sekali kejanggalan yang saya temui ketika ngaji kepada Mbah Yai Maimoen, termasuk kerapnya Mbah Yai dalam pengajiannya mengulang-ulang dalil yang sudah bolak-balik disampaikan kepada para santrinya.
Terus terang saya pernah berceletuk dalam hati: “Jare kyai ngalim kok dalilnya itu-itu saja, mbok ya dalil yang lain mbah yai.”
Maklum bawaan usia muda yang cenderung suka mengkritisi banyak hal dan akibat kedangkalan serta su’ul adab pribadi saya (semoga Mbah Yai memaafkan santri yang suul adab ini. amiin).
Terdorong rasa penasaran dan kegundahan, pernah suatu ketika saya benar-benar menghitung berapa lama Mbah Yai mengulang-ulang ayat di pertemuan pe-ngaji-annya. Setelah saya cermati betul, Mbah Yai waktu itu mengulang surat “Attakwir” selama lebih dari tiga bulan. Hampir setiap pertemuannya beliau intens membahas kandungan surat “Attakwir” tersebut.
Saya santri yang suul adab kembali berceletuk:
“Niki kolo wingi sampun diterangaken, Mbah,”gumam saya dalam hati.
Hal ini terus terngiang di telinga saya, bahkan saya rasa setengah menyerah memaknainya, sampai waktu yang cukup lama akhirnya terlupakan.
******
Setelah saya mukim di rumah, saya berkesempatan mengajar anak didik, setiap kali pertemuan saya sajikan seabrek dalil baik Qur’an atau Hadits. Saya getol sekali menjejali anak didik banyak dalil, keyakinan saya: “Anak didik semakin banyak di suplay dalil, semakin cepet ‘Alim.”
Tapi ternyata tidak demikian adanya. Mereka cenderung tidak bisa memahami dalil-dalil secara detail ( تفصيلي) tanpa adanya pengulangan-pengulangan.
Akhirnya saya mengubah strategi, saya ulang-ulangi dalil-dalil yang sudah pernah saya sampaikan, bahkan saya mencoba semakin memerinci kandungan dalil-dalil tersebut sampai berjalan lumayan lama.
Sampai di sini saya baru sadar. Saya baru bisa memahami kenapa kala itu Mbah Yai Maimoen terus mengulang-ulang ayat-ayat Al-Qur’an sampai hitungan yang tidak cukup sedikit. Lega setelah mendapati siriyah (rahasia) ini, seperti pecah telor.
Ini yang saya maksud dengan “imla” dari seorang guru kepada para santri (murid)nya. Sampai sekarang saya meyakini bahwa bagi para pengajar perlu menerapkan metode ini.
Karena sangat efektive dalam menancapkan pemahaman kepada para murid. Terbukti di Pondok Sarang saking kerapnya Mbah Yai Maimoen memakai metode ini. Sering Mbah Yai Maimoen membaca suatu ayat kemudian para santri disuruh meneruskan, dan ternyata banyak sekali santri-santri yang mampu meneruskannya, terlebih di Pondok Sarang metode seperti ini sudah berjalan sangat lama. Otomatis sudah banyak sekali ayat-ayat yang Mbah Yai Maimoen Imla-kan kepada para santri, tidak hanya satu dua ayat atau surat saja, melainkan sangat bervarian ayat-ayat yang sudah berhasil/bisa diteruskan oleh para santri.
Saya jadi teringat keterangan salah satu guru tarikh, yang menjelaskan bahwa kenapa kemudian Al-Quran tidak diturunkan langsung satu kitab (منجما), karena Allah sedang meng-Imla Al-Quran kepada Baginda Nabi ( صبغة), melalui banyak kejadian-kejadian yang terkait dengan ayat yang akan di-imla’-kan.
Yang perlu digarisbawahi bahwa sosok Nabi yang jelas-jelas fathonah (cerdas luar biasa) saja harus diimla (صبغة), apalagi kita yang kecerdasannya tidak masuk akal (wkwkk).
Ya, begitulah memang sunatulloh yang penuh dengan teka-teki, penuh sirril asror, yang tentunya kita harus meraba, meneliti benar-benar sehingga sedikit demi sedikit kita bisa memahaminya.
صِبْغَةَ اللَّهِ ۖ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً ۖ وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
Semoga Mbah Yai Maimoen dan para guru berkenan mengakui kita semua dengan segala kekurangan dan keterbatasan kita sebagai murid beliau-beliau.
Wal’afwu minkum. Semoga bermanfaat.
Demikian tentang kisah Awalnya Ragukan Kealiman Mbah Moen, Akhirnya Jadi Takjub.
Penulis: Manan Abdullah, santri Mbah Moen.
Keterangan foto: Kenangan terakhir bersama yai,sanadan kelas lll Aly,sanad hadits musalsal bi arru’yah wal mushofahah.