Atas Paham Apa Pun, Berpecah-Belah Bertentangan dengan Al Qur’an

Jangan Berpecah Belah
Penulis bersama Buya Syafi'i Ma'arif

Oleh Edi AH Iyubenu, Esais dan Wakil Ketua LTN PWNU DIY @edi_akhiles FB: Edi Mulyono

Buya Syafii Maarif, mantan ketua umum Muhammadiyah, memberikan penekanan yang mendalam pada ‘larangan berpecah-belah’ dalam pengajian Nuzulul Qur’an di Masjid An-Noer Tegalsari Banguntapan Jogja (31/5/2018) yang bertema “Al-Qur’an dan Kemashlahatan Umat di Zaman Now”. Materi pengajian yang dikemas dengan gaya kuliah umum tersebut, dan kebetulan saya diminta kawan-kawan takmir untuk menjadi pendampingnya, sangat berharga untuk saya sarikan di sini.

Bacaan Lainnya

Buya Syafii Maarif memulai dengan menukil surat Ali ‘Imran ayat 103: “Dan hendaklah berpegang-teguhlah kalian kepada tali Allah semua dan janganlah berpecah-belah….

Ayat ini, kata Buya Syafii Maarif, sangat terang sebenarnya untuk kita mengerti dan jadikan pegangan hidup. Apa yang dimaksud “hendaklah berpegang-teguhlah kalian kepada tali Allah semua” tidak lain adalah tentu saja berpegang pada al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah Saw. Begitulah semestinya cara hidup seorang mukmin yang menjadikan iman sebagai ‘jangkar rohaninya’.

Persoalan nyatanya di depan kita kemudian ialah bagaimana bentuk dan wujud ‘tali Allah’ itu; bagaimana bentuk dan wujud pemahaman kita kepada al-Qur’an yang teks dan hadits-hadits Rasulullah Saw yang juga teks, yang telah berjarak sangat jauh dengan masa kita?

Inilah yang kemudian melahirkan banyak mazhab, aliran, dan paham dalam tubuh Islam. Sejatinya, semua bentuk dan wujud pemahaman yang notabene adalah bangunan-bangunan tafsir kepada sumber-sumber utama Islam itu adalah keniscayaan logis semata alias wajar, alamiah, dan dinyatakan rahmat (ikhtilaful ummati rahmatun).

Artinya, di titik ini, berbeda itu masuk akal saja. Sehat saja, normal, dan karenanya mesti diterima dengan legawa. “Harus tetap bisa saling bersalamanlah,” kelakar Buya Syafii Maarif.

Kenyataannya, mayoritas umat Islam kesulitan betul untuk sekadar membedakan al-Qur’an sebagai teks-teks yang mutlak benar karena merupakan wahyu Allah kepada Rasulullah Saw dengan tafsir-tafsir yang membentuk mazhab-mazhab, aliran-aliran, dan pemahaman-pemahaman yang jelas tidak pantas dinyatakan benar mutlak pula. Pernyataan-pernyataan memutlakkan kebenaran tafsir-tafsir apa pun dapat diklaim sebagai penyejajaran kesucian al-Qur’an dengan keterbatasan nalar manusia. Dan itu tak bisa diterima akal sehat.

Ini perkara pokoknya.

Walhasil, karena gagal membedakan dua peta primer ini, jadilah tafsir-tafsir yang diikuti karena berguru pada seseorang dipersepsikan sebagai mutlak benar. Di sekitarnya, juga banyak umat yang berpikir dan berperilaku sama. Jadilah mereka saling berbenturan, berselisih, dan berpecah-belah.

Kondisi terakhir ini jelas malah bertentangan penuh dengan bagian berikutnya dari ayat tadi, “…dan janganlah berpecah-belah.”

Kata ‘dan’ dalam tersebut jelas harus turut serta dalam pelbagai ungkapan dan ekspresi kita dalam berpegang-teguh pada tali Allah (hukum Allah, syariatNya). Itu bermakna segala dampak penafsiran dan pemahaman terhadap sumber utama Islam yang berdampak jatuh pada permusuhan, pertentangan, perselisihan, dan perpecah-belahan, harus ditolak. Terlarang. Sebab jelas betul itu tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an sendiri.

Begitu batasan tegas yang mestinya senantiasa kita pegang dalam menjalankan pemahaman-pemahaman kita kepada al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw.

