Akhir Sebuah Karya Ilmiah Seorang Aziz

Akhirnya, Abdul Aziz menyerah. Mau merevisi disertasinya yang kontroversial. Melegalkan hubungan seksual di luar nikah dengan konsep milk al-Yamin. Padahal, sebelumnya di media dia sangat yakin dengan temuannya. Bisa jadi solusi bagi banyak pelanggaran HAM. Akibat kriminalisasi pezina. Agak ironis. Peneliti dan karya ilmiah harus ‘mengalah’ oleh tekanan publik.

Tahun 1947 Mesir pernah heboh. Oleh disertasi M. Ahmad Khalfallah. Judulnya, “Al-Fann al-Qashashi fil Qur’an al-Karim”. Kisah-kisah Al-Quran hanyalah fiksi, bukan fakta. Begitu katanya. Sejagad Mesir heboh. Sempat dikafirkan. Ahmad Amin, pengujinya, menolak keras. “Disertasi ini luar biasa berbahaya”, katanya. Melalui sebuah tim di Universitas Kairo (dulu Univ. Fuad 1) disertasi ditolak. Khalfallah keukeuh. Pembimbingnya, Amin al-Khouli, membela. Tahun 1953 malah dicetak. Berkali-kali. Dapat sambutan hangat. Mesti banyak yang kritik. Khalfallah murid Thaha Husein, Musthafa Abd. Raziq, Ahmad Amin dan pemikir-pemikir Mesir hebat lainnya. Ga main2 …

Nasib Abdul Aziz tragis. Meski lulus dengan sangat memuaskan. Pembimbing dan kampusnya lepas tangan. Padahal, di situ sejak dulu dipromosikan pemikiran Syahrur. Sumber insipirasi Aziz. Kampus dua kali konferensi pers. Minta direvisi. Kok bisa? Baru sekarang. Kan sudah dibimbing selama 3 thn. Melewati ujian tertutup, dst. Kalau masih harus revisi, dengan menjungkirbalikkan kesimpulan, dari semula boleh, menjadi tidak boleh, kok bisa lulus? Oke lah, itu otoritas kampus, promotor dan penguji. Ga bisa diganggu gugat.

Aziz hanyalah satu dari beberapa mahasiswa di perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) yang berani gugat pemikiran Islam mainstream. Gak keren kalo biasa-biasa saja. Gak tabu gugat Al-Quran. Wong itu cuma teks saja. Sama dengan teks lainnya. Biasanya dikutip dari orientalis atau sarjana Muslim yang pemikirannya nyleneh di Timur Tengah. Di Arab sendiri gak laku. Likulli saaqith laaqith. Setiap yang runtuh mesti ada yang pungut. Setidaknya ada 15 buku yang kritik Syahrur. Aziz sudah baca itu blm? Kok, cuma mengamini pendapat Syahrur.

Disertasi nyleneh dengan argumen rapuh kok bisa lulus? Ada pandangan, kampus itu lembaga riset, bukan agama. Selama penuhi standar metodologi ilmiah, mau hasilnya kayak apa, bisa lulus. Kalo begitu, apa gunanya huruf ‘I’ pada UIN, IAIN dan STAIN? Masihkan bertahan dengan tesis ilmu bebas nilai?

Ala kulli haal, ini tantangan bagi pengelola PTKI. Gimana kampus bisa jadi lembaga riset, sekaligus berkontribusi perkokoh kehidupan beragama. Bukan malah bingungkan umat dan runtuhkan sendi agama. Hentikan teriakan moderasi beragama kalau masih biarkan terjebak pada dua kutub ekstrem, ifraath dan tafriith.

Penulis: Muchlis M Hanafi, PSQ Jakarta

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *