…Sesudah tidak menemukan kesimpulan tahun 1924, Kyai (Kholil) memanggil saya (KH. As’ad Syamsul Arifin). Ya saya ini. Saya tidak bercerita orang lain. Saya sendiri. Saya dipanggil : “As’ad, kesini kamu!” Asalnya saya ini mengaji di pagi hari, dimarahi oleh kyai, karena saya tidak bisa mengucapkan huruf Ra’. Saya ini pelat (cedal). Arrahman Arrahim… Kyai marah : “Bagaimana kamu membaca al-Quran kok seperti ini? Disengaja apa tidak?!”. “Tidak saya sengaja Kyai. Saya ini pelat.” Kyai kemudian keluar… (Kyai Kholil melakukan sesuatu)… Kemudian esok harinya pelat saya ini hilang. Ini salah satu kekeramatan Kyai yang diberikan kepada saya.
Kedua, saya dipanggil lagi: “Mana yang cadal itu? Sudah sembuh cadalnya?”. “Sudah Kyai”. “Kesini. Besok kamu pergi ke Hasyim Asyari Jombang. Tahu rumahnya?”. “Tahu”. “Kok tahu? Pernah mondok disana?”. “Tidak. Pernah sowan”.
“Tongkat ini antarkan, berikan pada Hasyim. Ini tongkat kasihkan”. “Ya, kyai”. “Kamu punya uang?”. “Tidak punya, Kyai”. “Ini”. Saya diberikan uang ringgit, uang perak yang bulat. Saya letakkan di kantong. Tidak saya pakai. Sampai sekarang masih ada. Tidak beranak, tapi berbuah (berkah). Beranaknya tidak ada. Kalau buahnya banyak. Saya simpan. Ini berkah. Ini buahnya.
Setelah keesokan harinya saya mau berangkat, saya dipanggil lagi: “Kesini kamu! Ada ongkosnya?”. “Ada, Kyai”. “Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan suka merokok?”. Saya dikasih lagi 1 ringgit bulat. Saya simpan lagi. Saya sudah punya 5 Rupiah. Uang ini tidak saya apa-apakan.Masih ada sampai sekarang. Kyai keluar: “Ini (tongkat) kasihkan ya… (Kyai Kholil membaca surat Thaha: 17-21)…
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾
“Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”. Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula“.
Karena saya ini namanya masih muda. Masih gagah. Sekarang saja sudah sudah keriput. Gagah pakai tongkat dilihat terus sama orang-orang. Kata orang Arab Ampel “Orang ini gila. Muda pegang tongkat”. Ada yang lain bilang: “Ini wali”. Wah macam-macam perkataan orang. Ada yang bilang gila. Ada yang bilang wali. Saya tidak mau tahu. Saya hanya disuruh kyai. Wali atau tidak, gila atau tidak terserah kamu. Saya terus berjalan. Saya terus diolok-olok, gila. Karena masih muda pakai tongkat. Jadi perkataan orang tidak bisa diikuti. Rusak semua. yang menghina terlalu parah. Yang memuji juga keterlaluan. Wali itu, kok tahu? Jadi ini ujian. Saya diuji oleh Kyai. Saya terus jalan.
Sampai di Tebuireng, (Kyai Hasyim bertanya): “Siapa ini?”. “Saya, Kyai”. “Anak mana?”. “Dari Madura, Kyai”. “Siapa namanya?”. “As’ad”. “Anaknya siapa?”. “Anaknya Maimunah dan Syamsul Arifin”. “Anaknya Maimunah kamu?”. “Ya, Kyai”. “Keponakanku kamu, Nak”. “Ada apa?”. “Begini Kyai, saya disuruh Kyai (Kholil) untuk mengantar tongkat”. “Tongkat apa?” “Ini, Kyai”. “Sebentar, sebentar…”
Ini orang yang sadar. Kyai ini pintar. Sadar, hadziq (cerdas). “Bagaimana ceritanya?” Tongkat ini tidak langsung diambil. Tapi ditanya dulu mengapa saya diberi tongkat. (bersambung)
(File rekaman pidato KH As’ad Syamsul Arifin ini diperoleh dari Gus Adib Mursyid, MAg. pada Jum’at 23 Maret 2012 di atas Kapal Lawit (Pelni). Dialihbahasakan oleh Ustadz Ma’ruf Khozin (Surabaya). Diedit ulang oleh Gus Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 18 Februari 2013)