Saya kemudian memantik lebih dalam pada Buya Syafii Maarif dengan sebuah soal analitis: “Buya, iman bagi seorang muslim adalah jangkar batin yang mutlak. Kita semua sepakat. Tak ada perselisihan pendapat. Itu selaras dengan ayat hendaklah berpegang-teguhlah kalian kepada tali Allah semua tadi. Iman yang bersifat batiniah itu tentu saja memancar dalam bentuk pikiran, ucapan, dan perilaku. Niscaya. Wujudnya yang paling kentara ialah dorongan untuk menyampaikan kebaikan-kebaikan dan kebenaran-kebenaran yang kita pahami dan anut. Gampangnya kita sebut dakwah. Amar ma’ruf nahi munkar. Lalu, dengan kemajuan teknologi komunikasi hari ini, mulai jagat digital, sosial media, dan grup-grup Wasap, misal, ekspresi iman itu meruah ke saluran-saluran itu sedemikian limpah dan ruahnya. Jelas dalam beragam bentuk paham, pandangan, mazhab, aliran, dan gaya bahasanya pula. Sebagian besar menguarkan aroma-aroma perselisihan dan perpecah-belahan, yang jelas terlarang menurut ayat tadi, dan janganlah berpecah-belah. Menurut Buya, apa gerangan yang salah dengan situasi ini? Bekal apa yang semestinya kita jadikan pegangan agar ekspsresi iman, ekspresi dakwah, tersebut tidak sampai menjungkalkan kita pada perpecah-belahan?”

Buya Syafii Maarif tersenyum mendengar pantikan saya. Beliau lantas menjabarkan bahwa kata kuncinya (selain memahami peta al-Qur’an yang mutlak benar dengan tafsir-tafsirnya yang tak mutlak benar) ialah aqlun salim (akal sehat) dan qalbun salim (hati bersih).

Kalaupun seseorang telah memiliki bekal pengetahuan yang baik untuk memahami peta mendasar tadi, itu artinya ia memiliki akal yang sehat, tuturnya, tetapi jika hatinya kurang sehat dikarenakan, misal, dorongan syahwat politik dan kekuasaan dan hawa nafsu, niscaya bekal pengetahuan yang berbasis pada akal sehat itu akan tumbang dan berikutnya rawan betul menjatuhkannya pada ekspresi-eskpresi pertikaian.

Politik itu merupakan bagian nyata hidup kita yang telah merobek keharmonisan umat Islam sejak awal-awal sejarah Islam dulu. Belasan abad silam. Apalagi di hari ini, yang realitas sosial-politik-kemasyarakatannya semakin kompleks.

Maka fondasi besar yang harus kita koreksi dari ruahnya perpecah-belahan di antara umat Islam hari ini harus lebih menyasar pada kualitas hati. Hati yang bersih, qalbun salim, yang lillahi ta’ala. Soal kemampuan ilmu pengetahuan kita, kemajuan metodologi kita, dan khazanah literatur yang bisa kita rujuk, amatlah berlimpah. Akal sehat kita pun terinfeksi oleh hati yang kotor itu, akibat syahwat kekuasaan dan hawa nafsu itu, sehingga ungkapan dan perbuatan kita terjerembab pada menang-menangan, benar-benaran, saleh-salehan.

Ini semua adalah biang kerok bagi pelanggaran kita kepada ayat dan janganlah berpecah-belah tadi. Dan jelas itu bukan Islamnya al-Qur’an yang suci, itu bukan Islamnya Rasulullah Saw yang berakhlak karimah.

Sangat jelas, pungkas Buya Syafii Maarif, hal paling sederhana tetapi mendasar yang mesti selalu kita pegang dalam rangka membumikan al-Qur’an sebagai rahmatan lil ‘alamin di negeri ini adalah tegakkan aminu dan ‘amilus shalihat. Iman sebagai jangkar batin dan buahnya adalah semata amal-amal saleh, beraroma kebaikan, bernuansa kemaslahatan, bukan perpecahan-belahan dalam bentuk dan dengan dalih apa pun.

Pengajian berakhir pukul 22.30 dengan ungkapan syukur dan tepuk tangan bahagia dari semua jamaah. Terima kasih, Buya Syafii Maarif atas taushiyahnya yang sangat runtut, lengkap, detail, inspiratif, dan solutif.

Semoga bermanfaat.

 

Masjid An-Noer, Jogja, 31 Mei 2018

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *