Anomali Kebijakan Sekolah Berlabel Favorit: Berkaca pada Kasus 2018

ainul yaqin lakpesdam

KH Dr Ainul Yaqin, Ketua Lakpesdam PWNU DIY

Ini kejadian di tahun 2018, namun begitu, kasus ini masih sangat relevan untuk dijadikan bahan kajian karena pro-kontra penerapan sistem Zonasi masih berlangsung.

Agar tidak terjadi salah paham, penulis perlu mengutip secara penuh berita di website Kedaulatan Rakyat tanggal 30 Juni 2018 itu. Isi beritanya tentang aturan tambahan dari sekolah terkait sistem zonasi PPDB SMPN 5 Yogyakarta. Tulisan ini memakai kejadian tersebut sebagai bahan diskusi.

Penulis menemukan beberapa masalah yang menarik untuk didiskusikan sebagaimana berikut;

1) Kebijakan Sekolah Yang “Membatasi” Penerapan Sistem Zonasi

Sebagaimana yang saya jelaskan dalam tulisan berseri sebelumnya, ketika sistem zonasi yang bertujuan membangun pemerataan kualitas pendidikan dasar dan menengah itu diterapkan, maka akan muncul beberapa potensi penolakan. Salah satu kemungkinan potensi penolakan itu datang dari Kepala Sekolah dan guru di sekolah-sekolah yang berlabel “favorit”.

“Penolakan” itu dapat muncul dalam bentuk yang bermacam-macam. Ada yang menetapkan nilai KKM tinggi sehingga calon peserta didik dengan nilai rendah “ketakutan” untuk mendaftar. Ada pula yang berencana membuat sekolah berasrama sehingga sistem zonasi menjadi tidak berpengaruh lagi, dll.

Perlu dicatat, dalam tulisan ini, penulis tidak menyimpulkan bahwa Kepala Sekolah dan guru di SMPN 5 Yogyakarta menolak penerapan sistem zonasi. Penulis hanya memakai kebijakan di SMPN 5 itu sebagai bahan diskusi.

Sebagaimana yang diberitakan, SMPN 5 Yogyakarta membuat kebijakan tambahan dengan menetapkan standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 80 dan menerapkan sistem SKS dalam proses pembelajarannya.

Dalam hal ini, ketika sistem zonasi diterapkan, maka input nilai siswa menjadi bervariasi, ada yang tinggi dan ada yang rendah. Ketika sebuah sekolah menetapkan KKM yang tinggi, maka, itu akan memberatkan siswa yang mendaftar dalam sistem zonasi.

Dalam sistem zonasi, KKM di sebuah sekolah sebaiknya ditetapkan secara fleksibel dengan cara disesuaikan dengan variasi data nilai siswa yang masuk, sehingga dapat dipetakan sejauh mana kemampuan dan hambatan siswa yang ada. Barulah kemudian ditetapkan KKM. Di sinilah pentingnya sistem zonasi, di mana sistem zonasi itu akan menuntut sekolah untuk berasaha keras mengerahkan segala daya dan upaya serta krativitasnya untuk meningkatkan kemampuan siswa.

Aturan lain yang kurang sejalan dengan sistem zonasi adalah penerapan sistem SKS di tingkat SMP. Alsan awal pembuat kebijakan SKS ini untuk mewadahi siswa yang berpotensi belajar dengan cepat dan dapat menyelesaikan sekolahnya hanya dalam waktu 2 tahun (4 semester). Padahal, ketika sistem zonasi diterapkan, siswa dengan nilai tinggi tak lebih dari 5-10% di setiap sekolah.

Aturan sistem SKS yang diterapkan di SMPN 5 Yogyakarta ini memberi konsekuensi waktu tempuh (lama dan tidaknya) seorang siswa dapat lulus dari SMP tersebut. Ada program 4 semester (2 tahun) bagi siswa yang mampu mencapai KKM 80 dengan cepat. Sedangkan bagi siswa yang mencapai KKM 80 dengan waktu yang normal, maka masuk dalam program 6 semester (3 tahun). Untuk siswa yang yang lain, kalau belum mencapai KKM 80 dalam waktu normal 3 tahun, maka dia akan masuk di program 8 semester (4 tahun) dan 10 semester (5 tahun) dan seterusnya.

Dalam analisis penulis, aturan KKM 80 dan sistem SKS yang ditempuh dalam waktu 2, 3, 4 dan 5 tahun ini kurang tepat apabila diterapkan dalam sistem zonasi tingkat SMP. Kenapa? karena kebijakan ini menjadi sebuah anomali ketika tujuan utama sistem zonasi adalah untuk membangun pemerataan kualitas sekolah dan kesempatan siswa untuk belajar di sekolah terdekat, tapi kemudian dihadang oleh kebijakan sekolah yang membuat calon siswa dengan nilai biasa dan rendah takut mendaftar.

Anak dengan nilai rendah jelas akan ciut nyalinya untuk mendaftar ke sekolah yang sudah mencantumkan unformasi KKM 80. Atau, mereka ketakutan akan menyelesaikan waktu belajar di SMP selama 5 tahun. Dalam hal ini, orang tua murid jelas akan merasa kasihan kalau anaknya harus menyelesaikan pendidikan SMP selama 5 tahun. Akhirnya, anak yang nilainya rendah urung mendaftar di sekokah tersebut.

