Waspadai Gerakan Islam Anti NKRI

Waspadai Gerakan Islam Anti NKRI

Waspadai Gerakan Islam Anti NKRI

Diskursus tentang Islam Trans-nasional sudah lama dibahas dikalangan akademik bahkan Tim peneliti yang bergabung kedalam keluarga LibForall Foundation. Pembahasan ini, dilatarbelangi oleh sejumlah ormas Islam bercorak garis keras dan mengusung konsep Khilafah Islamiyah kedalam konteks negara.

Pandangan Islam Trans-Nasional bercorak ideologis-politis yang relatif massif di nusantara khususnya dikalangan kampus-kampus umum dan bertempat tinggal di Masjid untuk mempengaruhi mahasiswa dengan paham-paham dari luar maenstrim yang bertentangan dengan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara 1945.

Menurut pandangan Gus Dur, agama dan nasionalisme tidak boleh di bertentangkan karena Islam tidak menjelaskan secara rinci tentang sistem dan bentuk negara, menurut Gusdur sejak tahun 1919 tiga sepupu secara intensif mulai membicarakan hubungan antara Islam sebagai seperangkat ajaran agama dengan nasionalisme. Mereka adalah H.O.S. Tjokroaminoto, KH. Hasyim Asy’ari, dan KH. Wahab Chasbullah.

Didalam buku Ilusi Negara Islam dijelaskan bahwa, menantu Tjokroaminoto, Soekarno yang pada saat itu berusia 18 tahun terlibat aktif dalam pertemuan mingguan yang berlangsung bertahun-tahun tersebut. Kesadaran kebangsaan inilah yang diwarisi oleh generasi berikutnya, seperti KH. Abdul Wahid Hasyim (putra KH. Hasyim Asy’ari), KH. Abdul Kahar Muzakkir dari Yogyakarta (Tokoh Muhammadiyah), dan H. Ahmad Djoyo Sugito (Tokoh Ahmadiyah).

Pada Mukhtamar NU di Banjarmasin pada tahun 1935 sebelum Indonesia merdeka, bahwa NU memutuskan untuk tidak mendukung terbentuknya negara Islam melainkan mendorong umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya demi terbentuknya masyarakat yang Islami dan sekaligus membolehkan pendirian negara-bangsa.

Sepuluh tahun kemudian, tokoh-tokoh muslim dan pendiri bangsa di Indonesia terlibat aktif didalam proses kemerdekaan dan menerima konsep negara pancasila sebagai ideologi resmi negara yang telah disampaikan oleh Soekarno melalui proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dengan segenap hubungan fluktuatif yang terjadi, semua ini bukanlah sebuah proses yang tidak mudah dengan perjalanan sejarah dan historis harus kita sadari dan pahami. Beberapa periode sejarah Nusantara berlumur darah akibat konflik yang terjadi antara lain atas nama agama.

Para ulama seperti Abikusno Tjokrosujoso, KH. Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, KH. Abdul Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Teunku Mohammad Hassan, dan tokoh-tokoh penting pendiri bangsa lainnya sadar bahwa negara yang akan perjuangkan dan pertahankan bukanlah negara yang didasarkan pada dan untuk agama tertentu, melainkan negara bangsa yang mengakui dan melindungi segenap semua agama yang ada, beragam budaya dan tradisi lokal yang telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia, walaupun ada perdebatan sengit antara kelompok agama dan kelompok nasionalisme. Ada kelompok lain yang ingin mendirikan negara Islam melalui konstitusi (misalnya dalam Majelis Konstituante) dan lainnya melalui kekuatan senjata (seperti dalam kasus DI/TII).

Dengan demikian, para pendiri bangsa sadar bahwa didalam prinsip pancasila tidak bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya prinsip-prinsip dalam pancasila justru merefleksikan pesan-pesan utama semua agama, yang dikenal ajaran Islam sebagai maqoshid al-syariah, yaitu kemaslahatan umum. Bagi penulis, pancasila dan NKRI harga mati, tidak bisa tawar-menawar lagi karena para pendiri bangsa telah sepakat menjadi negara pancasila sebagai ideologi resmi negara.

Jika sebagian ormas Islam di Indonesia masih bernafsu untuk mendirikan negara Islam sejatinya melupakan fakta sejarah bahkan agama dijadikan tameng kepentingan politik yang telah menyusup kedalam partai politik tertentu. Gerakan-gerakan Islam Trans-Nasional mulai terbuka dihadapan masyarakat umum dengan simbol-simbol keagamaan dan tafsir justifikasi kedalam bentuk takfiri sehingga munculnya pemurtadan, pengkafiran, bid’ah dan slogan-slogan negatif terhadap mereka berbeda pandangan.

Salah satu ormas Islam Trans-Nasional yang mengusung konsep Khilafah Islamiyah adalah HTI yang terang-terangan bahwa negara Indonesia adalah kufur yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. HTI menolak ideologi pancasila sebagai dasar negara dan NKRI merupakan produk-produk diluar Islam harus diganti dengan ideologi Islam sebagai satu-satunya ideologi yang sakral dengan bendera tauhid.

Pada perkembangannya HTI di bubarkan dan dicabut status hukumnya dari hukum dan HAM. Sebagaimana dilansir oleh berita-berita media massa pada tanggal 14-2-2019 bahwa MA menolak kasasi HTI atau keputusan pembubaran organisasi kemasyarakatan tersebut oleh pemerintah.

Dengan demikian, HTI tetap di bubarkan sesuai Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan. Perkara kasasi HTI bernomor 27 K/TUN/2019 itu resmi diputus kamis (14/02). Dalam putusannya, sidang yang dipimpin Hakim Agung Is Sudaryono itu menyatakan menolak gugatan HTI.

Mengapa HTI di bubarkan? Karena HTI masuk kategori impor dari luar yang notabene dikonstruksi oleh pemahaman ikhwanul muslimin, bahkan membawa bencana bagi ideologi pancasila, retaknya persatuan dan kesatuan yang telah dibingkai dengan NKRI. Ormas-ormas Islam yang berafiliasi dengan aliran wahabisme yang berbeda dengan aliran ahlus-sunnah wal-jamaah perlu adanya perhatian khusus untuk menangkal pemahaman Trans-Nasional yang bertentangan dengan budaya bangsa kita dan watak karakteristik bangsa kita.

Karena itu, menurut Gus Dur, alasan utama untuk melawan gerakan garis keras adalah untuk mengembalikan kemulyaan dan kehormatan Islam yang telah mereka nodai dan sekaligus pada saat yang sama untuk menyelamatkan pancasila dan NKRI. Jika mayoritas moderat melawan kelompok aliran garis keras dengan tegas, kita akan mengembalikan suasana beragama di Indonesia menjadi moderat, kemenangan melawan mereka akan mengembalikan keluhuran ajaran Islam sebagai rahmatal lil alamain, dan merupakan salah satu kunci untuk membangun perdamaian dunia.

Demikian tulisan Waspadai Gerakan Islam Anti NKRI, semoga manfaat dan bangsa Indonesia damai dan sejahtera antar umat beragama. amin

Penulis: Tauhedi As’ad, dosen Unej Jember dan Sekretaris Lesbumi PCNU Jember. 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *