Oleh: KH. Hilmy Muhammad
Konsepsi Dasar Aswaja
Dasar kajian Aswaja (Ahlus- Sunnah wal-Jama’ah) adalah Hadis yang antara lain diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kitab sunan-nya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍ رَضي الله عَنْهُ قَال: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ، حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً، لَكَانَ فِي أُمَّتِيْ مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ. وَاِنَّ بَنِي إِسْرَائِلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةَ، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ، إِلَّا مِلَةً وَاحِدَةً. “وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ؟” قَالَ: “مَا أنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَبِي.”
Artinya: Riwayat sahabat ‘Abdullah ibn ‘Amr radiyallahu ‘anhu: Nabi Muhammad Saw bersabda: “Sungguh benar-benar akan menimpa umatku, sesuatu yang sama persis telah menimpa kalangan Yahudi Bani Israil, laksana sepasang sandal. Hingga pun di antara mereka yang berzina dengan ibunya sendiri secara terang-terangan, maka hal itu pun sungguh akan berlaku dalam umatku. Sesungguhnya Bani Israil akan terpecah menjadi 72 kelompok, dan umatku akan terpecah dalam 73 kelompok. Masing-masing mereka akan masuk neraka, kecuali satu kelompok saja. “Para sahabat bertanya: “Siapa kelompok itu wahai, Rasul?” Nabi Saw., menjawab: “Mereka yang mengikuti aku dan para sahabatku. (Muhammad ibn ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, dalam Kitab al-Iman, Bab Ma Ja’a fi Iftiraq Hadzhihi al-ummah, Hadis nomor 2641)
Jelas menurut Hadis tersebut, Nabi Muhammad Saw., sudah tahu umatnya akan terpecah ke dalam banyak kelompok. Bahkan ada antara kelompok orang muslim yang buruk kesesatannya, hingga menyerupai orang Yahudi. Nabi Saw., kemudian memberi panduan dan pedoman bagi kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah) dalam umatnya, yaitu , “مَا أنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَبِي” yang bermaksud: orang-orang yang senantiasa mengikuti dan mengamalkan apa saja yang telah dilakukan oleh beliau dan sahabatnya.
Ramalan Nabi terbukti tidak lama setelah beliau wafat. Perselisihan antara sahabat Ali dan sahabat Mu’awiyah ra., memunculkan kelompok-kelompok di kalangan kaum muslimin. Ada kelompok Syi’ah dan Khawarij: ada juga kelompok Mu’tazilah, Jabarah dan sebagainya. Di antara mereka, sebagian besarnya berdiam diri dan tidak ikut ke mana-mana. Merekalah yang kemudian dimaksudkan sebagai golongan majority (as-sawad al-a’zam) atau al-jama’ah.
Siapa yang dimaksud dengan golongan mayoritas atau al-jama’ah? Mereka adalah golongan tengah, yang menyatakan bahwa di samping sahabat Ali karamallahu wajhah, sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman radiyallahu anhu adalah juga al-Khulafa’ ar-Rasyidun, pemimpin mereka. Mereka menyatakan iman dengan ketentuan (qada’) dan ketetapan (qadar) Allah Swt., karena itu mereka menyatakan bahwa manusia boleh berbuat apa saja, sebatas usahanya, tetapi Allah Swt., yang menentukan segalanya. Mereka juga menyatakan bahwa Allah Swt., itu bersifat wujud, dahulu, kekal dan berbeda dengan semua makhluk ciptaan-Nya.
Kepercayaan atau keyakinan golongan mayoritas terhadap hal-hal semacam itu kemudian dirumuskan oleh Imam Hasan al-Ash’ari, antara lain dalam kitabnya Maqalatul-Islamiyyin. Imam al-Ash’ari juga menyebut keyakinan mereka ini dengan istilah ahlul jama’ah atau ahlus sunnah wal jama’ah atau ahlus sunnah wal istiqamah. Maka sejak saat itu, golongan mayoritas ini dikenal dengan lebih luas sebagai kalangan sunni, atau lengkapnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Kalangan ulama sesudah itu kemudian membuat pendasaran yang lebih kukuh bagi apa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Mereka menyatakan bahwa yang dimaksud dengan golongan mayoritas atau Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah: orang-orang yang akidahnya berpahaman sesuai dengan prinsip-prinsip yang dirumuskan oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. (Lihat keputusan Muktamar NU Ke-14 di Magelang (1351 H/1939 M) dalam K.H.A Aziz Masyhuri, Ahkam al-Fuqaha’ Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Alim Ulama Nadhlatul Ulama Kesatu (11926 sampai dengan Kedua Puluh Sembilan (1994), PP RMI, 1997, HLM 170).
Penyebaran Islam Nusantara
Islam di Nusantara antara lain disebarkan melalui pedagang Arab sekitar XI M. Kedatangan mereka disambut masyarakat setempat. Hal ini berbeda dengan apa yang berlaku terhadap kedatangan penjajah dari Eropa. Niat semua adalah sama, yaitu berniaga. Dan tentu di sebaliknya ada maksud-maksud penyebaran agama (gold, glory and gospel). Akan tetapi karena mereka melakukannya dengan cara memaksa, maka masyarakat tidak mau menerimanya. Akibatnya adalah kekerasan dan bahkan penjajahan terjadi di hampir seluruh bumi Nusantara.
Lalu apa yang menjadi rahasia keberhasilan para pedagang Arab yang dapat mengislamkan Nusantara? Semua ini adalah hasil penerapan sikap toleran, tidak kaku dan tidak merusak adat istiadat masyarakat setempat. Dakwah yang mereka lakukan sangat akomodatif, menghormati budaya dan kearifan lokal, dan tidak pernah melakukan pemaksaan. Meskipun mereka orang Arab atau keturunan Arab, tetapi mereka menyatakan bahwa semua orang adalah sama. Tidak ada kelebihan antara yang Arab dan yang bukan Arab, yang hitam dan yang putih. Mereka membawakan cara tersebut dari Pattani, Kelantan, Aceh, Jayakarta hingga Tuban. Walhasil, ajaran mereka diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat setempat. Mereka melakukannya di Nusantara, sebagaimana mereka juga berhasil menyebarkannya di India dan sebagian besar negara-negara di benua Afrika. Ini seperti pepatah Arab menyatakan.
دَارَهُمْ مَادُمْتَ فيِ دَارِهِم * وَأَرْضَهُمْ مَا دُمْتَ فيِ أَرْضِهِم
(Bersikaplah yang ramah selagi Anda berada di rumah orang dan relakanlah mereka selagi Anda berada di tanah mereka.)
Di Jawa, penyebaran Islam dilakukan oleh para dai yang kemudian dikenal sebagai Walisongo. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati. Antara upaya mereka yang menarik, Maulana Malik Ibrahim mengajarkan kaidah-kaidah pengobatan dan cara baru bercocok tanam. Sunan Kudus, panglima perang Kerajaan Demak, melarang kaum muslimin di Kudus memakan daging Lembu, sebagai bentuk penghormatan sekaligus menghindarkan ketersinggungan kaum Hindu di daerah tersebut. Sunan Bonang yang pandai mendalang, menciptakan gamelan dan membuat lagu-lagu tasawuf sebagai daya tarik masyarakat untuk memeluk Islam. Sunan Kalijaga, muridnya, merupakan seorang arsitek dan perancang lanskap tata kota, pencipta baju “takwa”, pembuat lagu-lagu dan lakonan bernuansa agama serta merintis beberapa perayaan seperti Grebeg Maulud dan Perayaan Sekaten. Hal ini memberi pengertian, mereka tidak semata-mata membawa agama, akan tetapi “membawanya beserta yang lainnya”.
Upaya-upaya Walisongo berdakwah dengan pendekatan baru, bertoleransi dan menghormati budaya tempatan serta menggunakan pendekatan tasawuf ini dengan demikian jelas mencerminkan ajaran ASWAJA. Dan dakwah yang mereka lakukan terbukti sukses. Puncak keberhasilan itu antara lain ditandai dengan berdirinya Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Wali Songo juga membuat pusat-pusat pengajian, seperti di Giri, dan Ampel Denta, yang nantinya diteruskan dan dilestarikan oleh para murid mereka, yang kemudian dikenal dengan pesantren. Para ulama pesantren inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama. (bersambung)