2) Tidak Perlu Mempertahankan Status “Istimewa”

Seperti yang saya tulis pada kajian sebelumnya, ketika sebuah sekolah menerapkan sistem zonasi, maka konsekuensi penting yang harus diterima pertama kali adalah sekolah tersebut wajib berlapang dada untuk kehilangan berbagai label “istimewa” seperti “Sekolah Berprestasi”, “sekolah favorit”, “sekolah rujukan”, “sekolah berkualitas” dll.

Kenapa harus rela kehilangan lebel-label “istimewa” itu, karena “labelling” itu hanya salah kaprah. Siswa sebagai input di “sekolah rujukan” adalah sekumpulan anak-anak dengan nilai tinggi. Jadi, tidak aneh kalau kemudian anak-anak itu lulus dengan nilai tinggi pula. Kalau seperti itu, pertanyaannya adalah yang akan dijadikan rujukan itu apanya?

Apakah kita menyuruh sekolah lain yang input nilai siswanya rendah atau biasa-biasa saja untuk merujuk ke sekolah “rujukan” itu? Di sinilah masalahnya, dari awal inputnya saja sudah beda, kenapa dijadikan “rujukan” dan apa yang harus dirujuk?

Sebuah sekolah layak dikatakan sebagai rujukan apabila input nilai siswa ketika masuk biasa-biasa atau bahkan rendah, namun kemudian sekolah tersebut mampu meluluskan siswanya dengan nilai baik (meningkat). Artinya, ada proses edukasi yang baik yang dibangun dan diterapkan di sekolah tersebut.

Terkait dengan hal ini, harus ada peran pemerintah khususnya kantor dikbud kabupaten/kota dan kanwil dikbud bahkan kementrian dikbud untuk merubah paradigma salah kaprah tentang sekolah “favorit”, “rujukan” dll itu.

Jangan sampai terjadi, karena sebuah sekolah ingin mempertahankan status “sekolah berprestasi”, “sekolah favorit” dan “Sekolah Rujukan” maka sekolah tersebut membuat aturan yang justru menghambat penerapan sistem zonasi.

Semoga saja, dalam PPDB tahun 2019 ini, kejadian seperti di tahun 2018 itu tidak terjadi lagi.

Sekian

“Zonasi Tak Turunkan Standar Kelulusan
Nilai Rendah Bisa Daftar SMPN 5, Ini Programnya”

“YOGYA, KRjogja- Setelah keluarnya Petunjuk Teknis (Juknis) Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Kota Yogyakarta 2018, SMP Negeri 5 Yogyakarta siap melaksanakan sistem zonasi berbasis Rukun Warga (RW). Kebijakan tersebut akan membuat calon siswa didik yang tinggalnya lebih dekat dengan sekolah memiliki peluang besar diterima, dengan tidak mempertimbangkan berapa besar nilai yang diperoleh.

Menurut Kepala SMP Negeri 5 Yogyakarta, Dr Suharno SPd, SPdT MPd, Jumat (29/6) dengan sistem zonasi, siswa yang masuk akan beragam kemampuannya, dari calon dengan nilai ujian yang tinggi, menengah maupun rendah.”Kita siap menerima siswa dengan nilai ujian tinggi sampai rendah,” ujar Suharno.

Namun demikian, sebagai SMP Rujukan dan menjadi contoh bagi pengembangan sekolah lainnya, SMP Negeri 5 tetap menjaga standar kelulusan pada setiap siswanya. Adapun standar atau Kriteria Ketuntatasan Minimal (KKM) adalah 80. Standar itu diterapkan, agar para siswa dengan potensinya berusaha dan sungguh-sungguh belajar untuk mencapai standar minimal tersebut. siswa yang berpotensi mampu mencapai KKM 80 lebih mudah, maka akan masuk dalam program 4 semester (2 tahun). Sedangkan bagi siswa mencapai KKM 80 dengan waktu yang normal, maka masuk dalam program 6 semester (3 tahun) dan seterusnya.

Dijelaskan, sudah setahun ini SMPN 5 Yogyakarta ditunjuk sebagai salah satu sekolah yang menerapkan Sistem Kredit Semester (SKS). Sistem ini memberikan kesempatan kepada siswa yang memiliki potensi lebih, untuk lebih cepat menyelesaikan sekolah.

Untuk angkatan tahun 2018/2019, SMPN 5 Yogyakarta bakal menerima kemampuan calon siswa yang lebih beragam kemampuan, maka program 8 semester (4 tahun) dan 10 semester (5 tahun) bisa terisi. Waktu mereka akan lebih lama memperoleh pendidikan di sekolah, agar mampu mencapai standar yang sudah diterapkan selama ini.

Siapa saja calon siswa yang masuk dalam program 4, 6, 8 dan 10 semester, dilihat dari hasil Ujian Akhir Sekolah Daerah (UASDA) Sekolah Dasar juga Tes Potensi Akademik (TPA) yang dilakukan SMPN 5 Yogyakarta serta tambahan test psikologi. (Jon)”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *